Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kapal nelayan fiber berwarna biru-putih bermanuver lincah di antara deretan bagan ikan. Sang nelayan memacu mesin pada kecepatan penuh. Rupanya ia tengah menghindari kejaran sebuah kapal tunda (tugboat) yang menempel ketat di belakangnya. Buih ombak memecah di kedua sisi kapal yang saling berkejaran, meninggalkan garis putih panjang di permukaan samudra yang membiru. Dihitung dari segi kekuatan, jelas ini bukan duel seimbang.
Kapal biru-putih itu cuma sebuah perahu motor bermesin 22 PK, yang hanya mampu melaju dengan kecepatan maksimum 4 knot. Sementara itu, kapal tunda bermesin 12 silinder itu dengan mudah melibas buruannya dalam kecepatan dobel. Alhasil, jarak antara mereka kian memendek. Seratus meter…, lima puluh meter…, empat puluh meter….
Lalu …, astaga! Seperti dalam kisah-kisah fiksi spionase, sebuah antiklimaks mengakhiri aksi kejar-kejaran yang mendebarkan itu. Si nelayan itu, sebut saja namanya Fulan, nekat memarkirkan kapalnya ke sebuah ceruk karang di Pulau Panjang, sekitar 2 kilometer dari Desa Grinyang, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Jawa Barat. Sang nelayan lantas bersicepat meloncati karang-karang pantai, disusul sepasang pria dan wanita muda—keduanya reporter TEMPO. Tiga ojek di pantai segera melarikan mereka ke sebuah rumah persembunyian di Pulau Panjang. Selamat? Tunggu dulu!
Beberapa pria berkulit legam (mereka awak kapal tunda) menyusul ke desa. ”Saya mencari wartawan yang memergoki pekerjaan saya,” ujar salah seorang dari mereka, seperti ditirukan beberapa nelayan setempat kepada sang reporter. Peristiwa pada Sabtu tengah hari pekan lalu itu adalah ekses serangkaian investigasi TEMPO terhadap penyelundupan BBM di kawasan Merak dan sekitarnya. Salah satu titik yang diinvestigasi, karena dicurigai sebagai lokasi praktek ilegal, adalah pantai antara Kecamatan Bojonegoro dan Kecamatan Kesemen, Kabupaten Serang, Jawa Barat.
Di lokasi inilah TEMPO memergoki—dari jarak tak sampai 100 meter—suatu proses pemindahan muatan (transporting). Tampak terlihat pemindahan muatan dari sebuah tongkang berukuran 2.000 ton ke sebuah kapal tanker berwarna hitam-putih. Di lambung tanker yang membuang sauh sekitar dua mil dari daratan itu tertulis ”Nansa Singapore”. Di samping tongkang, merapat sebuah kapal tunda bertuliskan ”Lohjinawi II”.
Kepada TEMPO, Fulan membisikkan, itulah tongkang ketiga yang menurut kesaksiannya beroperasi sejak Jumat malam. Kamera panjang sang reporter berkali-kali menjepret proses itu melalui jendela kapal nelayan seukuran layar komputer pribadi ukuran 15 inch. Dari sini terlihat jelas sebuah selang (hose) warna biru menyambungkan tongkang dengan kapal—menunjukkan kapal itu tengah diisi muatan. Posisi tanker itu tampak memberat ke belakang, sedangkan tongkang sudah mengambang—pertanda sebahagian isinya sudah ”dimuntahkan” ke sebelah.
Seorang awak kapal tunda rupanya mengarahkan teropong ke arah kapal si Fulan. Apa lacur, teropong itu boleh jadi memergoki lensa kamera yang sedang membidik. Akibatnya? Kapal tunda yang tadinya senyap, seolah tak berawak, mendadak heboh. Belasan orang berlari ke geladak. Dalam hitungan menit, mereka memburu kapal nelayan itu hingga ke Pulau Panjang.
Setelah beberapa jam bersembunyi dari kejaran, akhirnya Fulan dan kedua penumpangnya berlayar ke Desa Grinyang—sekitar setengah jam berperahu dari Pulau Panjang. Adalah Kepala Unit Reserse Intel Polisi Sektor Bojonegara, Sersan Kepala Kosasih, beserta seorang kerabat Fulan yang datang menjemput mereka.
Sepanjang perjalanan, kapten kapal tunda yang masih geram terus berusaha mengejar. Kosasih berusaha meredakan amarah sang kapten dengan menjanjikan kesepakatan setelah tiba di darat. ”Saya berada dalam posisi tidak enak karena harus menjadi mediator antara Anda dan mereka,” ujarnya kepada TEMPO.
Rasa ”tidak enak” Kosasih tampaknya dipicu oleh desakan dari pihak tanker agar hasil liputan Sabtu siang itu tidak dipublikasikan. Kepada TEMPO, Kosasih menirukan imbauan yang diterimanya dari pihak tanker: ”Cobalah mengerti. Kita cari penyelesaian yang saling menguntungkan: Anda kembali ke darat dengan selamat. Jadi, biarkan tanker itu melakukan kegiatannya.”
Menghadapi imbauan itu, reporter TEMPO hanya bisa mengatakan bahwa seluruh peristiwa sudah dilaporkan ke Jakarta via telepon genggam dari tengah laut. Kemudian, Kosasih pun meneruskan tawaran yang diterimanya: ”Sebutkan saja berapa angka (baca: rupiah) yang harus dipenuhi ”bos Jakarta”.
Bos Jakarta? Belakangan, ”bos Jakarta” itu disebut-sebut bernama Ucok. Menurut dugaan sumber TEMPO di Pertamina, Ucok adalah seorang perwira aktif Angkatan Laut. Kalau betul dialah orangnya, Ucok adalah seseorang yang memang sudah dikenal sebagai ”komandan lapangan” transporting dari tongkang ke tanker.
Siapa pun dia, orang bernama Ucok inilah yang sibuk mengontak Kosasih setiap lima menit melalui telepon genggam, ketika wartawan TEMPO masih dalam incaran para awak kapal tunda. ”Oke, Anda bisa selamat. Tapi coba pikirkan keselamatan Fulan. Dia penduduk asli di sini,” sang reserse meneruskan pesan Ucok.
Setelah terjadi beberapa kali kontak, akhirnya Kosasih meminta TEMPO berunding langsung dengan ”bos Jakarta”. Perundingan itu seharusnya terjadi pada Sabtu malam, setelah Ucok mengontak kantor redaksi dan berjanji datang. Sayang, hingga laporan ini diturunkan, ia tak kunjung muncul. Boleh jadi ia enggan. Boleh jadi ada yang harus ia prioritaskan: memastikan bahwa usahanya di kawasan Pantai Utara tak akan pernah terusik lagi oleh siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo