Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Belajar dari Air Hitam

Air Hitam adalah bukti bahwa masyarakat ternyata bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAHU kelotok itu merayap tenang di arus Sungai Barito. Lajunya tak bisa "digeber" lebih kencang karena muatan begitu saratnya. Lima penumpang, tangki-tangki bahan bakar, membuat kelotok itu "terengah-engah". Muatan yang juga pol ada di bagian bawah, dari haluan sampai buritan: sekian tong berisi ikan segar yang siap dijual ke pasar. Itu artinya rezeki besar. "Dulu saya tak terbayang punya kelotok sendiri," kata Sandi, sang pemilik kelotok. Ketika bertolak dari pelabuhan Buntok, Sandi bercerita tentang kredit yang diberikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) untuk membeli kelotok itu. Dengan perahu milik sendiri itu, ia bisa mendatangi para nelayan yang berniat menjual ikan. Dari desanya di Simpang Telo, empat jam perjalanan sungai dari Buntok, hampir tiap hari kelotoknya menyusuri Barito. Ikan segar hasil tangkapan para nelayan dibawanya ke Muara Teweh, kota yang dicapai dengan pelayaran dua hari penuh. Kadang-kadang ikan segar itu dijualnya di tengah perjalanan. Hasilnya sebagian dipakai mencicil kredit kapalnya. Sandi hanya satu dari puluhan nelayan dan petani di sepanjang Barito dan Sungai Puning yang mendapat kredit sejenis. Program kredit kelotok ini dimulai tahun 1996, dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat lokal bersama Kehati, lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di Jakarta. Program itu adalah bagian dari program pengembangan ekosistem Air Hitam. Kawasan dengan nama agak seram ini terletak di Kalimantan Tengah, luasnya kurang-lebih 109 ribu hektare, dan sebagian besar terdiri atas hutan rawa-rawa. Air Hitam bukan tempat awal program pengembangan ekosistem itu. Program Kehati dan LSM lokal dimulai dari Sungai Mengkatip, sebuah kawasan yang berada di dalam megaproyek lahan sawah sejuta hektare alias proyek lahan gambut. Awalnya, program itu hanya mendata kerugian akibat kebakaran hutan yang tiap tahun terjadi di situ. Tapi masyarakat yang sangat kecewa dengan proyek lahan gambut jelas tidak ambil pusing dengan jargon-jargon konservasi "demi masa depan yang lebih baik". Penduduk perlu keuntungan masa kini yang nyata, karena ekonomi mereka morat-marit akibat proyek sejuta hektare. Mempelajari kondisi ini, dibuatlah program bantuan kredit untuk menanam rotan dan "purun", dua jenis tanaman pokok yang menjadi sumber nafkah penduduk sebelum "diganyang" proyek sejuta hektare. Belum lama program Kehati dan LSM berjalan, Departemen Kehutanan menetapkan kawasan Mengkatip sebagai kawasan rehabilitasi hutan. Dan program pun dialihkan ke Air Hitam, kawasan di Sungai Puning, persis di batas utara proyek gambut sejuta hektare. Kenapa? "Kawasan ekosistem Air Hitam masih bisa diselamatkan," kata Ismid Hadad, Direktur Eksekutif Kehati. Air di hutan rawa-rawa itu memang hitam, mirip air teh yang pekat. Ini jelas ekosistem yang tergolong unik karena hanya air di kawasan 109 hektare itu yang hitam. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa hitamnya air itu berasal dari bahan-bahan organik yang dikandung lahan gambut. Hutan berawa-rawa itu sangat kaya kayu, rotan, purun, dan ikan, sumber mata pencaharian orang Dayak dan Banjar yang tinggal di sepanjang Sungai Puning dan Barito. Tapi, seperti kebanyakan kawasan di Kalimantan, daerah di sepanjang aliran sungai itu sudah rusak oleh gemuruhnya penebangan kayu. Beberapa penggergajian kayu berdiri di sepanjang sungai. Kayu-kayu besar tak terlihat lagi, yang ada kayu berdiameter kecil untuk bahan bangunan dan karamba ikan. Program pun dimulai dari sepuluh desa di sepanjang daerah aliran Sungai Barito dan Sungai Puning. Daya tarik program ini adalah peningkatan pendapatan sebagai pembukanya. Nelayan dan peladang diberi kredit yang harus dilunasi agar bisa digulirkan ke desa yang lain. Jumlahnya tidak banyak, hanya Rp 60 juta yang dibagikan ke sepuluh desa itu. Desa Simpang Telo, misalnya, mendapatkan kredit pembuatan karamba sebesar Rp 15 juta, yang dibagikan untuk 20 orang nelayan. Nelayan mengisi karambanya dengan ikan yang mereka ambil dari "beje" (jaring ikan yang ditaruh di rawa-rawa). Mereka berhasil membudidayakan ikan di karamba. Beragam ikan air tawar seperti haruan (gabus), baung, dan saluang (karper) diperdagangkan tiap hari lewat kelotok. Penghasilan sangat membaik, bahkan beberapa nelayan membangun rumah baru dari uang hasil berjualan ikan. Tak sampai setahun, kredit itu lunas. "Kami melunasi kredit tepat waktu karena hasil ikan melimpah," kata Aliansyah, koordinator dari Desa Simpang Telo. Di Desa Batilap, kredit diberikan untuk peternakan ayam buras. Program pembuka berhasil, mulailah program konservasi berjalan. Masyarakat sepuluh desa tersebut diminta membuat peta sumber daya alam di Air Hitam. Penduduk tak keberatan karena "dapur" mereka aman. Pada pertengahan 2002, masyarakat di sepanjang Barito, dari Buntok hingga Sungai Puning dan Danau Raya, sudah punya peta sumber daya alam yang cukup lengkap dan akurat. Dari peta itu, tergambarlah kekayaan alam Air Hitam yang luar biasa. Ada 107 jenis pohon di sana, 27 di antaranya bernilai ekonomis. Ada 12 jenis rotan, 10 tanaman obat, dan 22 jenis buah-buahan. Ikan air tawar di sana terhitung 52 jenis, dan 10 jenis di antaranya adalah jenis yang laris diperdagangkan. Belum terhitung pula puluhan serangga, ular, burung, dan mamalia seperti bekantan. Soalnya tinggal bagaimana kekayaan ini dikelola dan diselamatkan. Yang pertama dilakukan "konsorsium" LSM adalah membangun organisasi rakyat di setiap desa. Gunanya untuk menampung keinginan anggota organisasi. Organisasi ini juga menyepakati aturan konservasi tingkat kampung. Salah satunya berbunyi: masyarakat sepakat tidak akan mengambil apa pun dari zona inti, yang luasnya sekitar 8.600 hektare. Zona itu terdiri atas dua mata air besar dan semua danau di sepanjang Sungai Puning, kawasan yang menjadi tempat pemijahan ikan dan daerah resapan air. Masyarakat boleh mengambil hasil hutan atau menjaring ikan di zona penyangga yang luasnya 24 ribu hektare. Tapi zona yang berbatasan dengan zona inti, termasuk tepian sungai, cuma bisa dimanfaatkan dengan terbatas, bergantung pada kerapatan tanamannya. Makin rapat pohonnya, pemanfaatannya semakin terbatas. Tujuannya agar kawasan itu tetap menjadi tempat pemijahan ikan dan pembibitan alami. Ada kawasan ketiga, yaitu kawasan pengelolaan masyarakat, yang luasnya hampir 77 ribu hektare. Masyarakat boleh mengambil sumber daya alam apa saja, tentu saja dengan jumlah yang tak berlebihan. Zona pengelolaan ini relatif gampang ditentukan karena selama ini zona tersebut sudah dipakai masyarakat sebagai ladang, beje, atau tempat perburuan. Jika ada aturan baru, para koordinator penduduk di tiap desalah yang akan menentukan. Awal Januari lalu, sebagai contoh, sepuluh koordinator desa yang bertemu di Kota Buntok menetapkan aturan baru, yakni pelarangan penebangan kayu ramin, karena kayu itu sekarang dilindungi pemerintah. Mereka juga menetapkan beberapa lokasi yang terlarang untuk beje. Artinya, masyarakat ternyata punya caranya sendiri untuk menyelamatkan lingkungan mereka—dengan sedikit stimulus dari "luar". Syaratnya: mata pencaharian mereka terjamin sehingga tekanan ekonomi tidak mendorong mereka merusak lingkungan. Jika syarat itu tercapai, hasilnya seperti yang dirasakan Ante dari Desa Batilap. Ia kini tak perlu ke hutan setiap hari seperti dulu. Dia punya waktu untuk bersantai beberapa hari di depan beranda rumahnya, menikmati pemandangan puluhan kelotok yang lalu-lalang di sungai. "Toh, kapan pun saya ke hutan, selalu ada ikan," katanya dengan yakin. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus