Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI pengujung tahun, rupiah selalu saja mengalami masa teruk. Sebulan terakhir ini angkanya melewati 12 ribu per US$ 1. Padahal, pada semester pertama 2013, tembus Rp 10 ribu saja kita sudah ketar-ketir. Banyak yang memprediksi posisinya akan terus menurun seiring dengan rencana The Fed, bank sentral Amerika Serikat, mengurangi stimulus fiskal.
Kondisi perekonomian di dalam negeri tampaknya kurang mendukung upaya penguatan rupiah. Defisit neraca perdagangan terus berlanjut, modal bermiliar dolar sepanjang tahun lalu masih betah berada di luar negeri. Cadangan devisa menipis setelah banyak dipakai untuk menahan rupiah agar tak semakin terjun bebas. Keadaan ini diperburuk oleh banyaknya korporasi besar pada akhir tahun yang harus membayar dividen, pinjaman, dan repatriasi, sehingga memicu naiknya kebutuhan devisa.
Pada saat bersamaan, kebutuhan dolar untuk membiayai impor minyak Pertamina dan mengongkosi pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara tak juga menurun. Dalam kondisi normal saja, dari rata-rata peredaran US$ 200 juta setiap hari, sepertiganya diserap Pertamina. Hukum ekonomi lalu bicara. Harga dolar bergerak naik akibat permintaan migas yang tinggi tapi tak diimbangi pasokan domestik memadai.
Arus masuk devisa dari ekspor migas dan nonmigas tak bisa banyak diharapkan, karena eksportir lebih suka memarkir duitnya di rekening bank di Singapura, Hong Kong, London, atau negeri lain yang memberi lebih banyak kemudahan dan fasilitas. Upaya memaksa mereka melaporkan devisa hasil ekspor tak banyak berhasil. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 2011, yang disempurnakan tahun berikutnya melalui Nomor 14/25/PBI/2012, terbukti tak cukup sakti tanpa perangkat pemaksa. Selama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 berlaku, Indonesia menganut rezim devisa bebas. Tak ada kewajiban eksportir memasukkan duitnya ke dalam negeri, kendati mereka mendapatkan dolar dengan menjual hasil bumi Indonesia.
Penambang asing, seperti Freeport dan Newmont, atau eksportir batu bara dan crude palm oil memang melaporkan hasil transaksi dagangnya. Tapi, segera setelah itu, duitnya ditransfer lagi ke rekening lain di luar negeri. Pemerintah kita belum berani menempuh jalan seperti Malaysia atau Thailand, yang mengendalikan lalu lintas devisa lebih ketat demi menjaga stabilitas nilai tukar mata uangnya.
Kebijakan rezim devisa bebas harus ditinjau ulang. Pemerintah tak perlu khawatir investor kabur jika ada regulasi yang mengancam mereka. Ketakutan itu tak beralasan sebagaimana kalau kita tengok kedua negeri jiran tadi. Para investor besar yang paling bandel dalam soal pelaporan devisa hasil ekspor pastilah akan tetap datang untuk menambang dan berkebun di sini.
Kebutuhan minyak nasional per hari mencapai 1,4 juta kiloliter, sedangkan produksi minyak mentah dalam negeri maksimal hanya 840 ribu barel per hari. Artinya, dengan kapasitas kilang minyak dalam negeri 1 juta barel per hari, kita masih harus mengimpor sekitar 400 ribu barel minyak mentah saban hari. Belanja impor rata-rata US$ 36 juta per hari atau hampir US$ 1,2 miliar per bulan!
Yang mendesak dilakukan adalah membuat aturan yang memaksa pelaku bisnis tak memarkir dolar di luar negeri. Sembari terus mencari sumber energi baru, kebutuhan dolar untuk impor seharusnya ditekan dengan memangkas subsidi bahan bakar minyak. Hanya dengan cara ini kita tak lagi deg-degan menghadapi risiko jebloknya rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo