Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Satu Negeri Tiga Bahasa

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo*

SAAT dilantik sebagai penguasa baru Belgia, Juli tahun lalu, Raja Philippe I harus mengucapkan sumpah setia kepada negerinya dalam tiga bahasa: Prancis, Vlaam, dan Jerman. Sang Baginda tentu paham sepenuhnya bahwa monarki yang dibangun oleh moyangnya hampir dua abad silam itu hingga kini tidak memiliki bahasa resmi yang tunggal. Berpenduduk "hanya" sekitar sepuluh juta jiwa pada 2001, Belgia memberlakukan bahasa Belanda dialek Vlaam atau Flemish di wilayah bagian utara (59 persen); bahasa Prancis di kawasan Wallonia—karena itu juga disebut bahasa Waal atau Vallon—di bagian selatan (33 persen); dan Jerman di Dataran Arden di timur (8 persen)—lihat Webster's International Atlas, 2003.

Jauh sebelum menjadi negara kerajaan seperti sekarang, Belgia telah menampilkan wajah beragam. Orang Romawi yang pernah menduduki wilayah itu pada abad pertama sebelum Masehi memberi julukan Belgae kepada penduduk di lage landen atau "tanah rendah". Mungkin lage landen adalah kawasan Gaul, area kuno di daratan Eropa yang kini menjadi wilayah negara-negara modern Prancis, Belgia, Belanda, dan sebagian Jerman. Di wilayah itu, migran Celt dari Eropa Barat berdatangan sejak tarikh 900 sebelum Masehi. Menurut penelitian Koentjaraningrat, sebutan Belgae menunjuk pada kumpulan etnis Celtic-German—orang Aduatuci, Arduinna, Eburones, Menapii, Morini, Nerviri, Sila, dan Sturii—yang bermukim di antara Schelde di barat hingga lembah Meuse di timur (lihat Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, 1993).

Di antara ahli waris tanah rendah, Belgia kebagian paling ciut, sekitar 30 ribu kilometer persegi—bandingkan dengan Prancis, yang hampir 600 ribu kilometer persegi, dan Belanda, dengan 41 ribu kilometer persegi. Dibandingkan dengan dua negara itu pula Belgia paling menderita dalam sejarahnya karena terlibat perang atau diperangi berkepanjangan setidaknya sejak abad ke-16. Kerajaan Burgundi (Prancis Kuno), Spanyol, Austria (Habsburg), Prancis, dan Belanda bergantian menduduki negeri mungil itu untuk berebut sumber ekonomi. Meski negeri kecil, Belgia andal dalam produk industri besi, baja, kimia, mesin, tekstil, dan penyulingan minyak. Akhirnya, Belgia merdeka sejak 1830.

Akibat kolonisasi itu, Belgia mewarisi masalah bahasa yang pelik. Persoalan muncul ketika Belgia disatukan dengan Kerajaan Belanda di bawah Raja Willem I. Sang Raja mematok bahasa Belanda standar sebagai bahasa resmi negara. Ide dasarnya adalah een taal, een volk, een staat atau "satu bahasa, satu rakyat, satu negara"—mirip Sumpah Pemuda di Indonesia. Namun kebijakan itu menyodok dialek Vlaam dan Vallon ataupun Prancis baku yang dipakai golongan elite dan kaum borjuis. Penutur Vlaam yang mayoritas Katolik khawatir penetapan bahasa resmi Belanda itu akan "disusupi" ajaran Calvinis anutan sang Raja. Jadi, persoalan bahasa ketika itu berkelindan dengan perebutan pengaruh antara Katolik dan Protestan.

Raja Leopold, penguasa pertama sejak Belgia meraih kemerdekaan, memberi kesan demokratis. Dalam Konstitusi 1839 yang disusun semasa pemerintahannya, disebutkan bahwa penggunaan bahasa bagi masyarakat bersifat manasuka. Kalaupun harus diatur, mesti melalui undang-undang. Itu pun sebatas bahasa bagi aparat pemerintah dan bahasa hukum. Seiring dengan itu, bahasa resmi negara diubah dari Belanda ke Prancis. Maka Belgia seakan-akan kembali ke romantisis­me di bawah Kerajaan Burgundi atau Kekaisaran Habsburg abad ke-18, ketika bahasa Prancis dielus sebagai bahasa prestisius yang dituturkan lingkaran elite birokrasi, bahkan mampu menggusur Latin sebagai bahasa keilmuan di kampus-kampus Kerajaan.

Sementara itu, dialek Vlaam dilihat sebagai bahasa yang cuma dipakai orang kelas bawah di pedesaan atau pekerja industri di kota-kota besar. Bahasa Vlaam hanya untuk komunikasi sehari-hari yang bersifat informal. Bisa dimengerti bila muncul kesadaran pada orang Flemish yang menuntut gelijkberechtiging atau kesamaan kedudukan bahasa Belanda dan Prancis. Suatu gerakan radikal bahkan menginginkan Vlaam merdeka sebagai negara sendiri, tapi kandas. Gerakan ini sempat didukung Jerman, yang masuk ke Belgia saat Perang Dunia I meletus. Itulah penyebab munculnya komunitas kecil penutur Jerman di daerah Eupen dan Malmedy di Liege Timur—yang kemudian diserahkan kembali oleh Jerman setelah kalah perang.

Tuntutan demi kesamaan kedudukan bahasa akhirnya tercapai—sekitar 70 tahun setelah Belgia merdeka. Menurut undang-undang baru, bahasa Belanda diakui resmi sebagai bahasa nasional yang setara dengan Prancis. Sejak itu, sebutan Belgia selalu didobel: Belgique versi Prancis dan Belgia milik Flemish. Namun, nyatanya, penutur Vlaam tetap dituntut fasih berbahasa Prancis bila ingin duduk di kursi birokrasi eselon tinggi, sementara Vallonis cukup berbahasa Belanda ala kadarnya. Yang menarik, generasi muda Flemish pasca-Perang tampak realistis: berbicara Prancis di ruang publik atau forum resmi, dan kembali ke Vlaam saat di "habitat" sendiri. Maka, menurut penutur Vlaam, tetap terjadi "ketidakadilan linguistik" sampai kini.

Belgia, menurut pakar politik Laponce, bisa jadi contoh negeri yang mengalami kesulitan membangun bahasa nasionalnya karena alasan neurophysiological dan neuropsychological—seperti halnya Swiss sebagai contoh lain (saya kutip dari James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity, 1991). Argumennya, "bahasa ibu" yang telah tumbuh berabad-abad dalam lingkungan tertentu dipandang lebih alamiah ketimbang merekayasa bahasa nasional baru demi "integrasi nasional" atau semacamnya. Dalam pandangan itu, bahasa mayoritas cenderung memaksa bahasa minoritas melebur jadi satu. Atau, pilihan lain, membelah satu negeri menjadi dua, atau lebih, wilayah bahasa.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus