Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilalang tebal menyelimuti lahan tandus berhektare-hektare di tepi jalanan tanah berkubang air. Inilah panorama yang disaksikan TEMPO dua pe-
kan silam tatkala menyusuri Blok A1-A5 Desa
Dadahup, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas. Mari sejenak kita kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat itu Presiden Soeharto memimpikan Dadahup sebagai bagian dari lumbung beras nasional. Impian itu remuk tak lama setelah megaproyek itu dilaksanakan—bukan semata-mata karena kekuasaan Soeharto pungkas pada Mei 1998.
Proyek itu memang gagal menampilkan parade kemakmuran yang digadang-gadang Soeharto. Padahal, sejuta hektare lebih lahan yang terbentang antara Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan di Kalimantan Tengah telah dikerat-kerat dengan sukses demi proyek lahan gambut itu. Kisah ini belum akan berakhir, karena pemerintah masih ingin menjajal peruntungan sekali lagi di kawasan itu. Satu megaproyek guna memulihkan lahan gambut tengah disiapkan lewat cara konservasi dan budidaya pertanian.
Sebuah kelompok kerja terpadu berjudul Tim Ad Hoc Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Eks Proyek Lahan Gambut telah bekerja sepanjang 2003. Anggotanya? Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kapuas, Barito Selatan, Kota Palangkaraya, dan pakar dari beberapa universitas.
Pekan ini, Tim Ad Hoc Pengembangan dan Pengelolaan akan membahas konsep perencanaan terpadu bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Walau masih di atas kertas, optimisme rupanya sudah menjalar dalam tim. Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Mochamad Basuki Hadimuljono, misalnya, pagi-pagi sudah menjanjikan kelimpah-ruahan di masa depan: "Lima tahun lagi kawasan ini bakal menjadi produsen padi di daerah Kalimantan Tengah."
Basuki turut menjadi anggota tim terpadu yang dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Ikhwanuddin Mawardi. Konsep yang disodorkan tim terpadu sudah sudah hampir final. Sejak Juli tahun lalu, Ikhwanuddin telah pula membentuk tim teknis yang dipimpin oleh Bambang Setiadi dari BPPT.
Setelah menghabiskan dana kerja sekitar Rp 200 juta, pekan ini Bambang akan melakukan presentasi di hadapan seluruh Tim Ad Hoc. Apabila hasil kerja tim teknis disepakati, program ini bakal meluncur ke dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004/2005, Maret mendatang. Artinya apa?
Sekali lagi, negara mesti membuka pundi-pundinya bagi urusan lahan gambut. Setiap departemen akan diberi jatah melalui APBN sesuai dengan volume kerjanya dan anggaran yang diajukan. Tapi, ini pula yang dapat memunculkan rasa jeri dan waswas. Ingat bagaimana dulu dana reboisasi dan APBN hampir Rp 2 triliun dikemplang untuk membiayai proyek lahan gambut yang gagal? Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat dana yang dihabiskan Rp 1,446 triliun. Sementara itu, Bappenas punya angka lebih tinggi, Rp 1,979 triliun. Uang ini menguap tanpa hasil selama periode 1996-1999 sepanjang megaproyek itu digarap.
Nah, bagaimana uang akan diadakan untuk departemen-departemen yang bersatu dalam cita-cita untuk memulihkan lahan gambut? Ada departemen yang masih punya pos khusus di APBN yang disebut Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi. Penggunaannya sederhana. Sebesar 40 persen dana itu dapat langsung dikucurkan ke daerah. Sisanya, 60 persen, berada di bawah koordinasi pusat. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah juga dapat mengelola dananya dari APBN. Tapi, ada pula departemen yang tak punya kantor dinas atau wilayah di tiap-tiap daerah, sehingga mereka harus menyerahkan sepenuhnya teknis pekerjaan proyek kepada daerah.
Bicara soal bujet, Bappenas alias si "pengetok palu" bagi bujet berbagai proyek departemen adalah lembaga yang tak bisa dilangkahi. Tapi, kali ini Bappenas memilih cara agak berbeda. Lembaga itu meminta setiap departemen yang terlibat agar mengisi bujetnya masing-masing dan langsung mengajukan anggarannya ke APBN. La, lantas soal uang? "Bappenas hanya memutuskan sampai tingkat volume pekerjaan, tidak sampai ke besaran bujet," ujar Ikhwanuddin kepada TEMPO.
Benarkah cara ini kelak bisa menghindarkan departemen-departemen pelaksana dari godaan setan yang menawarkan penyelewengan, misalnya? Wallahualam. Yang jelas, kendati ancar-ancar biaya belum jelas, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, mengaku proyek ini menghabiskan dana "amat besar"—tak kurang dari empat kali lipat proyek lahan gambut (PLG) dulu. Ikhwanuddin tak menyebut angka, tapi dia tak membantah bahwa ini proyek yang besar biayanya. Dia membandingkan, biaya konservasi versi Departemen Kehutanan saja mencapai Rp 100 juta hingga Rp 500 juta per hektare.
Jadi, silakan membayangkan bila lahan yang akan "diklinikkan" itu mencapai ratusan ribu hektare. Apa pun prioritas pemerintah nantinya, tim terpadu akan bekerja berdasarkan verifikasi teknis di lapangan. Saat ini ada sekitar 533 ribu hektare lahan bergambut tipis (di bawah 3 meter) untuk budidaya pertanian. Sementara itu, 586 ribu hektare sisanya bergambut tebal (di atas 3 meter) dan akan dikonservasi.
Tim teknis juga sudah membuat tabel berisi rencana per departemen di lahan bekas PLG tersebut (lihat infografik, Petualangan dari Masa ke Masa). Tabel itu berisi letak blok, luas lahan, jenis tanaman dan perlakuannya, berikut penanggungjawabnya. Tim terpadu dalam laporannya menjelaskan, pelaksanaan "megaproyek lanjutan" di lahan gambut ini akan dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat desa hingga kementerian. Dalam hal rezeki, bujet proyek ini bakal menciprati ketujuh departemen di atas berikut berbagai instansi yang ikut bergabung.
Menurut ahli pertanian IPB, Hariadi Kartodiprojo, proyek pemulihan ini, jika dijalankan, hanya akan menyelesaikan masalah di tingkat teknis. Konsep program ini layaknya gerakan nasional lahan dan hutan nasional yang dicanangkan pemerintah. "Konsep ini tidak memotret masalah di lapangan secara jelas, kecuali hanya rebutan program kegiatan secara sektoral," tuturnya.
Kritik tajam Hariadi juga menyinggung hubungan pusat-daerah yang belum sejalan kebijakannya. Format redesain itu tidak mengacu pada aspirasi daerah, tapi hanya diskusi antar-departemen. "Tanpa ada komunikasi dengan daerah, hanya akan sukses di tingkat proyek," ujarnya. Padahal persoalan ini menyangkut keberlangsungan program jangka panjang. Program-program itu dinilainya amat bias pusat dan belum merepresentasi kebutuhan nyata di daerah. Dengan keras, ahli pertanian ini menuding: "Ini drop-dropan dari pusat."
Sontak saja Ketua Tim Ad Hoc, Ikhwanuddin, menahan lontaran Hariadi yang terkesan buru-buru itu. "Kami sudah lebih dari enam kali melakukan dialog dengan masyarakat di daerah," katanya. Bahkan anggota Tim Ad Hoc juga diambil dari pemerintah daerah masing-masing. "Kalau hasil kerja tim disepakati, itu juga mengikat pemerintah daerah," ujarnya kepada TEMPO.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sumber Daya Transmigrasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Djoko Sidik Pramono, tak mau kalah. Ia mengatakan, masyarakat menuntut pengembangan kelapa sawit. Djoko menambahkan bahwa tuntutan ini langsung dikatakan warga setempat kepada Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea saat kunjungan kerja ke lokasi proyek lahan gambut, Oktober tahun silam. Apakah keinginan rakyat kecil itu bakal ditampung? "Pengembangan perkebunan kelapa sawit memerlukan peran investor," katanya.
Padahal, Tim Ad Hoc sama sekali tidak menyinggung adanya pihak lain yang bakal dilibatkan. "Seolah pemerintah sendiri yang bakal berjasa dalam program ini," kata Hariadi. Malah, ia melihat, peran Departemen Kehutanan sangat kecil. "Padahal nilai strategisnya bagi lingkungan dan hutan amat tinggi."
Memang Ikhwanuddin tak menyebutkan donor di luar pemerintah. "Tapi, jika ada bantuan dari luar APBN juga tidak ada masalah," tuturnya. Selebihnya, ia akan mengusulkan agar Bappenas diberi kewenangan mengawasi jalannya proyek. "Harus ada yang mengawal, biar korupsi bisa dikurangi," ujarnya.
Ihwal korupsi pula yang disorot Hariadi. Menurut dia, hal-hal yang bersifat efisiensi tak pernah menjadi dasar pertimbangan tim tersebut. Kecemasan Hariadi soal korupsi ini bukan tanpa alasan. Meminjam metafora seorang pengamat lain: proyek ini ibarat mengayak beras dengan jala. Dan jangan lupa, rapor pemerintah Indonesia—dengan posisi "tiga besar dunia" di bidang perkorupsian—masih merah padam dalam memerangi korupsi pada instansi birokrasi di semua level.
Alhasil, kalau proyek ini sampai kembali terjerembap menjadi "arisan korupsi", penulisan kembali kisah lahan gambut di masa depan akan jauh lebih mudah; tinggal memperbesar angka-angka kerugian sembari menghibur Kalimantan yang kian sembap menyaksikan binasanya ekosistem yang tersisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo