Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

MENGEKSPOR ANGIN, MENGERUK UANG NEGARA

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Era Orde Baru adalah saat para petualang kerah putih lelap dalam bahagia. Kim Johanes Mulia Jiauw merupakan contoh telak betapa hukum bengkok dan hanya menuruti selera yang beruang dan berkuasa. Ia melakukan ekspor fiktif dengan memalsu dokumen, mendapatkan kredit supermurah, memacetkannya, dan lolos dari jerat hukum. Ia juga lolos saat menerbitkan promes bernilai ratusan miliar lewat Bank Arta Prima. Bagaimana pola bisnis pengusaha yang selalu punya cantolan pada orang istana kepresidenan ini? Soekardi kini berusia 72 tahun dan agak gampang berkeluh kesah. Sudah satu bulan terakhir bekas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) periode 1985-1989 itu sakit pada limpanya sehingga harus berobat ke General Hospital Singapore. Baru-baru ini, keluhannya bertambah, ia tidak bisa tenang. Gara-garanya, TEMPO menanyakan kasus ekspor fiktif Kim Johanes Mulia yang terbongkar pada 1994 lalu, saat dia masih berkuasa. "Sudahlah, untuk apa mengungkit yang sudah lewat. Saya ingin mengisi masa tua saya dengan ketenangan. Kalau ditulis, saya bisa gelisah," kata Soekardi. Sejak 1992 sampai saat ini, Soekardi bekerja di perusahaan Detta Marina milik Kim sebagai direktur. Ia juga yang mendampingi Kim selama pemeriksaan. Namun, dalam kasus ini, ada kepentingan yang jauh lebih besar dari ketenangan Soekardi. Uang negara, sekitar US$ 500 juta atau senilai Rp 1,07 triliun pada 1994, lenyap gara-gara aksi Kim. Dan itu belum cukup. Nama Kim muncul kembali pekan-pekan ini ketika skandal Bank Bali menyeruak ke permukaan. Selama 1992-1994, Kim, lewat Detta Marina dan perusahaan lain miliknya, mengekspor tekstil ke Singapura. Modusnya, pura-pura mendapat pesanan dalam partai besar dari pembeli Singapura, yang ternyata juga perusahaan milik Kim sendiri. Mengingat jaket kulit adalah produk tidak berbahaya seperti halnya kelapa sawit dan udang beku, pihak Bea Cukai hanya memeriksa dokumen. Keterlibatan oknum Bea Cukai dalam terbitnya dokumen fiktif ini susah dipungkiri, karena "ketidakcermatan" yang terjadi berlangsung sedemikian lama. Kapal dan perusahaan pelayaran yang disebut dalam dokumen tidak pernah ada di data pelabuhan. Adapun volume ekspor pun terasa ganjil, karena perusahaan tekstil sekelas Detta Marina tak mungkin menghasilkan komoditi sebanyak itu karena terbatasnya kapasitas pabrik. Soehardjo, Direktur Jenderal Bea dan Cukai saat itu, kabarnya, ketika diperiksa aparat hanya bisa menjawab, "anu...anu". Sayang, Soehardjo tak bisa dimintai konfirmasi untuk hal ini. Setelah sukses menerobos gerbang Bea dan Cukai dan "barang" dibeli "pemesan", Kim mengajukan rediskonto pada bank devisa pemberi kredit ekspor. Bank-bank devisa yang digunakan Kim adalah Bapindo, Danamon, dan Pacific. Bank devisa biasanya memberi kredit terlebih dahulu pada eksportir karena pengiriman barang tidak dijamin dengan letter of credit sebelumnya. Untuk mendapatkan kredit ini, eksportir harus mendepositokan dana paling kurang 15 persen dari kredit yang diminta. Bank devisa lalu meneruskan permintaan rediskonto pada BI. Di sini hubungan yang terjadi adalah eksportir berutang ke bank devisa, sementara bank devisa berutang ke Bank Indonsia (BI). BI yang menyetujui rediskonto lalu mengucurkan uang ke bank devisa yang akan diteruskan ke eksportir. Tujuannya tunggal: uang ini harus digunakan eksportir untuk membayar utangnya pada bank devisa pemberi kredit. Namun alih-alih dibayarkan, dana ini justru dikemplang Kim sehingga jadi kredit macet. Akibatnya, kas Bapindo bobol sebesar US$ 200 juta, Bank Danamon sebesar US$ 101,621 juta, dan Bank Pacific senilai US$ 84,578 juta (total senilai Rp 1,07 triliun pada 1994). Mengapa bank devisa tidak menagih? Menurut sumber TEMPO di Bapindo, ada karyawan yang berusaha menagih, tapi ia justru ditegur atasannya. Sang penegur ini bernama Pande Lubis, yang saat itu berposisi Kepala Cabang Bapindo Rasuna Said, tempat Kim mendapatkan kredit. Bahkan, Pande yang kemudian pernah menjadi direktur di Bapindo—dan kini wakil ketua BPPN—dalam satu suratnya ke Kim Johanes menyatakan Detta Marina selalu memenuhi kewajibannya. Utang Kim yang segunung ini sejak 1995 dilimpahkan ke Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Menurut F.X. Sutardjo, Kepala Biro Piutang Negara Perbankan BUPLN, pihaknya sudah melakukan penagihan berkali-kali. Penagihan hanya utang pokok, tidak berikut bunga. Hasilnya? "Setelah kita cek, ternyata memang belum ada pembayaran ke BUPLN," ujar Sutarjo. BUPLN sebetulnya bisa melakukan penyitaan, tapi hal ini tidak dilakukan. Menurut Sutardjo, utang dari wesel ekspor tidak disertai agunan sehingga pihaknya kesulitan. "Kami tidak punya data kekayaan Kim yang lain, sudah mencari tapi tidak dapat," ujar Sutardjo. Ajaib, memang. Namun hal semacam itu bukanlah barang baru. Terbukti empat tahun sebelumnya Kim lolos. Padahal, jika Kim mengembalikan sendiri semua utangnya pun, negara tetap rugi. Kredit murah semacam ini seharusnya lebih layak mengalir ke pengusaha kecil. Dengan asumsi yang sama, cukup mengherankan Kim juga lolos dari delik pemalsuan yang masuk tindak pidana umum. Menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, sebetulnya pihak kepolisian sudah mengajukan permintaan agar delik pemalsuan ini diteruskan. Namun, Singgih, Jaksa Agung waktu itu, menolak. Menurut sumber ini, Singgih mendapat tekanan dari pejabat di atasnya. Sayang, Singgih tidak bisa dimintai komentarnya karena sedang berada di luar negeri sampai tulisan ini diturunkan. Yang menarik, Soetomo, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang menangani kasus ekspor fiktif itu, saat ini dikabarkan bekerja di perusahaan Kim sebagai penasihat. Kim membantah semua tudingan. "Saya benar-benar tidak bersalah," ujar Kim. Namun barangkali, sebentar lagi ia akan ketularan gelisah seperti Soekardi. Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman, menyatakan dirinya akan menuntaskan kasus-kasus lama yang menjadi utang lembaganya. "Saya memang belum baca semuanya, tapi kasus seperti Kim Johanes akan kita pelajari lagi," kata Marzuki. Kim memang sepantasnya gelisah. Selain kasus ekspor fiktif ini, ia juga bermasalah dalam skandal Bank Arta Prima (BAP). Ketika BAP kolaps karena kredit ke grup sendiri (Gunung Agung) terlalu banyak dan macet, Kim bersaing dengan taipan muda Tommy Winata untuk membelinya. Akhirnya, Tommy mundur, karena Kim menggandeng Hedijanto, bendahara Yayasan Dharmais, lewat PT Jagata Primabumi. Di perusahaan ini tercatat pula nama Jeffie Geovanie, menantu bekas Jaksa Agung Singgih. Kim sendiri tidak terlibat langsung dalam Jagata. Dalam akta perjanjian, Jagata bersedia menanggung seluruh utang BAP. Ketika akta sudah diteken (tapi kepemilikan belum beralih), kondisi keuangan BAP justru memburuk. Ternyata, ada promes baru yang diterbitkan BAP senilai Rp 150 miliar. Orang yang diduga berada di belakang aksi ini adalah Kim. Dugaan pertama, agar calon pembeli lain hilang selera dan mundur karena keroposnya kondisi BAP. Namun, menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, ada dugaan kedua yang lebih seru: dana yang diperoleh lewat penerbitan promes ini masuk ke kantong Kim sendiri. Dugaan ini tampaknya lebih kuat. Apakah Hedijanto dan Made Oka Masagung, pemilik BAP yang lama, terlibat? Kedua orang tersebut membantah. Tapi, tampaknya keduanya kena tipu Kim. Hedijanto kesal karena Kim tak mau menyetor dana agar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) turun. Kim dianggap hanya mau mendapatkan bagian dari KLBI. BAP akhirnya memang berhasil didapatkan Tommy Winata dengan harga sangat murah. Sudah begitu, Tommy pula yang beruntung mendapatkan KLBI. Tapi itu soal lain. Nasib Kim sendiri saat itu terancam, karena ia dianggap paling bertanggung jawab terhadap utang BAP karena promes baru. Namun, bukan Kim kalau mudah dijerat. Di pengadilan, lewat pengacara andal Adnan Buyung Nasution, Kim berhasil diloloskan karena majelis hakim berhasil diyakinkan bahwa tidak ada tindak pidana yang dilakukan Kim. Kalaupun Kim benar menganjurkan Oka Masagung untuk memerintahkan direksi BAP menerbitkan promes baru senilai Rp 150 miliar itu, kedudukan Kim sebagai "penganjur dari penganjur" susah dijerat hukum. Pengacara Kim memang hebat. Namun ada cerita di balik bebasnya Kim. Ternyata, saat sidang berjalan, Kim berjanji pada Tommy, pihaknya sanggup melunasi utang karena promes baru ini. Tommy percaya dan dua pihak lantas menghadap hakim agar Kim dibebaskan. Lagi-lagi, Kim yang menang karena setelah bebas ia bisa "bertolak pinggang" di depan Tommy. Apa boleh buat, Kim memang jadi "tidak bersalah" akibat vonis itu. Tommy lalu hanya bisa gigit jari. Menurut seorang praktisi hukum, seharusnya saat perundingan dilakukan, sidang tetap digelar bila Tommy ingin di atas angin. Mengapa Tommy yang dikenal dekat dengan militer "habis akal" melawan Kim? Tak bisa lain, nasib memang sedang berpihak pada Kim. Saat Kim bebas, kekuasaan sudah beralih dari Soeharto ke Habibie. Dan Kim mempunyai akses yang hangat ke A.A. Baramuli, Ketua DPA, yang juga motor tim sukses Habibie. Jadi, Tommy kalah angin. Sayang Tommy enggan mengomentari nasib apesnya itu. Dari kasus ini, pola Kim yang selalu mendekati orang yang memiliki akses ke RI 1 (presiden) makin jelas. Mula-mula, Hedijanto, lalu Baramuli. Bersama Baramuli, Kim diduga kuat ikut berusaha mengobok-obok BPPN. Kim, seperti biasa, tentu bermain di belakang layar. Agar tujuan berhasil, mereka sekuat tenaga mendesakkan nama Pande Lubis jadi ketua, menggantikan Glenn Yusuf. Ingat, Pande Lubis adalah teman erat Kim sejak Pande di Bapindo. Usaha ini gagal karena skandal Bank Bali keburu meledak. Kim tak bersih dari kasus ini. Salah satu perusahaannya, PT Indowood, ikut mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 5 miliar dari Djoko S. Tjandra. Kim menyebutkan ini haknya, tanpa merinci perjanjian bisnis apa yang diteken dengan Djoko. (Indowood sendiri menurut sumber TEMPO melakukan ekspor gelap kayu gelondongan ke Malaysia dengan bekerja sama dengan Poleko Yubarsons, perusahaan milik Baramuli pemegang hak pengusahaan hutan di Pulau Obi, Maluku). Kim juga disebut pernah menjanjikan turunnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk Rudy Ramli bila mau membuat surat bantahan atas catatan harian. "Tidak benar, apa untungnya bagi saya," ujar Kim. Masih banyak lagi cerita miring tentang Kim yang tentu saja dibantah habis olehnya. Untuk menentukan versi mana yang paling sahih, pengadilan yang jujur terhadap kasus-kasus lamanya akan sangat bermanfaat. Bila ia terbukti tak bersalah, ia tak perlu lagi merengek setiap kali diwawancarai pers dengan kata-kata, "Kapan media pernah menulis yang baik tentang saya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus