Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno:

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek lahan gambut sejuta hektare dimulai pada awal 1996, dan bubar pada 1999 tak lama setelah pencetusnya—mantan presiden Soeharto—tumbang. Tapi pemerintah rupanya masih ingin menguji peruntungan di Kalimantan Tengah. Sebuah tim terpadu yang melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sejumlah departemen tengah mengupayakan redesain lahan sejuta hektare itu, melalui konservasi dan pembudidayaan lahan.

Salah satu "pemeran utama" dalam proyek redesain lahan gambut adalah Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Departemen inilah yang kelak bertanggung jawab membereskan segenap prasarana di wilayah yang diredesain. Pekan ini, tim terpadu (Departemen Permukiman adalah anggota tim ini) membahas proyek redesain tersebut dengan Bappenas. Sejatinya, mengapa megaproyek yang telah dianggap gagal total ini dihidupkan kembali?

Wartawan TEMPO Rommy Fibri dan Purwani Diyah Prabandari mewawancarai Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, di Jakarta pekan silam. Berikut ini petikannya.

Publik menganggap proyek lahan gambut (1996-1998) gagal total. Apa perlunya kawasan ini diredesain?

Kawasan satu juta hektare ini sudah menjadi masalah. Tetapi kita tak bisa tinggal diam. Investasi untuk lahan gambut ini sudah cukup besar. Jadi, harus kita fungsikan. Sekarang kita harus duduk sama-sama menangani lahan ini agar berhasil. Jika tidak, kita akan menghadapi masalah besar di bidang pangan. Yang terpenting, proyek ini harus melibatkan masyarakat lokal, community-based.

Lahan mana saja yang difungsikan kembali, dan bagaimana caranya?

Lahan yang punya nilai konservasi maupun yang bisa menjadi areal pertanian. Sekitar 533 ribu hektare tanah yang ketebalan gambutnya kurang dari 3 meter akan dijadikan kawasan budidaya. Sedangkan 586 ribu hektare lebih yang ketebalan gambutnya melebihi 3 meter dan tidak cocok menjadi areal pertanian akan menjadi lahan konservasi.

Pemerintah akan memulai dari nol?

Menurut saya bukan dari nol lagi, tapi dari minus, karena kita harus mengembalikan kepercayaan publik.

Bagaimana kepercayaan publik akan dikembalikan jika posisi pemerintah sudah minus?

Kita mulai lagi dari masyarakat di sana. Semua kerugian yang dia derita dicoba kita kembalikan.

Investigasi TEMPO pada Desember 2003 silam menemukan, urusan ganti rugi tanam-tumbuh penduduk setempat belum beres....

Memang belum selesai. Awal Februari nanti, diharapkan daftar isian proyeknya sudah turun dan akhir tahun nanti sudah beres. Keputusan pembayaran ganti rugi tanaman dan penghidupan (penduduk setempat—Red.) sudah menjadi keputusan politik. Makanya, kita bawa ke DPR. Mereka yang harus menyediakan anggarannya.

Kami juga menemukan pembengkakan persil/petak tanah dari 4.600 sampai 15.000 persil. Bagaimana pemerintah mengatasinya?

Sejak dulu isu mark-up (persil) ini muncul terus. Tetapi kita sudah bersepakat yang bertangggung jawab mengenai layak-tidaknya persil yang diajukan adalah tim yang telah kita (pemerintah) bentuk. Nah, soal angka mark-up ini, mungkin dulu ada yang mengajukan tetapi tidak tertampung di paket pembayaran Rp 169 miliar. Kemudian mereka memasukkannya lagi.

Dari mana angka Rp 169 miliar ini?

Sebenarnya soal pembebasan tanah semua sudah terbayar. Ganti rugi kedua ini ada setelah ada reformasi. Muncul berbagai gugatan dan ada laporan kontraktor yang menyimpang. Lalu, kita bentuk tim di daerah untuk bisa menyelesaikan masalah ini. Penduduk mengusulkan jumlah ganti rugi akibat kehilangan mata pencaharian sekitar Rp 430 miliar. Setelah pembicaraan berkali-kali, akhirnya disepakati jumlah santunannya sekitar Rp 169 miliar.

Berapa dana yang diperlukan pemerintah untuk melaksanakan proyek redesain ini?

Sangat besar. Tapi masih harus bertahap dan melihat sumber daya yang ada di masyarakat.

Sangat besar itu kira-kira berapa kali proyek pertama? (Lihat nilai proyek pertama di tulisan infografik Petualangan dari Masa ke Masa—Red.)

Sekitar empat kali lipat. Tapi tentu tidak akan seperti dulu, yang sudah keluar uang banyak tapi tidak ada hasilnya.

Proyek yang dulu sudah gagal, sehingga banyak orang yakin proyek yang sekarang akan senasib. Apa komentar Anda?

Orang-orang yang bilang gagal, bukan pemerintah. Pada saat reformasi, hampir semua yang berbau masa lalu dinyatakan gagal. Tetapi kita harus obyektif dan rasional: kalau kita bisa mengembangkan lahan rawa di Sumatera, kenapa di Kalimantan tidak bisa? Saya yakin akan berhasil. Bila saya dikasih kesempatan oleh Tuhan untuk hidup 10 tahun lagi, saya yakin akan berhasil.

Menurut Anda, kenapa proyek lahan gambut yang dulu gagal?

Mungkin ada satu hal yang harus kita pelajari, konsep yang amat sentralistik. Selain itu, memang ada proses engineering yang dilompati. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus