RATUSAN truk tangki berjajar di pinggir jalan. Kerumunan orang berteriak dan mengacung-acungkan poster karton. Suasana riuh seperti lazimnya sebuah demonstrasi. Tapi aparat tampak hanya berjaga-jaga dan melihat dari kejauhan. Ini memang bukan aksi garang mahasiswa menuntut pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto. Unjuk rasa yang sempat memacetkan Jalan Raya Yos Sudarso dan sebagian ruas tol Cawang-Tanjungpriok di Jakarta, Kamis lalu itu, dilakukan para sopir dan kenek truk tangki yang biasa mengangkut bahan bakar minyak (BBM) dari depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara.
Mereka menolak keputusan Toety Anggraeni, Kepala Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri (UPPDN) Wilayah III Pertamina, yang menskors 16 agen minyak tanah di wilayah Jakarta. Hukuman berupa pengurangan jatah pasokan itu dikhawatirkan menetes ke bawah. Dampaknya, sejumlah rekan mereka—sesama awak truk tangki—terancam kehilangan periuk nasinya.
Benarkah? Kekhawatiran tergulingnya periuk nasi seperti dikemukakan para sopir dibantah Totok Soeparto. Menurut Kepala Humas Pertamina tersebut, pasokan minyak tanah di Jakarta—mencapai 6-7 juta liter per hari—sebetulnya tidak berkurang. Soalnya, "Jatah untuk agen yang diskors dipindahkan ke agen lain yang tidak dihukum." Jadi, mereka sebetulnya bisa tetap bekerja di agen-agen yang memperoleh tambahan jatah.
Tak mengherankan, seorang pejabat Pertamina mencium ketidakwajaran dalam unjuk rasa itu. Ada dugaan, "Demonstrasi itu ditunggangi oleh para agen yang nakal," ujarnya. Yang menarik, pejabat tadi tidak hanya mengarahkan telunjuk pada 16 agen yang diskors, tapi juga pada kelompok yang disebutnya kekuatan hitam dalam bisnis minyak. Apalagi mereka juga mengusung protes terhadap media massa yang mengungkap berbagai praktek lancung dalam bisnis minyak, seperti praktek pengoplosan dan penyelundupan BBM.
Nah, bila dugaan pejabat itu benar, kekuatan kelompok tersebut sungguh tak bisa dianggap enteng. Sebelumnya, mereka juga sudah menunjukkan kesaktiannya dalam mengatur jaringan pengoplosan dan penyelundupan BBM. Tak salah bila kekhawatiran merebak: kelompok penggarap bisnis BBM yang licin itu telah makin tumbuh dan berkembang bak mafia.
Tapi, siapa kelompok hitam yang menjalankan bisnis haram itu? Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Kalau hanya pemain lapangan, sejumlah nama sudah kerap disebut-sebut. Di kawasan Indonesia barat, terutama Jakarta dan sekitarnya, beredar nama-nama Joko Gondrong, Ucok, Hendrik, Yulianto, Anwar, Jhonson, dan Yosep. Sedangkan di kawasan timur, terutama di sekitar Surabaya, ada Kacung, Acim, Pencin, dan Laminto. Kendati biasa menenteng duit kontan miliaran rupiah, mereka bukanlah kakap. Di atas mereka diduga ada bos lain yang mengatur jaringan bisnis emas hitam haram itu.
Dugaan ini agaknya tidak berlebihan. Sebab, jumlah fulus yang dipompa dari bisnis ini sungguh dahsyat. Ironisnya, semua keuntungan itu dikeduk dari uang rakyat, berupa subsidi BBM yang diberikan pemerintah. Karena subsidi, harga BBM Indonesia terhitung paling murah di Asia Tenggara. Untuk jenis premium, minyak tanah, dan solar, harganya bahkan dua kali hingga enam kali lipat lebih murah ketimbang harga di negeri-negeri jiran (lihat tabel). Jomplangnya harga di dalam dan luar negeri itu tak pelak mendorong penyelundupan.
Buat penyelundup, keuntungan mereka makin besar lantaran solar dan minyak tanah biasanya dioplos (dicampur) terlebih dahulu. Hasilnya kemudian dikapalkan ke luar negeri dengan harga standar solar yang lebih tinggi ketimbang minyak tanah. Dari pengoplosan saja, keuntungan yang ditangguk mencapai Rp 150 per liter. Lalu, dari penyelundupannya sendiri, rupiah yang mengucur bertambah lagi sekitar Rp 600 per liter. Jadi, berapa total keuntungan para perompak minyak itu?
Menurut Pertamina, jumlah penjualan domestik premium, solar, dan minyak tanah mencapai 33 miliar liter per tahun. Nah, bila dari jumlah itu kebocorannya mencapai sepuluh persen saja, berarti para penyelundup bisa mengantongi Rp 2,5 triliun setahunnya. Bayangkan berapa duit tambahan yang masuk bila tingkat kebocoran ternyata melebihi angka tersebut. Dengan duit sebanyak itu, persinggungan dengan kekuasaan menjadi hal yang tak mengherankan.
Terlibatnya oknum pemerintah, menurut sumber TEMPO, bisa terjadi di semua lini. Dimulai dari penerbitan DO atawa delivery order (jatah minyak yang boleh dijual kepada pabrik-pabrik sesuai dengan kebutuhannya), "kencing" (minyak yang seharusnya didrop ke agen, di tengah jalan dibelokkan ke tempat lain), pengoplosan, sampai penyelundupan lewat laut ke luar negeri. Dalam penerbitan DO, Pertamina tak bisa cuci tangan atas aksi tutup mata mereka terhadap berbagai pelanggaran. Ini contohnya: di tengah resesi, perusahaan yang kapasitas produksinya berkurang ternyata masih dikirimi DO dalam jumlah besar. Bahkan ada perusahaan yang sudah jadi bangkai pun masih mendapat jatah DO.
Dalam penerbitan DO untuk pihak militer, Pertamina makin kelihatan tak bergigi. Setiap permintaan seolah-olah langsung disetujui, tanpa memeriksa kebutuhan riil instansi bersangkutan. Demikian pula, buku yayasan atau instansi militer kebal dari pisau verifikasi Pertamina. Akibatnya, di Jakarta saja permintaan BBM buat militer mencapai 1,1 juta liter atau tujuh persen dari pasokan harian sebanyak 14 juta liter. "Memangnya berapa, sih, kebutuhan mereka sebenarnya?" tanya seorang agen swasta dengan nada iri.
Untuk semua penerbitan DO itu, mestinya Pertamina melakukan evaluasi setiap tiga bulan. Namun, verifikasi tersebut sering kali hanya jadi teori di atas kertas. Prakteknya, Pertamina jarang sekali melakukan evaluasi. Tapi Pertamina punya dalih. Tenaga petugasnya terbatas, sedangkan jumlah industri yang dievaluasi mencapai ribuan perusahaan. Belum lagi distribusi untuk konsumen. "Kami tak mungkin memberikan pengawasan yang bisa 100 persen menjamin," ujar Direktur Keuangan Pertamina, Ainun Na'im.
Selepas urusan DO, perjalanan BBM yang diselundupkan ke luar negeri biasanya melibatkan banyak pihak, mulai dari preman, aparat keamanan, bea cukai, pelabuhan, bahkan wartawan. Penyelidikan TEMPO di lapangan mendapati seringnya oknum berambut cepak—berseragam ataupun tidak—beredar di sekitar lokasi-lokasi pengoplosan atau pelabuhan penyelundupan BBM. Tak jarang, dengan mengendarai kendaraan dinas, tanpa malu-malu mereka minta setoran dari para bos kecil di sana.
Apa balasan yang diberikan atas kemurahan hati para cukong BBM tersebut? Seorang mantan pedagang BBM haram menceritakan kepada TEMPO, bagaimana para oknum menyediakan diri menjadi pengawal pengiriman BBM. Di darat, yang mengawal adalah oknum polisi dan TNI-AD. Sesampai di laut, pengawalan dialihkan pada oknum Polisi Perairan (Airud) dan TNI-AL. Merekalah penjamin minyak yang diangkut tongkang selamat berpindah ke tanker. Sementara itu, para oknum Bea Cukai dan pelabuhan membereskan surat-surat yang dibutuhkan untuk proses pengapalan. Keterlibatan para oknum aparat ini diakui oleh mantan Direktur Pertamina, Martiono Hadianto, yang menyebut penyelundupan BBM sudah terjadi sejak 1980-an.
Berkat hubungan saling menguntungkan tersebut, bisnis penyelundupan BBM tampaknya sulit diberantas. Apalagi, secara alamiah, Indonesia dengan garis pantai panjang merupakan surga bagi penyelundupan. Hanya sesekali kegiatan penyelundupan terhenti. Misalnya ketika April lalu media massa memuat besar-besaran praktek penyelundupan BBM di Jakarta dan Surabaya. Namun, penyelidikan TEMPO sejak awal Juni memperlihatkan bisnis haram itu tidak benar-benar mati. Mereka hanya memindahkan lokasi penyelundupan ke kawasan pelabuhan kecil di daerah pinggiran.
Pengapalan BBM yang semula di Jakarta, misalnya, kini pindah ke daerah Cirebon dan Bojonegara, Jawa Barat. Sedangkan di Jawa Timur, kapal-kapal perompak BBM kini mengangkut minyak dan solar dari Gresik, Pasuruan, Tuban, Probolinggo, Mojokerto, dan Banyuwangi (lihat: Tikus-Tikus Solar Meraup Fulus). Bersamaan dengan itu, lokasi-lokasi pengoplosan pun berpindah. Pemainnya? Ya, itu-itu juga. Buktinya, investigasi TEMPO di Merak memergoki proses transporting atau pemindahan muatan BBM di laut lepas yang melibatkan kapal Lohjinawi II dan Tanker Nansan yang berbendera Singapura (lihat: Sebuah Aksi di Laut Lepas).
Adalah kapal berlabel Lohjinawi II pula yang pernah berkali-kali dipergoki dalam penyelundupan BBM lewat Pangkalan Pasirurug, Marunda, Jakarta Utara. Bahkan, kapal bernama sama juga pernah ditangkap gara-gara urusan yang sama. Sebelumnya, TEMPO pun memergoki proses pemindahan muatan yang melibatkan kapal Balabac Strait, kendati para petugas di darat yang ditemui berkilah. Mereka bersikeras kapal berbendera Panama tersebut sedang melakukan proses bongkar-muat barang biasa.
Depot pengoplosan minyak yang semula tiarap pun kini mulai bangkit. Antara lain depot di Cilangkap, dekat Mabes TNI. Padahal, lokasi ini termasuk 26 lokasi pengoplosan yang resmi dilaporkan Pertamina ke Polda Metro Jaya. Toh, sejauh ini tak jelas apa tindakan polisi menanggapi laporan tersebut. Kesan yang tampak, semua aparat sepertinya kikuk menangani urusan penyelundupan BBM. Yang terjadi, mereka saling melempar tanggung jawab. Jajaran kepolisian, Kodam Jaya, Mabes AL, hingga Mentamben yang dihubungi menghindar atau memberi jawaban mengambang tentang proses penanganan penyelundupan BBM.
Kekikukan ini jelas mengherankan. Apalagi negara jelas-jelas menjadi pihak yang dirugikan. Untuk menyubsidi 33 miliar liter bensin, minyak tanah, dan solar, pemerintah harus merogoh kocek sebanyak Rp 20 triliun. Bayangkan, dana subsidi yang notabene merupakan uang rakyat itu ternyata diselewengkan sekelompok orang untuk dinikmati mereka sendiri dan juga warga negara lain. Kerugian rakyat makin bertambah karena penyelundupan tersebut kerap kali menyebabkan kelangkaan pasokan BBM di dalam negeri. Dan yang tak bisa diabaikan, rakyat lagi-lagi harus menanggung kerugian akibat kerusakan mesin atau memendeknya umur mesin lantaran menggunakan BBM oplosan. Sebuah kerugian yang sampai sekarang belum bisa dihitung berapa nilainya.
Tak aneh, banyak pihak terutama kalangan akademis meyakinkan pentingnya penghapusan atau—minimal—pengurangan subsidi BBM. Alasannya jelas: subsidi salah sasaran lantaran lebih banyak dinikmati orang kaya ketimbang orang miskin. Selain itu, harga miring subsidi telah terbukti mendorong penyelundupan BBM. Menurut ekonom LPEM, Moh. Ikhsan, subsidi akan lebih terasa bila diberikan untuk membangun sarana pendidikan dan kesehatan. "Investasi sosial itu," ujarnya, "akan meningkatkan daya saing bangsa di masa depan."
Tapi, bagaimana dengan rakyat miskin yang membutuhkan BBM? Ikhsan mengaku rakyat miskin tetap harus dibantu. Caranya adalah dengan memberikan sejumlah uang yang mereka butuhkan untuk membeli BBM. Secara bersamaan, pemerintah bisa menawarkan alternatif sumber energi baru yang lebih murah dan akrab lingkungan. Misalnya saja briket batu bara atau gas. Berhasilkah? Tentu harus dicoba, kendati di zaman susah ini orang tampaknya lebih gampang dikipas untuk mementingkan kebutuhan jangka pendek ketimbang memikirkan manfaat di masa depan.
Perbandingan Harga BBM dengan Negara Tetangga (dalam rupiah/liter)
Jenis BBM | Filipina | Singapura | Malaysia | Thailand | Brunei | Indonesia* |
Premium | 3.104 | 6.457 | 2.517 | 1.879 | 1.827 | 1.000 |
Minyak Tanah | 2.045 | 1.051 | 1.513 | 2.092 | 2.030 | 280 |
Solar | 2.655 | 984 | 1.513 | 3.533 | 1.573 | 550 |
Sumber : Hupmas Pertamina
*berdasar keppres