Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Pengekspor Angin dari Belawan

Kim adalah sosok yang licin sekaligus misterius. Selain berkali-kali berganti bisnis, ia juga lebih dari sekali berganti nama.

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Kim Johannes Mulia Jiauw mulai berkibar di pentas nasional setelah kasus ekspor fiktifnya terbongkar pada 1994. Saat itu, ada dugaan bahwa Kim sengaja "dikorbankan", mengingat hanya Kim seorang, dari sekian pengekspor "angin" yang terjaring aparat. Kim dianggap bersalah oleh pemerintahan Soeharto karena ikut campur dalam upaya penyelamatan Kanindotex milik Robby Tjahjadi, sementara perusahaan itu sedang diincar Bambang Trihatmojo. Sejak saat itu orang mulai bertanya: siapa Kim? Nama aslinya Jiauw Ho Peng, lahir di Serbelawan, Medan, pada 16 Mei 1957. Orang tua Kim adalah pasangan Jiauw Tjin Hin (Adi Mulya), yang lahir di Cina, dan Demonati (keduanya kini tinggal di kawasan Sunter, Jakarta Utara). Ada yang menyebut Kim lahir di Hong Kong atau Makau sekalipun buktinya tidak cukup kuat. Pada 1980, sebagaimana lazimnya keturunan Tionghoa, Jiauw, yang saat itu berstatus mahasiswa, mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia. Tidak jelas apakah permintaan Jiauw ini diterima atau tidak. Namun, pada 13 Februari 1996, Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman mengirim surat ke Camat Medan Baru, Sumatra Utara, yang berisi penolakan kewarganegaraan Kim. Masalahnya, surat bukti kewarganegaraan Republik Indnesia (SBKRI) milik Kim palsu. Dalam dokumen SBKRI nasional, nama Jiauw Ho Peng ternyata tidak terdaftar dalam register No. 7087/ALD/57. Nomor itu adalah milik Winaja Narayana, yang sudah almarhum. Boleh jadi, terungkapnya dokumen kewarganegaraan Kim ini buntut dari kasus-kasus Kim yang lain. Tak banyak diketahui hal pribadi seputar pria yang gemar berenang ini, selain kini ia sudah menjadi bapak dua orang anak. Kim mulai menjajal bisnis di Jakarta pada awal 1980-an dengan menjadi leveransir peralatan kapal. Semua bisnisnya dikendalikan dari Jalan Juanda III di kawasan Pasarbaru. Kim muda saat itu memakai beberapa nama, antara lain Soenarto Syarif dan—yang lebih populer—King Seng. Para tetangganya di kawasan itu mengenang Kim, yang dulu kurus dan jalannya gontai, sebagai bujangan muda yang sopan, irit bicara, tapi sekali omong mantap dan mampu menjelaskan persoalan bisnis apa saja. Kim lalu berdagang zat kimia, arloji, membuka show room mobil, dan menyewakan ruko. Untuk kelancaran bisnisnya, Kim memakai Volvo 240 warna hijau tentara. Titik yang paling menentukan langkah bisnis Kim adalah saat ia mengambil alih Detta Marina pada 1989. Saat itu Detta, yang dimiliki Kaptin Adhisumarta, salah melakukan investasi sehingga berutang Rp 13 miliar ke Bapindo. Dan inilah pola favorit Kim: ia datang sebagai juru selamat. Tapi, untuk itu, Bapindo harus mengucurinya lagi Rp 7 miliar. Mengapa Kim bisa mendapatkan kredit dari bank yang sama untuk perusahaan yang sama? "Dalam kamus orang Tionghoa seperti Kim, tak ada yang tak bisa dibeli. "Setan sekalipun, kalau perlu, bisa disogok," kata Anton Medan, bekas preman yang kini penceramah agama, mengomentari kepiawaian lobi Kim. Kredit yang turun lancar ini membuat kedekatan Kim dengan beberapa petinggi Bapindo, salah satunya Pande Lubis, makin mesra. Saat membeli Detta, Kim tak melapor ke Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Bahkan, sejak 1991, Detta sudah dicoret API karena tak membayar iuran anggota. Lalu, mengapa Detta masih mendapat kuota ekspor? Rupanya, API keder karena Kim membawa nama-nama besar yang dekat dengan ring satu (keluarga Cendana). Melibatkan nama besar memang kelihaian Kim. Pada zaman Soeharto, Kim menggandeng Hedijanto, bendahara Yayasan Dharmais, dan Probosutedjo. Namun, hubungan itu kini berantakan. "Rapor Kim jelek di mata Pak Probo," ujar sumber TEMPO yang dekat dengan Probo. Sementara itu, Hedijanto sendiri menolak bicara tentang Kim. Namun, saat kasus Bank Arta Prima mencuat, Hedijanto pernah menyebut Kim sebagai setan gara-gara kena kibul. Kim memang punya kebiasaan menyingkirkan mitra bisnisnya bila sudah mendapat cantolan yang lebih kuat. Pada era Habibie yang sebentar itu, Kim menoleh ke A.A. Baramuli. Sebetulnya, Baramuli adalah kenalan lama karena Baramuli boleh dibilang dulu orang binaan Probo. Yang mengenalkan Baramuli dengan Kim Johanes adalah Robby Tjahjadi. Bagi mantan anggota DPR Bambang Warih Kusuma, yang dulu membongkar skandal Kanindotex, kedekatan Kim dengan Baramuli tidak mengherankannya. "Kim itu buaya. Jadi, kalau sekarang dia dekat dengan Baramuli dan Robby Tjahjadi, ya, cocoklah. Sesama buaya kan memang bisa akur," ujar Bambang. Malang bagi rakyat, yang kena gigit "buaya" itu keuangan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus