Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Safari Minyak Jakarta-Merak

Sebuah jaringan bisnis ilegal BBM terajut dari Jakarta hingga pesisir utara di Jawa Barat. Lingkaran mafia penyelundup menyedot miliaran laba dari ”operasi darat” hingga laut lepas.

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NELAYAN di tepian Pulau Panjang agaknya harus percaya pada tamsil ini: rezeki tak selalu datang dari laut. Di saat penduduk di Sukabumi atau Surabaya menjerit-jerit karena ketiadaan minyak tanah, bahkan untuk sekadar menyalakan lampu teplok, eh, dua tanker minyak menjadi Sinterklas dadakan di pulau seluas 750 hektare yang terletak dalam wilayah Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Jawa Barat itu.

Dengan murah hati, kedua kapal ini mengobral solar dengan harga miring kepada nelayan setempat. Satu drum solar berisi 200 liter dilego pada tarif Rp 350 ribu saja. Harga resminya? Rp 600 ribu per drum. Si Badu—bukan nama sebenarnya—nelayan yang perahu motornya disewa tim investigasi TEMPO, mengaku memborong beberapa drum. Wah, apakah nakhoda kedua tanker itu sedang beramal? Jelas tidak!

Kedua tanker berbendera Panama itu, sesungguhnya, sedang ”cuci gudang” alias mengosongkan isi muatan. Ini persiapan menyongsong muatan baru: bahan bakar minyak (BBM) ilegal. Dan nilainya, sudah pasti, berlipat-lipat dibandingkan dengan solar obralan. Lambung tanker-tanker ini akan digerojoki cairan berharga itu melalui sejumlah tongkang berkapasitas 1.500 ton (15 ribu liter) ke atas.

Kepada reporter TEMPO yang sedang melaut di atas kapalnya, di Pantai Pulokali, Bojonegara, dua pekan lalu, Badu menuturkan bahwa tanker itu membuang sauh di tengah laut sejak dua hari sebelumnya. Posisi labuhnya yang di jalur lalu-lintas nelayan—ini tak pernah dilakukan tanker lain—membuat kehadiran kedua kapal di atas mencolok mata. Biasanya kapal langsung bersandar di dermaga pelabuhan pabrik yang bertebaran di sepanjang pantai, seperti Gadjah Tunggal, Petrocheem, Trans Bakrie, Risjad Brasali, Sulfindo, Styrena Mono Indonesia, dan Golden Key.

Selama dua hari, kapal itu tak melakukan kegiatan apa pun. Kapal itu baru meninggalkan lokasi setelah tiga tongkang dari arah timur—diperkirakan dari Tanjungpriok, Jakarta—berkapasitas 2.000 ton sarat muatan merapat ke lambungnya. Sumber TEMPO membisikkan, muatan solar dalam tongkang itu sudah berpindah ke perut tanker.

Badu, nelayan yang kerap menjadi tukang las di kapal tanker, menjelaskan bahwa pemindahan BBM (baca solar) dari tongkang ke tanker berlangsung pada malam hari, menggunakan mesin engine electric centrifugal dan selang (hose) berdiamater 12 inci (sekitar 30 sentimeter). ”Di hari ketiga tanker itu berlabuh, tahu-tahu mereka berpisah. Tongkangnya balik ke arah timur, tanker sarat muatan melaju ke arah barat,” ujarnya.

Pemindahan muatan ini dilakukan dengan beberapa varian modus, misalnya kamuflase ekspor habeam (rangka besi baja untuk konstruksi hanggar atau pabrik) di Pantai Pengoreng, Bojonegara. Sebuah kapal tunda (tugboat) menarik tongkang yang sarat muatan (terlihat dari posisi bunkernya yang setengah terendam). Petugas yang mengatur lalu-lintas tongkang itu dari pantai ke tanker, ketika ditemui TEMPO, menyebutkan tongkang itu mengirim pesanan habeam ke kapal berbendera Panama yang berlabuh sekitar 5 kilometer dari pantai.

Apa iya? Ada detail yang menimbulkan tanda tanya: kalau urusannya memuat kerangka baja, mengapa tongkang itu cuma dimuati dua habeam? Mana mungkin dua habeam bisa membuat sebagian besar badan tongkang tenggelam—pertanda sarat muatan? Badu, yang sudah beberapa pekan mengamati kejadian itu, membisikkan, di bawah perut tongkang, belasan ribu liter minyak siap dimuntahkan ke tanker berbendera Panama-Indonesia yang sudah ”siap siaga” di tengah laut.

Selama beberapa hari, kapal itu berlabuh pada posisi kurang-lebih 5 kilometer dari area lepas Pantai Pengoreng. Ini agak mengundang tanda tanya karena kapal yang menuju dermaga pabrik biasanya tak menunggu lebih dari satu hari. Soalnya, ”Biaya administrasi pelabuhan untuk izin bersandar selama satu hari sangat mahal, sekitar Rp 40 juta,” ujar si nelayan. Yang terjadi pada kapal tanker Panama itu, lagi-lagi, mengundang kecurigaan: kendati muatan dari tongkang ke tanker sudah selesai dipindahkan, tanker belum juga beranjak.

Entah kebetulan entah direncanakan, yang jelas, sang tanker baru beringsut setelah ”rekan satu bendera” alias sesama kapal Panama membuang jangkar di tempat itu. Rupanya, mereka bergerak dalam pola ini: muncul di pertengahan pekan, ”pesta BBM” di akhir pekan, dan kembali ke asalnya di awal pekan.

Yang mengherankan, pihak administrasi pelabuhan dan Syahbandar Pelabuhan Merak serta Bojonegara seolah saling melempar tanggung jawab. Kepala Administrasi Pelabuhan Banten, Hari, menolak menemui wartawan TEMPO yang hendak mengklarifikasi kapal-kapal asing itu, termasuk kapal Nansa Singapore yang sempat dilihat TEMPO melakukan kegiatan di kawasan tersebut (lihat: Sebuah Aksi di Tengah Laut). Sedangkan Amin, staf Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Merak, menyatakan pantai Pulau Panjang masuk dalam kawasan Bojonegara. Eh, alih-alih menjelaskan, Syahbandar Bojonegara Subagio, yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses keluar-masuk dermaga, hanya menjawab enteng, ”Tidak tahu.”

Sebenarnya, apa salahnya memindahkan muatan di tengah laut? Slamet Singgih, Ketua Tim Terpadu Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben)-Pertamina (yang kini mulai menginvestigasi penyelundupan BBM), menegaskan, ”Hal itu tidak dapat dibenarkan. Proses itu hanya mungkin terjadi bila ada jual-beli BBM dari kapal-kapal liar.”

Yang jelas, kapal Nansa Singapore yang sedang beraksi di laut lepas itu adalah tanker minyak. Barens Th. Saragih, Sekretaris Jenderal Indonesian National Shipcowners Association (INSA), ketika ditunjuki foto Nansa Singapore yang dijepret reporter TEMPO dari jarak 100 meter, membenarkan kapal ini sebagai tanker minyak. Sedangkan posisinya (lihat foto) menunjukkan dua kemungkinan. ”Pertama, tanker sedang bermuatan penuh, mengingat lambung timbul di bagian depan kapal hanya sedikit terlihat. Kedua, tanker ini kemungkinan sedang menadah minyak,” ujarnya.

Kejadian di tanker itu sesungguhnya cuma satu dari sekian modus besar di belantika penggelapan minyak tanah dan solar (lihat: Ragam Modus Pembocoran BBM). Modus yang mencolok adalah penyelewengan delivery order (DO), yang digelembungkan supaya bisa mendapat limpahan suplai hingga jutaan liter minyak tanah dan solar yang bisa dilempar ke pasar asing. Kapal-kapal asing dengan senang hati menebusnya pada harga yang jauh lebih tinggi dari pasar Indonesia tapi tetap lebih rendah dari harga resmi di pasar internasional.

Minyak tanah seharga Rp 280 per liter laku keras di tanker asing pada angka Rp 600. Tarif solar lebih menggiurkan. Harga Pertamina adalah Rp 550 per liter, sementara bos-bos kapal asing bersedia membayar kontan dengan tarif Rp 1.900-an per liter. Siapa tidak tergoda?

Alhasil, dari Pelabuhan Tanjungpriok, Cilincing, Jakarta Utara, hingga kawasan pesisir Bojonegara, Cigading-Ciwandan, Merak—semuanya di Kabupaten Serang, Jawa Barat—jaringan mafia minyak tumbuh subur dengan modus serupa: dari ”operasi darat” berupa permainan DO dan oplosan hingga jual-beli solar dan minyak tanah di tengah laut.

Kendati bergerak dalam jaringan masing-masing, pengoplosan dan penyelundupan solar dan minyak sebetulnya berkembang dalam pola serupa. Pelabuhan laut menjadi primadona lokasi. Lalu para pemain? Mereka terjalin dalam lingkaran yang padu dan melibatkan dari calo kroco hingga pejabat tinggi dan ”orang berpangkat”. Sumber TEMPO di Pelabuhan Sundakelapa, Jakarta Utara, menuturkan bahwa penyelundupan BBM ke laut lepas melalui Pelabuhan Tanjungpriok, misalnya, berlangsung mulus dengan ”restu orang kuat”.

Maka, lengkaplah ironi di balik bisnis gelap BBM. Sebab, di saat si punya kuasa bersekutu dengan pemilik uang—dalam jaringan kejahatan berlapis-lapis—seluruh usaha membersihkan sepak terjang mafia minyak, tiba-tiba, seakan cuma fatamorgana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus