Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG perempuan cantik berambut panjang asyik ajojing sendiri di samping meja yang berantakan dengan gelas bir dan botol air mineral. Goyangannya terkadang tak seirama dengan ketukan house music yang mengentak. Sambil sesekali mengisap rokok, ia tampak larut dalam permainan sinar laser yang menerpa wajahnya yang basah oleh keringat. Matanya terpejam.
Ayu, begitu ia memilih nama samarannya saat berkenalan dengan Tempo pada awal November lalu. Tanpa malu-malu, ia mengaku berprofesi sebagai pelacur yang biasa mencari pelanggan di tempat dugem. Ladies night—malam ketika wanita gratis masuk ke tempat hiburan—adalah waktu yang biasa ia gunakan untuk "beredar".
Diskotek itu terletak di lantai dua kompleks pertokoan di bilangan Pasirkaliki, Bandung. Lantaran musik berdentam superkeras, Ayu, yang malam itu berpakaian serba mini, mengajak Tempo ngobrol di ruangan yang lebih sepi, satu lantai di atas pintu masuk diskotek. Di sana sudah ada Reni, kawannya.
"Saya tahu itu. Molly namanya!" perempuan belia itu berteriak ketika mendengar deskripsi soal bentuk dan efek narkoba baru yang sedang hit di klub-klub malam Ibu Kota.
"Rasanya lebih asyik dari ekstasi. Waktu itu saya dapat dari tamu asal Jakarta. Dia menyebutnya molly. Itu sebutan tenar untuk metilon," ujar Ayu. Kali ini dia berbisik. Perempuan lulusan sebuah sekolah menengah atas di Indramayu ini mengaku sudah lima tahun jadi pengkonsumsi ekstasi.
Seingat Ayu, molly di tangannya ketika itu berbentuk kapsul bening. Di dalamnya terdapat serbuk berwarna putih kusam. Dia mendapatnya gratis dari sang tamu, free of charge.
Tak lama setelah menenggak metilon, kata dia, kepala terasa enteng, gerakan tangan dan badan juga lebih ringan. "Sebenarnya seperti ekstasi, tapi molly lebih cepat 'naik'-nya," ujar Ayu.
Pengalaman yang sama dirasakan Reni. "Bedanya kentara saat pengaruh obat hilang. Kalau pake ekstasi, ada rasa lelah atau mual, tapi kalau ini tetap bugar," ucap gadis 22 tahun asal Subang ini. "Mau dugem semalaman, stamina tak terkuras."
Dari dua perempuan tersebut, malam itu Tempo bisa berkenalan dengan Abo dan Benny, dua pengedar kecil yang biasa berseliweran di beberapa tempat disko di Bandung. Namun malam itu tak ada "barang". "Coba besok-besok. Hari ini kami tak kebagian pasokan," kata mereka seragam.
Tapi esok malamnya pun kosong. Menurut Abo, sejak metilon dikenal luas—setelah tertangkapnya Raffi Ahmad—pasokan pil itu dari Jakarta jadi tak menentu. Mereka menolak menceritakan siapa pemasok dari Jakarta, yang mereka sebut "Si Bos".
"Yang jelas, harganya sekarang berkisar Rp 600 ribu per butir. Terkadang kapsul, seringnya berbentuk tablet," ujarnya. Abo mengaku hanya mendapat untung 30-40 persen dari total penjualan. Jika dagangannya sedang laris, Abo bisa menjual 40 butir pil metilon dalam satu malam.
Sebagai pelipur lara karena tak bisa menunjukkan bentuk metilon, Abo memberikan sejumlah stopper kepada Tempo. Pil stopper ini juga jenis narkotik, tapi fungsinya justru untuk menghentikan efek ikutan dari sabu dan ekstasi.
DITENGARAI masuk ke Indonesia sejak empat-lima tahun lalu, metilon dan beberapa jenis narkotik baru kini beredar luas. Obat-obatan ini biasanya diperjualbelikan di tempat hiburan seperti bar, diskotek, dan kafe.
Dari Bandung, Tempo menelusuri perdagangan narkoba jenis baru ini sampai beberapa kota lain, seperti Jakarta, Pekanbaru, Medan, Batam, dan Mataram.
Di Ibu Kota, pada pekan pertama November lalu, Tempo bertemu dengan Soni, eksekutif muda berusia 33 tahun, yang berprofesi sebagai karyawan bagian legal sebuah perusahaan ternama di bilangan Kuningan. Lelaki yang gemar fitness ini sering nongkrong di klub Lucy in the Sky, di bekas Bengkel Cafe, Jakarta Selatan.
Dengan ringan, dia mengaku rutin menenggak molly. "Saya kenal pil mirip ekstasi ini pada Desember 2009," ujarnya mengenang. Obat ini, kata Soni, sekarang menjadi favorit para eksekutif muda.
Penyebabnya sederhana: molly tak menyisakan basian—istilah pengguna narkoba untuk menyebut efek ikutan dari ekstasi. Mereka yang rutin memakai ekstasi biasanya merasa lelah dan mual-mual setelah semalaman fly.
"Kalau pake ini, kita masih bisa mengontrol diri, jadi pede dan gampang bersosialisasi," ujar pria yang punya gelar master di bidang hukum ini.
Untuk memperoleh molly atau narkotik baru lain, Soni tak gegabah. Ia selalu menggunakan jasa kurir atau perantara dalam setiap transaksi. Dia tak pernah bertemu dengan bandar besar. "Terlalu berisiko kalau ketemu bandar," katanya.
Cara transaksinya pun unik. Soni biasanya memilih kafe atau pusat kebugaran yang biasa dia datangi di kawasan Senopati, Jakarta Selatan.
Sang kurir—yang dihubungi via telepon sebelumnya—akan membawakan pil molly yang disembunyikan di dalam bungkus rokok. Di tengah percakapan, rokok itu akan berpindah tangan. "Uang ditransfer via bank belakangan," ujar Soni.
Jika keadaan pasar normal, Soni membayar Rp 500 ribu untuk setiap pil. Tapi, bila bandar sedang banjir barang, harga satu butir pil bisa terbanting separuh sampai Rp 250 ribu.
Soni juga menggunakan dua jenis narkoba selain metilon: ketamine dan LSD sintetis. "Kalau ketamine, saya pake yang bentuk cair. Harganya bisa Rp 2,5 juta," kata Soni. "Jika sudah dicairkan, ketamine sebanyak itu bisa dikonsumsi delapan orang." Di kalangan pengguna, ketamine lazim dikonsumsi bersama ekstasi.
Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Nusa Tenggara Barat Mufti Djusnir mengakui efek halusinasi yang ditimbulkan si molly lebih kuat daripada ekstasi biasa. Zat-zat di dalam pil itu berpengaruh kuat terhadap sistem pusat saraf manusia.
Mufti—yang juga ahli kimia farmasi—menunjukkan sejumlah contoh zat yang menimbulkan efek serupa. Ada serotonin, yang biasanya akan menimbulkan euforia atau rasa senang berlebihan. Ada juga dopamine, yang menciptakan halusinasi dan menyebabkan jantung bekerja lebih cepat. "Jadi mereka yang memakai metilon akan merasa mendapatkan tenaga lebih besar dari biasanya," ujarnya.
Masalahnya, manipulasi rasa senang yang ditimbulkan molly bisa berbahaya dalam jangka panjang. Tubuh yang penuh perasaan euforia terkadang sulit mengontrol rasa lain yang timbul. "Bisa saja pengguna tidak bisa merasakan sakit hebat akibat kram jantung karena tertutupi oleh rasa senang yang berlebihan," katanya.
Di banyak negara, korban sudah berjatuhan. Seorang pemuda Alaska, Amerika Serikat, bernama Matt Scott, 20 tahun, tewas setelah mengkonsumsi metilon pada April 2012. Sang pengedar narkoba yang menjual si molly kepada Scott kini diadili majelis hakim di Alaska.
Karena itulah BNN terus mendesak agar peredaran obat pesta ini segera dikendalikan. Caranya mudah: Kementerian Kesehatan harus memasukkannya ke daftar jenis psikotropik yang dilarang.
KAWASAN Senggigi, pertengahan November 2013. Malam mulai melarut di daerah wisata ujung barat Pulau Lombok itu, tapi sebuah diskotek masih hiruk-pikuk dengan musik, kilatan sinar laser, dan dansa-dansi. Seorang lelaki pelayan menghampiri Tempo, "Mau pesan apa?"
Dengan cepat Tempo memesan sebotol air mineral. Si pelayan menatap lama, "Wah, kalau minumannya ini, Bos perlu penggembira. Ada kacang lama dan baru. Nanti bisa kami antar," katanya.
Tempo terdiam agak lama. Si pelayan pun ngeloyor. Belakangan, seorang penyidik BNN memberitahukan bahwa metilon di Lombok dikenal dengan sebutan "kacang". Si molly rupanya sudah sampai di Senggigi.
Menjalar Hingga Pelosok
Sebanyak 24 jenis dari tujuh kelompok narkotik baru kini ditemukan beredar di Indonesia. Zat-zat pembius ini membuat raga lebih bugar dan menciptakan rasa senang yang tak mudah hilang. Jaringan peredarannya ternyata merentang jauh, datang dari Cina dan Eropa, masuk ke berbagai kota besar dan kecil di Nusantara
1. Raffi Ahmad. Ahad, 27 Januari 2013. Ditangkap Badan Narkotika Nasional di kediamannya, bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Barang bukti: 14 butir metilon dan 2 linting ganja.
2. I Wayan Purwa. Kamis, 30 Mei 2013. Kepolisian Resor Mataram menangkap dia di wilayah Cakra Utara, Kecamatan Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram. Barang bukti: 388 butir metilon dan 70 gram sabu.
3. Ng Chan Keong. Senin, 1 Juli 2013. Warga negara Malaysia ini ditangkap Bea-Cukai Batam Centre saat turun dari feri IND yang datang dari Pelabuhan Stulang Laut, Johor Bahru. Barang bukti: 9.919 butir pil metilon.
4. Sersan Mayor Bambang Winarno dan Sersan Dua Riki Yunardi. Rabu, 3 Juli 2013. BNN menangkap mereka di Pekanbaru, Riau. Kedua serdadu TNI Angkatan Udara ini berperan sebagai bandar kecil yang memasok narkotik ke beberapa diskotek di Pekanbaru. Barang bukti: 300 butir pil yang diduga metilon.
5. KS. Sabtu, 3 Agustus 2013. Gembong besar narkotik Riau ini ditangkap BNN bersamaan dengan penangkapan General Manager Diskotek XP Romi Mahyudi serta pegawai XP, Amrizal dan Saidi. Barang bukti: 300 butir metilon dan satu kilogram sabu.
6. Henny Michele. Senin, 4 November 2013. Wanita pengedar ini ditangkap Direktorat Narkotika Markas Besar Kepolisian RI di kediamannya di Tangerang. Barang bukti: 14 butir metilon dan 400 lembar LSD.
Tujuh Golongan
Sponge Bob dan Dragon Fly
Meski barangnya sama, di berbagai kota, Tempo menemukan obat-obatan terlarang ini disebut dengan berbagai nama.
Metilon
Harga: Rp 300-600 ribu per butir
"Molly" Jakarta, Bandung
"Kancing" Jakarta, Mataram
"Vitamin" Pekanbaru, Jakarta, Bandung
"Kacang" Mataram
"Inex" Pekanbaru, Jakarta, Bandung
"Ekstasi" Pekanbaru, Jakarta, Bandung
"Apel" Pekanbaru, Jakarta, Bandung
LSD
Harga: Rp 400 ribu per 30 sentimeter persegi
"Meterai" Jakarta, Bandung
"Kertas" Bandung
"Acid" Jakarta
"Elsidi" Jakarta
"Sponge bob" berbagai kota.
"Dragon fly" berbagai kota.
Ketamine cair
Harga: Rp 450 ribu per 10 mililiter
"You-C" Jakarta, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo