Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Melacak Jejak Si molly

Puluhan jenis narkoba baru mulai beredar luas—secara diam-diam—di Indonesia. Salah satunya metilon alias molly: favorit anyar para pecandu narkotik kelas atas. Tim investigasi Tempo menelisik penyebaran barang haram yang belum tercatat dalam Undang-Undang Narkotika ini ke sejumlah tempat hiburan di Jakarta, Bandung, Pekanbaru, dan Mataram. Inilah hasil blusukan sepanjang Oktober-Desember lalu.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG rapat di lantai enam gedung Badan Narkotika Nasional, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Timur, itu mendadak senyap. Benny Jozua Mamoto, yang kala itu menjabat Deputi Pemberantasan BNN, tampak berkali-kali menghela napas panjang, sementara tiga penyidik di hadapannya menunduk dalam-dalam.

Sore itu, awal Oktober lalu, Benny menerima kabar tak enak dari tiga anak buahnya tersebut. Beberapa jam sebelumnya, mereka baru saja selesai melakukan gelar perkara kasus Raffi Ahmad bersama para jaksa di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.

Raffi adalah selebritas muda papan atas yang sedang berada di puncak karier. Wajah rupawannya ada di hampir semua layar kaca. Dinihari, Ahad, 27 Januari 2013, petugas BNN menggedor rumah sang artis di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan menemukan jejak pesta narkotik dan obat berbahaya (narkoba).

Di sana, penyidik menemukan 14 pil methylenedioxymethcathinone (MDMC) alias metilon dan dua linting ganja.

Penangkapan Raffi segera menjadi kepala berita. Selama berhari-hari setelah penggerebekan itu, ratusan wartawan mengepung gedung BNN untuk memperoleh informasi tentang perkembangan kasus ini.

Yang jadi masalah, zat psikotropik yang ditemukan di rumah Raffi adalah narkoba jenis baru. Metilon belum masuk daftar zat terlarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Sejak Februari sampai Oktober—kurang-lebih delapan bulan—berkas perkara artis asal Bandung itu tujuh kali bolak-balik dari BNN ke kejaksaan.

Sampai pertemuan terakhir, akhir Oktober itu, jaksa berkeras menolak melanjutkan kasus Raffi ke pengadilan. "Jaksa ingin ada daftar yang mencantumkan MDMC sebagai zat terlarang," kata Benny kepada Tempo, awal Desember lalu. Daftar itu sampai sekarang tidak ada.

Walhasil, Raffi pun melenggang bebas. Akhir April lalu, setelah menjalani rehabilitasi selama tiga bulan di Lido, Sukabumi, pemuda 26 tahun itu meninggalkan gedung BNN.

Lepasnya Raffi membuat Benny dan koleganya pusing tujuh keliling. Mereka tak bisa bergerak meski tahu peredaran narkotik baru ini terus meluas ke pelosok Nusantara.

Sejumlah bandar kakap yang ditangkap BNN dua bulan terakhir mengungkap satu fakta penting: Indonesia sudah masuk peta jaringan perdagangan global metilon dan puluhan jenis narkotik baru, yang diselundupkan dari Cina dan Eropa.

1 1 1

SEBUTIR pil itu tak lebih besar daripada pil obat sakit kepala biasa. Ada logo hati di salah satu sisinya. Warnanya oranye cerah seperti jeruk matang.

Sepintas bentuknya tak istimewa, tapi inilah si molly, "ratu" pesta baru di kalangan pengguna narkoba berkantong tebal di negeri ini.

Tempo beruntung bisa membeli pil metilon ini dari seorang pelayan diskotek Club SP, Pekanbaru, akhir November lalu. Klub malam ini ada di lantai lima Senapelan Plaza, Jalan Sudirman. Di ibu kota Riau ini, metilon lebih dikenal dengan sebutan "vitamin".

Biasanya pengunjung baru tak akan memperoleh akses pada barang haram itu. Pil itu baru muncul setelah Tempo "menyogok" seorang penari telanjang dengan empat seloki Jack Daniel's.

Sebutir pil molly itu harus ditebus dengan duit Rp 350 ribu. "Ini barang baru. Kalau ekstasi biasa, harganya cuma Rp 250 ribu," ujar si pelayan setengah berbisik.

Jejak metilon di Pekanbaru pertama kali tercium pada Juli lalu. Ketika itu, BNN menangkap dua bintara TNI Angkatan Udara, Sersan Mayor Bambang Winarno dan Sersan Dua Riki Yunardi, yang ternyata punya pekerjaan sampingan jadi bandar narkoba.

Mereka mengedarkan zat memabukkan di tempat-tempat hiburan malam di Pekanbaru, seperti diskotek XP, Club SP, dan MP. Ketika dua sersan ini ditangkap, BNN menemukan 300 butir pil ekstasi dan metilon.

Ketiga diskotek itu sebenarnya bukan tempat sembarangan. Di kalangan clubber di Pekanbaru, tiga lokasi hiburan di pusat kota ini dikenal sebagai kawasan elite yang "aman" untuk berjudi dan membeli narkoba. Pemilik ketiga tempat itu, Dedi Handoko, sudah tersohor sebagai "orang kuat" di Pekanbaru.

November lalu, ketika Tempo datang ke Club SP, tampak jelas bagaimana pintu masuk diskotek ini dijaga belasan pria bertubuh tegap dengan rambut cepak.

Mereka memeriksa setiap pengunjung dengan kesigapan dan kewaspadaan yang hanya dimiliki pasukan terlatih. Gaya bicara dan cara mereka menyapa satu sama lain pun khas militer. Sayangnya, tak satu pun dari mereka mau menjawab pertanyaan Tempo.

Ketika dimintai konfirmasi, Dedi Handoko membantah kabar bahwa klub malamnya menjajakan pil haram si molly. "Semua karyawan saya sudah menandatangani surat pernyataan tak akan menjual narkoba," ujarnya. Bagaimana kalau masih ada yang berjualan? "Itu urusan pribadi mereka."

Di Jakarta, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto juga membantah tudingan bahwa prajuritnya nyambi jadi penjaga diskotek di Pekanbaru. "Kami tidak akan memberikan toleransi," katanya.

1 1 1

METILON di Pekanbaru diduga merupakan produksi rumahan. Ini terlihat dari bentuk pilnya yang tidak seragam dan tidak rapi. Kuat dugaan, komposisi zat kimianya pun tak persis sama antara satu dan yang lain.

Sebelum menemukan si molly di Riau, Tempo sudah menyisir semua diskotek besar di Jakarta dan Bandung. Sejak akhir Oktober lalu, setiap pekan Tempo mengunjungi klub malam di kawasan Kota dan Taman Sari, Jakarta Barat; Kuningan, Jakarta Selatan; sampai Pasirkaliki, Bandung.

Meski beberapa pengunjung dengan terbuka mengaku sering memperoleh metilon di lokasi-lokasi itu, para bandar di dua kota ini tampaknya enggan menawarkan barang haram kepada "wajah baru".

Soni, sebut saja namanya begitu, membenarkan sulitnya memperoleh metilon di Jakarta. Karyawan swasta ini menggunakan molly setiap pekan. "Lebih gampang nyari ekstasi atau sabu," ujar Soni, 33 tahun, jujur.

Pria lajang bertubuh tegap itu mengaku butuh metilon untuk berpesta setiap ­Jumat. Dia sering fly di sebuah klub eksklusif bernama Lucy in the Sky di kompleks Bengkel Cafe SCBD, Jakarta Selatan.

"Di sana ada kamar khusus yang disulap jadi diskotek setiap malam Sabtu," katanya. Sekali datang, Soni menghabiskan Rp 2,5 juta.

Nama Lucy in the Sky diambil dari judul lagu The Beatles, Lucy in the Sky with Diamonds, atau kalau disingkat: LSD. Soni berbisik, nama klub itu memang kode untuk para penikmat zat psikotropik asam lisergat dietilamida, yang juga dikenal dengan sebutan LSD. Selain molly, LSD jenis baru memang belakangan sedang naik daun.

Pekan kedua November lalu, Tempo datang ke kamar spesial Lucy dan melihat sendiri bagaimana puluhan anak muda menyesaki setiap sudut ruangan seluas lapangan tenis itu. Sepertiganya bule atau bertampang Indo.

Di ruangan yang temaram, musik berdentam-dentam. Semua orang akrab ­ngobrol atau bergoyang energetik. Tanpa Soni, Tempo jelas tak bisa masuk ke sana.

Setiap kelompok pengunjung biasanya menyerahkan kartu kredit kepada pelayan, sehingga bisa memesan apa pun dengan bebas. Harga satu gelas Long Islands di sini Rp 160 ribu.

Di mana molly-nya? "Kami biasanya sudah pake sebelum ke sini," ujar Soni ringan. Wajahnya cerah, senyumnya lepas. Enam jam kemudian, ketika jarum jam menunjukkan pukul lima pagi, separuh pengunjung sudah pulang. Tapi mereka yang tersisa terus berdansa, jejingkrakan, dengan stamina prima. Tak ada gurat kelelahan sedikit pun di raut wajah mereka.

Djumhara, Manajer Restoran Lucy in the Sky, mengaku tak tahu ada transaksi narkoba di gedungnya.

1 1 1

NARKOBA baru yang beredar di Indonesia diperkirakan berasal dari Eropa, terutama Belanda dan Jerman, serta Cina dan Malaysia. Metilon, misalnya, diduga masuk dari dua pintu: Pelabuhan Batam dan Tanjung Priok.

Jalur masuk narkoba via Batam terungkap ketika Juli lalu seorang warga Malaysia bernama Ng Chan Keong digeledah polisi di Batam. Penyidik menemukan Keong membawa lebih dari 9.000 butir metilon di bagasinya.

Polisi menduga ribuan pil ini dikirim dari Pelabuhan Johor Bahru, Malaysia. Jika sukses menembus Batam, metilon ini akan didistribusikan ke Medan, Lampung, Palembang, sampai Pekanbaru. Seorang bandar di Medan mengendalikan peredaran molly di seluruh Sumatera.

Adapun jalur Tanjung Priok dipakai untuk menyuplai narkoba jenis baru dari Cina ke Jawa dan Indonesia bagian timur. Modusnya adalah dengan menyelundupkan narkoba bersama muatan lain, seperti barang konfeksi atau peralatan elektronik.

Polisi membongkar jalur ini pada Juni lalu, ketika seorang bandar narkoba bernama Wayan Purwa dicokok di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di sel, dia bernyanyi tentang kiriman metilon dari seorang bandar bernama Roni Chandra di Surabaya.

Cara pengirimannya ternyata simpel saja: narkoba itu dipaketkan lewat jasa pengiriman. Orang suruhan Roni di Mataram kemudian menerima paket itu, lalu meletakkannya di sebuah tempat yang disepakati—bisa di bawah batu atau pohon. Tak berselang lama, Purwa akan mengambil barang itu dan meletakkan uang pembayaran di tempat yang sama. "Jadi saya tak pernah bertemu dengan pengirimnya," kata Purwa.

Penyidikan polisi sejauh ini menemukan bahwa bandar narkoba jenis baru ini biasanya juga mengedarkan ekstasi dan sabu-sabu. "Menjual narkotik baru ini cuma sambilan para bandar," ujar Benny Mamoto.

Henny Michele contohnya. Perempuan 48 tahun ini ditangkap pada November lalu karena kepemilikan sabu-sabu. Tapi, begitu digeledah, ternyata dia juga menyimpan belasan pil metilon dan ratusan lembar LSD sintetis.

"Metilon digunakan sebagai pengganti ekstasi, LCD menggantikan putaw," kata Direktur Narkotika dan Obat Terlarang Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Arman Depari, November lalu.

1 1 1

SAMPAI sekarang, BNN belum mau menyerah dalam kasus Raffi. Akhir November lalu, ada kabar kejaksaan telah meminta BNN mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus ini. Tapi BNN menolak. "Hingga kini, status cegah Raffi belum dicabut," ujar sumber Tempo di lembaga itu.

Raffi sendiri tampaknya berusaha melupakan sepenggal kisah kelam hidupnya itu. Ketika ditanya soal perkembangan kasusnya seusai syuting acara musik Dahsyat di studio RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, awal Desember lalu, dia mengelak.

"Aduh, maaf, saya tidak bisa membahas hal itu. Ini saya harus pergi syuting lagi," katanya. Wajahnya yang semula ramah berubah jadi cemberut. Terburu-buru dia bergegas masuk ke mobilnya, dikawal seseorang berbadan tegap.


Tim Investigasi
Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika Pemimpin proyek: Mustafa Silalahi Penyunting: Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika Penulis: Mustafa Silalahi, Sandy Indra Pratama, Agung Sedayu Penyumbang bahan: Mustafa Silalahi, Sandy Indra Pratama, Agung Sedayu, M. Andi Perdana, Anindya Legia Putri Periset Foto: Ratih Purnama Ningsih Desain: Agus Darmawan Setiadi, Eko Punto Pambudi, Rizal Zulfadli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus