Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Muslihat <font color=#FF3300>Cukong</font> di Ladang Cepu

Megaproyek pengeboran di Blok Cepu menjanjikan fulus berlimpah. Semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak dan gas raksasa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini. Para calo dan spekulan tanah ikut bermain. Tipu daya dikerahkan demi mengeduk untung dari harga pembebasan tanah yang didongkrak gila-gilaan. Penelusuran Tempo membedah ”kongsi” aparat dan pengusaha yang terjalin rapi di Banyu Urip, salah satu ladang Cepu.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON seluler Suwito Hariyanto berdering pada sebuah pagi pertengahan 2006. Seseorang yang mengaku karyawan PT Sido Muncul meminta pria 36 tahun itu ke Surabaya. ”Bos saya ingin ketemu sampeyan,” ujarnya. Sebagai bekas karyawan perusahaan jamu itu, Suwito tahu siapa yang dimaksud ”bos saya”. Ia segera meluncur dari rumahnya di Bojonegoro.

Di kantor cabang Sido Muncul di ibu kota Jawa Timur itu, Johan Hidayat menyambutnya. Si ”bos” yang juga komisaris perusahaan papan atas dalam industri jamu itu menyampaikan keinginannya. ”Tolong, carikan peta Blok Cepu, terutama Banyu Urip,” kata Johan membuka percakapan, seperti ditirukan Suwito kepada Tempo, November lalu.

”Buat apa?” tanya pengacara yang banyak menangani sengketa tanah di Bojonegoro itu.

”Saya perlu tanah untuk budidaya tanaman jamu,” kata Johan.

Blok Cepu adalah mandala minyak dan gas seluas 167 ribu hektare, meliputi Blora di Jawa Tengah serta Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur. Di dalamnya mendekam 318 miliar liter minyak dan 36,8 miliar meter kubik gas. Banyu Urip merupakan salah satu lapangan minyak di blok itu. Laiknya daerah kaya migas, area seluas 4.000 hektare ini tandus. Jadi, kenapa Sido Muncul ingin menanam bahan jamu di sini?

Setahun kemudian Suwito baru ngeh. Sesungguhnya tak ada niat serius dari pemilik Sido Muncul untuk bertani jamu-jamuan di sana. Bukan, bukan itu tujuan yang sesungguhnya. Yang dituju adalah keuntungan dari menjual tanah kepada Mobil Cepu Limited—unit usaha ExxonMobil Oil Indonesia yang punya kewenangan mengelola Blok Cepu.

Demi tujuan itu, adik Johan, David Hidayat, dikabarkan telah memborong tanah di sana. Ia disebut-sebut menguasai hampir seratus hektare lahan di wilayah itu, sehingga dijuluki raja tanah Banyu Urip. ”Informasi ini dibenarkan orang dekat Johan,” ujar Suwito. ”Targetnya 400 hektare.”

Bukan cuma David yang tergiur berbisnis tanah di Banyu Urip. Nama lain yang beken di antara warga setempat adalah Kartika Sari. Menurut Parmani, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Banyu Urip-Jambaran, kini para cukong spekulan tanah semacam David dan Kartika telah menguasai 70 persen tanah Banyu Urip.

Maklum, bisnis jual-beli tanah di kawasan ini menjanjikan keuntungan berlimpah. Di Banyu Urip, Mobil Cepu akan menggelontorkan Rp 350 miliar untuk membebaskan 700 hektare. Soalnya, harga pembelian terakhir sebesar Rp 50 ribu per meter persegi. Padahal harga tanah berdasarkan nilai jual obyek pajak di sana hanya Rp 3.500 per meter.

Tapi lihat akibatnya. Gara-gara merekalah, jadwal produksi tiga sumur minyak pertama di mandala itu: Alastua Timur dan Barat, serta Kedung Keris, molor. Semula, ketiga sumur ini direncanakan sudah beroperasi pada akhir tahun lalu.

Semua rencana itu berantakan karena proses negosiasi menjadi alot. Akibatnya, boro-boro menyedot minyak, pembebasan lahan saja hingga kini belum rampung. ”Kami mundur begitu tahu calo dan spekulan sudah menguasai tanah di sana,” kata Maman Budiman, Wakil Presiden ExxonMobil Oil Indonesia, Desember lalu.

Keterlambatan ini membikin berang pemerintah pusat. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti Exxon harus sudah memulai pengeboran pada awal 2008.

Gerak cepat dipandang perlu karena pasokan minyak 165 ribu barel per hari dari Banyu Urip sangat ditunggu untuk membendung lonjakan subsidi bahan bakar, akibat kenaikan gila-gilaan harga minyak mentah dunia yang hampir tembus US$ 100 per barel—tertinggi dalam sejarah.

Pasokan dari Cepu juga jadi andalan pemerintah untuk menutup tekor produksi minyak domestik. Sebab, Indonesia yang dulu pernah berjaya menikmati manisnya masa-masa bonanza minyak, sejak lima tahun lalu telah berstatus pengimpor neto minyak mentah.

Kepada Tempo, David Hidayat menolak tudingan ia menjadi makelar atau spekulan tanah di Banyu Urip. Ia mengaku hanya punya 2,2 hektare. Ia juga tak berniat menangguk untung dari proyek Exxon. ”Jangan kaitkan saya dengan Exxon,” ujarnya di Semarang, akhir Desember lalu (lihat Tanah untuk Tanaman Jamu).

Tapi penelusuran Tempo menunjukkan mosaik peta tanah Banyu Urip penuh namanya.

l l l

”DAVID bos Jamu”, begitulah ia terkenal di Banyu Urip. Namanya akrab hingga ke pelosok: dari Ngraho di selatan Kalitidu, sampai Sendangharjo di timur Ngasem.

David ditabalkan pertama kali ketika Mobil Cepu Limited menggelar sosialisasi pembebasan tanah untuk sumur Alastua Barat, 23 Juni 2007, di kantor Bupati Bojonegoro. Panitia pembebasan menyebut David memiliki 14 persil—dari total 32—di area yang akan dibebaskan. David diterakan beralamat di RT 8 RW 3 Desa Ngasem.

”Waktu itu warga terkejut mendengar namanya,” ujar Munawar Cholil, warga Ngasem. Warga kembali terperangah ketika muncul nama lain yang tak kalah asing: Wibowo Halim. ”Saya pastikan tak ada orang-orang ini di Ngasem,” kata Munawar.

Dasrip, warga Sendangharjo, membenarkan. ”Mana ada nama sekeren itu di kampung,” ujarnya. Tapi inilah faktanya: di peta rencana pembebasan lahan sumur Alastua Barat yang dibuat Mobil Cepu, nama David-Wibowo berserakan dari ujung Desa Ngasem sampai ujung Sendangharjo. Peta itu terekam dalam sebuah vcd yang diambil gambarnya diam-diam oleh sumber Tempo, saat acara sosialisasi berlangsung.

Rasa penasaran warga terjawab ketika Jaelani angkat bicara dalam forum itu. Staf pengukur tanah kantor Kecamatan Ngasem ini mengaku mewakili David yang tak bisa hadir. Tak hanya David yang ”alpa”. Wibowo juga tak datang. Siapa yang mewakili Wibowo dalam pertemuan itu? Inilah dia: Munzir, atasan Jaelani.

Warga tak asing dengan duo Munzir-Jaelani. Bukan karena keduanya pegawai kecamatan, tapi karena sejak Januari 2007 duet itu agresif mendatangi, membujuk, dan memaksa pemilik lahan supaya menjual tanahnya.

Di belakang duo itu, sebuah nama wajib disebut: Erdyn Sutjahyo, Camat Ngasem sekaligus bos Munzir-Jaelani. Sebagai pejabat pembuat akta tanah dan pemegang data kepemilikan lahan, ia pejabat paling berwenang dalam jual-beli persil di kecamatannya. Di tangannya, segala keharusan dalam transaksi bisa diatur.

Simaklah kisah Parmin, 44 tahun, salah seorang korban duet Munzir-Jaelani. Warga Ngasem itu dibujuk melepas lahan 1.500 meter persegi di Alastua Barat seharga Rp 22 ribu per meter persegi pada Maret 2007. ”Waktu itu saya langsung disodori Rp 33 juta,” katanya.

Parmin pun diminta meneken surat pernyataan menjual tanah bermaterai dan menyerahkan KTP. Anehnya, tak disebutkan siapa pembelinya. Dua bulan kemudian, Parmin baru tahu siapa yang membeli tanahnya. Di peta terbitan Badan Pertanahan Nasional Bojonegoro, 23 Mei 2007, tertera nama David.

Kepala BPN Bojonegoro, Djuprianto Agus Susilo, mengaku pihaknya tak memiliki kewenangan menelisik asal-usul David dan setiap nama pada peta itu. Ia menerbitkan berdasarkan data pejabat pembuat akta tanah dan notaris. ”Pejabat itu yang memeriksa data mereka,” ujarnya. ”Salah satu yang terpenting adalah harus ber-KTP Ngasem.”

Lantas, siapa yang menerbitkan KTP Ngasem untuk David? Erdyn bermain dalam penerbitan kartu identitas ini. Dia adalah pejabat yang menandatangani setiap KTP warga Ngasem.

Motif tipu-tipu ini tentu saja uang. Bisnis ini memang menggiurkan. Lihat saja uang yang didapat Erdyn dari jual-beli tanah Yapin, 45 tahun. Pada Juli tahun lalu, warga Sendangharjo ini melepas tanahnya 8.500 meter persegi, plus 3,6 hektare milik saudara-saudaranya, pada harga Rp 25 ribu. ”Itu sudah sangat mahal,” kata Yapin sumringah. Memang, nilai jual objek pajak tanah di Banyu Urip hanya Rp 3.500 per meter persegi.

Ia pun pasrah saja ketika Erdyn memintanya menulis Rp 37 ribu di lembar penjualan, lebih tinggi Rp 12 ribu dari jumlah uang yang ia terima. ”Kata Pak Camat, selebihnya untuk ongkos administrasi,” ujar kepala sebuah dusun di Sendangharjo itu. Ketika pengakuan Yapin dikonfirmasi kepada Munzir, yang memerantarai jual-beli tanah itu, ia menolak memberikan tanggapan. ”Tanya ke Pak Camat,” ujarnya.

Sayangnya, Camat Erdyn tak banyak memberikan keterangan, meskipun pada awalnya menerima Tempo dengan ramah di kantornya. Ia mengakui, tanah di wilayahnya sudah banyak berpindah tangan. ”Itu karena Exxon tak jelas akan membeli atau tidak,” katanya dalam bahasa Indonesia campur Jawa pada November lalu.

Ia tak menyangkal telah ”memfasilitasi” jual beli tanah-tanah itu. ”Tapi tak banyak,” ujarnya. Menurut dia, sepanjang antarwarga desa, jual-beli lahan ini tak dilarang. ”Sebagai pejabat, saya tak bisa menghalangi.”

Pak Camat mungkin lupa ihwal larangan itu. Bersamaan dengan penerbitan izin lokasi untuk Exxon pada Januari 2007, Bupati Bojonegoro melarang warga menjual tanah di sekitar sumur eksplorasi. Jauh sebelumnya, surat edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Bojonegoro Nomor 188/2002 kepada semua camat dan PPAT juga melarang jual-beli tanah di Blok Cepu.

Selain itu, ada juga Undang-Undang Nomor 56/1960 yang mengatur setiap orang hanya boleh memiliki sawah maksimal 7,5 hektare di wilayah yang cukup padat. Tingkat kepadatan di Ngasem 400 orang per kilometer persegi.

Ketika nama David dan Wibowo disinggung, Erdyn tak ramah lagi. Ia menyangkal mengenal mereka, meski membenarkan keduanya warga Ngasem, tinggal di RT 8 RW 3. ”Kami cek, tak ada warga yang kenal mereka,” kata Tempo. ”Mereka pedagang, tidak tinggal di sini,” dia pun berkelit. Dengan alasan ada urusan di desa lain, ia pamit masuk ruang kerjanya.

Tak lama, ia keluar lagi sudah memakai jaket, sarung tangan, dan menenteng helm, lalu menyodorkan amplop kepada Tempo. ”Buat bensin,” ujarnya. Sambil menolak, Tempo kembali mengonfirmasi aksi para calo memborong tanah. ”Saya dipanggil Bupati,” ia seperti lupa alasan sebelumnya.

Anehnya, David Hidayat justru mengaku mengenal Erdyn. Namun ia membantah punya KTP Ngasem. ”Seumur-umur, baru sekali ke Bojonegoro, tahun 2002,” ujarnya. ”Kalau tak percaya, tanya saja Erdyn.” Masalahnya, Erdyn baru menjadi Camat Ngasem pada 2004.

Tempo tidak bisa melacak keberadaan Wibowo. Identitasnya hanya diperoleh dari keterangan Yapin. Sewaktu transaksi, kata kepala dusun yang kemudian ikut dalam tim Munzir dkk itu, David datang bersama Wibowo. Ia menduga nama Wibowo hanya dipinjam untuk menyamarkan tanah-tanah David.

Di sumur Alastua Timur, sekitar dua kilometer dari Alastua Barat, David-Wibowo bahkan lebih bertaji. Alkisah, pada Agustus 2007, tim pembebasan lahan Mobil Cepu datang ke Desa Ngunut, Dander. Tujuannya cuma satu: membayar tanah seluas tujuh hektare di sumur itu. Ketika itu, verifikasi dokumen kepemilikan sudah kelar. Negosiasi harga yang digeber sejak Januari juga usai—nilai tanah disepakati Rp 50 ribu per meter.

Betapa terkejutnya tim ini tatkala mengetahui jumlah pemilik lahan menyusut dari 29 menjadi 13 orang. Dari jumlah itu, hanya empat muka lama. Sembilan lainnya mengaku mewakili David dan Wibowo, dengan total lahan enam hektare.

Yang paling mengagetkan, mereka menolak harga yang sudah disepakati. ”Mereka mau Rp 75 ribu,” kata seorang pejabat Mobil Cepu. Harga bahkan sempat melonjak ke angka Rp 250 ribu. Alastua Timur pun tak jadi dibor.

Nama David bahkan masih disebut di tempat yang jauh dari sumur. Sebutlah di Mojodelik. Ini daerah ”ring dua”, istilah warga untuk kawasan di luar sumur yang akan dibebaskan untuk pipa penyalur minyak dan gas ke pantai Tuban. Panjang pipa sekitar 75 kilometer, yang memakan 600 hektare.

Lagi-lagi David menolak tudingan itu. ”Saya memang punya tanah di sana, tapi, ya itu, cuma 2,2 hektare,” katanya. Tanah itu ia beli lima tahun lalu untuk budi daya tanaman jamu. ”Tapi tidak jadi karena tanahnya tidak cocok,” ujarnya.

Transparansi Bojonegoro, sebuah lembaga nirlaba lokal antikorupsi, mengendus tanah David di ”ring dua”. Transparansi mengumpulkan kesaksian warga yang telah menjual tanahnya kepada Sirojul Huda, yang ditengarai orang suruhan David. Luas totalnya 4,6 hektare.

Adalah Diran, bekas perantara pembebasan tanah di Mojodelik, Braboan, Gayam, dan Bonorejo, yang mencarikan tanah-tanah itu. Sirojul, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ma’ruf di Dander, membantah kenal David. Tapi ia tak menyanggah mendapat untung dari bisnis jual-beli tanah Blok Cepu.

Soeparmo, 44 tahun, punya cerita lain tentang David. Calo lokal dari Braboan itu mengaku pernah didatangi orang suruhan David yang meminta dicarikan lahan 10 hektare di dekat sumur Kedung Keris. Tapi ia menolak karena sudah terikat pemodal lain: PT Indonadi Perdana (lihat Bergelimang Berkah Tanah).

Dari Indonadi, mencuatlah nama makelar lain: Kartika Sari, yang oleh warga diembel-embeli nama Soekarno di belakangnya. Kartika menjadi pemodal di perusahaan itu. Tapi, dari penelusuran Tempo, dia bukanlah anak Soekarno presiden pertama Indonesia dari buah perkawinannya dengan Naoko Nemoto.

Soeparmo pernah bersua dengan Kartika di Hotel Cepu Indah, Cepu, Jawa Tengah. Ia dikenalkan oleh salah satu direktur Indonadi, Soegono, yang mengaku pensiunan kolonel TNI Angkatan Darat. Di sana, Kartika sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat teras Pertamina Cepu. ”Jika memungkinkan, saya akan beli seribu hektare,” kata Kartika kepada para pejabat itu, seperti ditirukan Soeparmo.

Lahan yang diincarnya di sekitar Mojodelik, Braboan, Begadon, dan Gayam. Karena itu, menurut Soeparmo, Soegono juga menghubungi Erdyn Sutjahyo. ”Saya sudah menyerahkan company profile Indonadi kepadanya,” ujarnya. Sejauh ini, kader Partai Demokrat itu baru bisa mengumpulkan 35 hektare untuk Indonadi. Tanah-tanah itu dibelinya Rp 12-20 ribu per meter atas nama Soegono.

Tempo, yang mengecek perusahaan kontraktor itu, tak menemukan alamat yang disebutkan Soeparmo di Matraman, Jakarta Timur. Kartika juga entah di mana. Ketika alamat perusahaan ini ditanyakan kembali kepada Soeparmo, ia mengaku, ”Perusahaan itu memang fiktif.” Nah!

Indonadi, ujar Soeparmo, didirikan dengan tujuan menguasai tanah. Ia merasa ditinggalkan orang-orang Indonadi, selepas mereka sukses memiliki banyak tanah. Sudah setahun ini Soeparmo tak menjalin kontak dengan Soegono atau Kartika. Ia juga mengungkit janji Muhammad Santoso, Bupati Bojonegoro ketika itu. Pak Bupati, katanya, pada 2004 pernah berjanji akan ”memprioritaskan” Indonadi dalam pembebasan lahan Blok Cepu.

Bupati Santoso membantah pernah berjanji begitu. ”Saya lupa, tapi kalau janji rasanya tidak mungkin,” ujarnya. Tapi penelitian Kontras pada Maret 2004 menemukan cerita sama dengan penuturan Soeparmo. LSM ini bahkan menyiarkan dalam buku Penelitian Bisnis Militer di Bojonegoro, Indonadi setidaknya punya 162 hektare.

l l l

UNTUK menyelesaikan kisruh tanah Banyu Urip, pemerintah Kabupaten Bojonegoro—setelah kantor Gubernur Jawa Timur turun tangan—sudah memutuskan: tanah dikembalikan ke pemilik asal. Dengan begitu, Erdyn harus mengembalikan tanah-tanah yang kadung terjual itu kepada pemilik pertama secepatnya. ”Dia harus segera menyelesaikan segala masalah pembebasan lahan,” kata Bambang Santoso, Sekretaris Daerah Kabupaten Bojonegoro.

Ini bukan perkara gampang. Tapi seorang staf kecamatan membisikkan, keputusan ini bakal dijalankan dengan mulus di Ngasem.

Begini caranya. Pemilik tanah akan diminta pura-pura menguasai kembali lahannya. Namun, ketika Exxon sudah mengucurkan uang, duitnya tetap diteruskan ke pembeli tanah terakhir. Walhasil, para calo dan makelar itu tetap tak kehilangan untung. Apalagi Maman Budiman dari Exxon mengatakan, pihaknya tak bakal menyoal siapa pemilik tanah. ”Asal sah, transaksinya benar, tak masalah,” katanya.

Siapa pemilik tanah memang bukan urusan Exxon. Itu urusan kita. Soalnya, berapa pun biaya pembebasan lahan akan ditagihkan kepada pemerintah melalui mekanisme cost recovery. Ini berarti, uang pajak jualah yang mengalir ke kantong para calo itu. Padahal, lebih afdol jika rezeki nomplok itu dinikmati sepenuhnya oleh warga di salah satu kabupaten termiskin di Jawa Timur ini.

Dan jangan lupa, harga kesepakatan Rp 50 ribu per meter itu baru untuk tanah di sumur Alastua Timur seluas tujuh hektare. Sedangkan 693 hektare di sumur lain dan jalur pipa belum memasuki tahap negosiasi. Peluang para spekulan dan calo tanah bermain harga masih terbuka lebar—kecuali jika peraturannya diperketat.


Seabad Berebut Konsesi Cepu

BLOK Cepu merupakan mandala minyak tertua di Indonesia dan terluas di dunia. Namanya diambil dari sebuah kecamatan di Blora yang berbatasan dengan Bojonegoro. Luas blok ini 167 ribu hektare, membentang dari Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur sampai Blora di Jawa Tengah. Inilah lika-liku sejarah Blok Cepu.

1880 Warga di wilayah yang sekarang menjadi Desa Wonocolo, Bojonegoro, dikejutkan oleh rembesan cairan kehitaman yang mudah terbakar dari dalam tanah. Inilah temuan minyak pertama di wilayah yang kemudian dinamai Blok Cepu. Warga setempat menyebutnya latung.

1887 Penjajah Belanda mulai mengebor minyak di Kuti dan Kruka, selatan Surabaya.

1893 Adrian Stoop, sarjana tambang lulusan Sekolah Tinggi Teknik Delft, membangun kilang minyak di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Cepu, Blora, melalui perusahaan Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Inilah perusahaan asing pertama yang mengebor minyak di Indonesia.

1900 Lebih dari 30 sumur ditemukan lagi di Blok Cepu. DPM berubah menjadi Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).

1920 Shell BPM, perusahaan patungan Inggris-Belanda, menguasai Blok Cepu.

1950 Shell mendirikan PT Shell Indonesia untuk mengelola Blok Cepu.

1960 Perusahaan Minyak dan Gas Nasional mengambil alih Blok Cepu.

1965 Lembaga Minyak dan Gas mengambil alih Blok Cepu dan memperuntukkannya bagi pendidikan.

1980 Pertamina Unit III mengambil alih blok ini, setelah dekrit pemerintah membolehkan perusahaan nasional berpartisipasi dalam eksplorasi minyak.

1989 PT Humpuss Patragas, milik Tommy Soeharto, menyatakan minatnya ikut mengelola Blok Cepu dalam bentuk kerja sama bantuan teknis (technical assistant contract, TAC) selama 20 tahun hingga 2010.

1990 TAC Pertamina-Humpuss diteken pada 23 Januari.

1996 Humpuss melepas 49 persen saham ke Ampolex Cepu Ltd., sebuah perusahaan minyak Australia.

1997 Mobil Oil membeli seluruh saham Ampolex.

1998 13 Juli. Humpuss meminta izin menjual lagi 51 persen sahamnya ke Mobil Oil. Empat bulan kemudian, Exxon Corporation merger dengan Mobil Oil menjadi ExxonMobil Oil.

1999 Menteri Pertambangan dan Energi setuju penjualan saham ke ExxonMobil. Pertamina juga setuju penjualan dan pengalihan hak operator kepada ExxonMobil.

2000 ExxonMobil resmi menjadi operator Blok Cepu melalui Mobil Cepu Ltd. pada 29 Juni. Penandatanganan head of agreement antara Pertamina, Mobil Cepu, dan Ampolex Cepu diteken untuk mengubah isi kerja sama bantuan teknis.

2001 Exxon mengajukan perpanjangan kontrak yang akan berakhir 2010 menjadi 2030, setelah menemukan cadangan minyak baru 250 juta barel (39,75 miliar liter) di Banyu Urip.

2002 Komisaris Pertamina setuju memperpanjang kontrak Exxon.

2003 Negosiasi antara Pertamina dan Exxon. Pertamina minta Exxon memberikan bonus US$ 400 juta.

2004 Februari. Pertamina setuju Exxon memperpanjang kontrak.

29 Juli. Dewan Komisaris Pertamina baru menyarankan direksi mempertahankan kontrak dengan ExxonMobil hanya sampai 2010. Setelah itu, Pertamina mengelola sendiri Blok Cepu.

2005 April. Pemerintah membentuk tim negosiasi Blok Cepu.

25 Juni. Pertamina dan ExxonMobil sepakat membagi hasil Blok Cepu.30 Juni. Rapat umum pemegang saham Pertamina menyetujui pola bagi hasil yang baru.

September. Kontrak kerja sama (KKS) Blok Cepu diteken.

2006 14 Maret. Pemerintah menunjuk Exxon sebagai operator Blok Cepu.

15 Maret. Joint operating agreement Mobil Cepu Ltd.–Pertamina diteken.

15 Juni. Planning of development (PoD) Banyu Urip disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Lapangan Banyu Urip seluas 700 hektare yang pertama akan dikembangkan. Lapangan ini direncanakan mulai beroperasi pada akhir 2007.

2007 Januari. Pemerintah Daerah Bojonegoro menerbitkan izin pengelolaan lokasi pengeboran. Juni. Sosialisasi pembebasan lahan Banyu Urip Desember. Lapangan Banyu Urip belum beroperasi.


TIM INVESTIGASI

Penanggung Jawab: Metta Dharmasaputra Kepala Proyek: Bagja Hidayat Penyunting: Metta Dharmasaputra, Amarzan Loebis, Yosep Suprayogi, Wahyu Muryadi Penulis: Bagja Hidayat, Yosep Suprayogi Penyumbang Bahan: Philipus Parera (Jakarta), Sujatmiko (Bojonegoro), Sohirin (Semarang) Periset Foto: Arif Fadillah Desain: Anita Lawudjaja, Kiagoos A.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus