Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINTAH Mahkamah Agung agar Presiden mencabut Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1975 mengenai golongan C Partai Komunis Indonesia layak disambut hangat. MA mengabulkan permohonan uji materi korban peristiwa 1965-1966 terhadap keputusan yang selama ini memasung hak-hak mereka. Ini adalah bentuk solidaritas terhadap warga yang selama ini eksistensinya dihancurkan, tidak diakui, dan seolah-olah dikeluarkan dari bangsa.
Tragedi 1965 dinodai dengan pembunuhan massal terhadap mereka yang dianggap mendukung PKI. Banyak pula terjadi penangkapan tanpa pengadilan. Ratusan ribu orang yang tak terlibat diciduk, dipenjarakan, dan dianggap tak bersih lingkungan. Mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan. Golongan A adalah mereka yang terlibat langsung. Golongan B terlibat secara tidak langsung. Golongan C adalah yang diduga ikut terlibat secara langsung ataupun tidak. Jumlah orang yang dimasukkan ke golongan terakhir ini banyak sekali.
Keputusan presiden itulah yang dipakai sebagai landasan aparat untuk "memotong" hidup mereka yang diklasifikasikan ke golongan C. Secara khusus, atas dasar keputusan tersebut, birokrasi pemerintah menyingkirkan, memberhentikan, serta menutup akses mereka ke lapangan kerja dan pendidikan. Bahkan anak-cucu mereka dipersulit atau dilarang menjadi pegawai negeri, anggota TNI/Polri, guru, pendeta, dan sebagainya. Meskipun Soeharto telah jatuh dan reformasi berlangsung, kenyataannya stigmatisasi dan perlakuan tak setara itu belum hilang seratus persen dalam masyarakat, karena negara belum tegas mengubah sikap tentang hal itu.
Kini saatnya semua diskriminasi itu disudahi. Mahkamah Agung tidak memberi batas waktu kapan Presiden harus mencabut keppres itu. Tapi menunda-nunda dengan alasan tidak ada limitasi yang definitif dari MA justru merugikan bangsa. Presiden harus secepat mungkin mencabut keputusan yang diskriminatif tersebut. Selain itu, inilah saat yang tepat bagi Presiden atas nama negara berani meminta maaf secara terbuka dan resmi kepada para korban 1965-1966. Ini semua untuk memulihkan martabat mereka.
Negara juga harus melakukan rehabilitasi terhadap hak-hak mereka. Seperti diketahui, masyarakat yang banyak terkena dampak keputusan presiden itu adalah pegawai negeri. Ratusan ribu pegawai negeri yang dianggap cenderung kiri diberhentikan. Keppres Nomor 28 Tahun 1975 itu juga memutuskan bahwa pegawai negeri yang masuk golongan C tidak berhak menerima pensiun. Setelah keputusan itu dihapus, otomatis korban harus mendapatkan uang pensiun. Hak-hak pegawai negeri yang pernah dicap sebagai golongan C itu harus segera dipenuhi.
Negara juga kini harus aktif melindungi bila mereka mengadakan pertemuan, serta memberikan bantuan hukum apabila mereka diteror dan diintimidasi. Kasus pembubaran paksa acara silaturahmi korban 65 di Wisma Santidharma, Yogyakarta, November tahun lalu, oleh organisasi kemasyarakatan yang dipimpin Burhan Zainuddin Rusjiman atau yang dikenal sebagai Burhan Kampak, salah satu algojo tahun 1965, menunjukkan bagaimana negara masih diam atas adanya ancaman kekerasan terhadap mereka.
Pemerintah yang berkeinginan mendewasakan publik adalah pemerintah yang selalu mendorong warganya mampu melakukan rekonsiliasi atas konflik masa lampau. Akan halnya pemerintah yang paranoid adalah pemerintah yang gemar mengungkit-ungkit persoalan dan membesar-besarkan ketakutan kepada masyarakatnya. Menganggap pemulihan hak terhadap mereka yang dicap golongan C sebagai ancaman adalah suatu anakronisme. Maka, bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlihat enggan melakukan permintaan maaf, apalagi tak segera mencabut keppres, dia bisa disebut membangkang terhadap putusan Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo