Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKLUS yang menggiriskan itu hampir selalu bertautan dengan momen-momen bahagia. Pesta akhir tahun, vakansi sekolah, Lebaran, Valentine atau hari kasih sayang. Beri jeda sebulan-dua bulan. Lewat dari masa itu, klinik kebidanan di sejumlah wilayah Jakarta dilanda kesibukan ekstra. Gadis remaja hingga wanita dewasa mengantre ke klinik dalam kondisi berbadan dua. Tujuan mereka, mengenyahkan janin secara ekspres dan tuntas, tas.
Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, sentra aneka klinik kebidanan, riuh dengan praktek gelap ini. Februari, April, September ibarat bulan panen raya. Para pemilik klinik tak perlu repot menjemput bola. Calo-calo aborsi dengan trengginas membuka mata rantai pertama. Mereka mencegat calon klien di pintu masuk, halaman parkir, beranda klinik. Mereka mengedarkan bermacam kartu nama. Ada dokter ahli, ada bidan mahir. Mau di Jakarta boleh, Bekasi pun ayo.
Dari tangan mereka rantai aborsi bergerak. Calo mengontak penghubung, penghubung mempertemukan klien dengan bidan atau dokter. Aparat keamanan tentu perlu ”ditertibkan”—tapi selama fulus lancar, tidak jadi soal.
Mari kita mulai dengan calo Hanggoman, begitu kami menyebutnya. Dia beroperasi di sebuah klinik aborsi di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Hanggoman mengaku menggaet 4-5 pasien sebulan. Seorang calo lain bahkan mampu menjaring 12 pasien per bulan. ”Mereka datang dari Jakarta, Bogor, Bandung, Tangerang,” kata Hanggoman, 45 tahun.
Klien terbesar adalah wanita hamil di luar nikah. Ada satu-dua kasus istimewa. Umpama hasil inses atau kehamilan yang membahayakan kesehatan. Tapi porsinya kecil sekali. Polisi memperkirakan, di Jakarta ada sekitar 100 klinik gelap yang melayani 100 ribuan pasien setiap tahun.
Ini jumlah yang masuk akal. Daftar pasien di klinik dokter Abdullah sekadar contoh. Berpraktek di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, klinik dokter itu digerebek polisi pada Februari lalu. Di situ tercatat, klinik tersebut beroperasi sejak 1999 dan merontokkan 1.000 janin dalam setahun.
Ongkos aborsi bergerak dari Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta per kasus. Bila dirata-rata Rp 2 juta per pasien, uang aborsi ilegal yang berputar di Jakarta bisa menembus angka Rp 200 miliar setahun. Ini setara penerimaan seluruh badan layanan umum kesehatan di Ibu Kota. Secara nasional, skala bisnis ini kian menjumbo. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mencatat ada 2,6 juta kasus aborsi tiap tahun di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 15 persen tergolong aborsi legal dengan alasan medis.
Garda terdepan jaringan bisnis aborsi ilegal di Jakarta adalah calo. Mereka menjaring calon pasien, membujuknya, menentukan harga. Mereka menjaga rahasia gelap para dokter. Terbongkarnya klinik dokter Abdullah bermula dari ”pengkhianatan” satu calo. Dia sakit hati karena Juniatun, bidan yang bekerja buat sang dokter, tak membayarnya sesuai perjanjian.
Para calo juga merangkap ”intel” yang menguping informasi operasi polisi. Kepala Kepolisian Sektor Johar Baru Komisaris Theresia Mastail harus menyamar menjadi pasien untuk membongkar jaringan Abdullah. Dokter Abdullah kini buron, tapi polisi menangkap dokter lain, Agung Waluyo.
Rata-rata calo merangkap tukang ojek. Menurut Hanggoman, hampir semua tukang ojek di Jalan Raden Saleh, Jalan Ciliman, Jalan Cimandiri, Jalan Paseban, Jalan Cikini, Jalan Kramat, dan Jalan Tanah Tinggi menjadi calo aborsi.
Setiap calo punya hegemoni wilayah. Umpama, yang beroperasi di Jalan Ciliman tak akan mencari pasien di Jalan Kramat. Mereka dibekali kartu nama dokter atau klinik yang akan dipasarkan. Kartu ini harus dibawa pasien ketika mereka datang ke klinik.
Sepanjang April lalu, Tempo berkeliling di Jalan Raden Saleh, Kramat, Tanah Tinggi (Jakarta Pusat), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Cakung (Jakarta Timur), Jagakarsa (Jakarta Selatan), dan Bekasi (Jawa Barat) untuk mengecek rumah-rumah yang diduga menjadi tempat praktek aborsi.
Di kawasan Raden Saleh, para calo yang nongkrong di sepanjang jalan mengawasi lekat-lekat setiap orang lewat. Mereka tak segan-segan menawarkan aborsi. ”Mau njatohin? Ayo, dokternya udah pengalaman,” kata seorang calo yang mencegat Tempo di halaman parkir.
Seorang calo biasanya terhubung dengan ”kolega”-nya yang memasok pasien untuk klinik lain atau daerah lain. Hanggoman, misalnya, berkongsi dengan tiga calo aborsi di wilayah Pulo Gadung dan Bekasi. ”Kami saling berbagi rezeki,” katanya.
Jaringan itu berguna untuk mengalihkan pasien dari klinik yang penuh ke klinik lain. Pengalihan klinik juga bisa dilakukan jika pasien ingin tarif lebih murah. Tarif di luar kota lazimnya lebih murah.
Dalam menentukan ongkos, ada kesepakatan tak tertulis di kalangan pemilik klinik: pernah melahirkan atau tidak, usia janin, popularitas klinik, dan senioritas dokter. Perempuan yang pernah melahirkan dikenai tarif lebih murah karena prosesnya lebih mudah (lihat infografik ”Gugur 100 Ribu Janin”). Untuk perempuan yang belum pernah melahirkan, ongkos aborsinya lebih tinggi Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.
Jasa dokter senior di klinik seputar Cikini tergolong paling mahal. Sebagai penjaring konsumen, calo mendapat jatah 30 persen dari biaya aborsi. Bagian terbesar menjadi milik dokter, yakni 40 persen. Sisanya hak klinik tempat dokter berpraktek. Dokter sekaligus pemilik klinik bisa mendapat separuh dari ongkos aborsi.
Dengan pembagian itu, calo aborsi punya pemasukan lumayan. Hanggoman membawa pulang Rp 3 juta per bulan. Sebagai tukang ojek, ia hanya bisa mendapat Rp 40 ribu per hari. Tak mengherankan, pria beranak tiga ini telah mecalo berpuluh tahun.
PEMAIN utama bisnis ini adalah dokter. Sebagian merupakan muka lama. Beberapa dokter bahkan pernah dihukum karena berpraktek aborsi gelap. Selepas dari bui, mereka kembali beroperasi. Contohnya Agung Waluyo, 49 tahun. Dia ditangkap bersama bidan Juniatun pada Februari lalu.
Agung pernah divonis dua tahun empat bulan penjara karena menjalankan praktek aborsi di sebuah klinik di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada September 2000. Dia didakwa membunuh 200 bakal bayi. Ketika itu, ia ditangkap bersama perawatnya: Siti Djubaidah alias Juju.
Ditemui Tempo di sel Kepolisian Sektor Johar Baru, Agung meradang dituding tukang aborsi. ”Saya dokter bersih,” katanya. Bidan Juniatun, yang ditemui di rumah tahanan Pondok Bambu, menyangkal kliniknya membuka praktek aborsi. Ia menuding dokter Agung Waluyo dan dokter Abdullah menjerumuskannya. ”Klinik saya umum, melayani pengobatan akupunktur dan penyempitan vagina,” ujarnya kepada Tempo.
Seorang dokter kebidanan senior menunjuk sejumlah rekannya yang aktif menjalankan bisnis ini. Di antaranya dokter Akrib Soekarman Wiranata, mantan Ketua Advokasi Profesi Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Dari penelusuran Tempo, sejumlah calo di Jalan Kramat memang membagikan kartu nama dokter itu.
Di kartu nama tertulis, Soekarman berpraktek di klinik Jalan Kramat VII. Di situ ada papan nama bertulisan ”Klinik Obstetri dan Ginekologi”. Seorang tukang parkir di situ, tanpa curiga, membenarkan bahwa dokter sepuh itu melayani aborsi.
Tak mudah masuk ke klinik ini. Tamu disidik sebelum masuk. Pasien tak bisa membuat janji dengan dokter lewat telepon. Jika menelepon, petugas akan bertanya penuh curiga: dari mana mendapat nomor. Ternyata nomor telepon hanya dicantumkan di kartu nama dokter, bukan di plang papan nama klinik.
Soekarman resmi praktek kebidanan sejak awal 1980. Mulanya ia bekerja di Klinik Raden Saleh. Setelah pensiun pada 1983, ia berpindah-pindah praktek. Kini ia melayani pasien di Jalan Kramat VII, Jakarta Pusat. Pada sore hari, ia membuka praktek di dekat rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kepada Tempo yang mewawancarainya di Kramat Raya, Soekarman, 69 tahun, membantah berpraktek aborsi. ”Buat apa saya berurusan dengan polisi?” katanya seraya tertawa. Ia juga menyangkal punya tempat praktek serupa di rumahnya.
Tapi Tempo mendapatkan kisah lain yang merunut sampai ke nama Soekarman. Seorang perempuan hamil lima bulan menemui tim investigasi ini. Sekali waktu, dia pernah hendak menggugurkan kandungan. Dia memilih klinik bersalin di Jalan Kahfi, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Dia mendatangi klinik itu pada pertengahan April lalu. Dan dia mengaku ditangani dokter Soekarman. Awalnya, dokter mengecek denyut nadi, jantung, tekanan darah, lalu memeriksa janin dengan memijat perut si ibu.
Sang dokter memastikan usia janin lima bulan. Karena itu, aborsi tak bisa dilakukan 15 menit, tapi 12 jam dengan obat kontraksi dan induksi. ”Bayinya sudah jadi. Dokter lain tak akan ada yang bisa menggugurkan bayi segede ini,” wanita itu menirukan ucapan Soekarman. Dokter itu kemudian mencoret-coret secarik kertas. Isinya, menurut wanita itu, perkiraan biaya senilai Rp 6,1 juta.
Perempuan itu lantas membatalkan aborsi karena tidak kuat biaya. Dia hanya membayar Rp 100 ribu ke administrasi klinik. Ketika dimintai konfirmasi kasus ini, Soekarman menolak dan membantahnya.
Pada 2007, nama Soekarman nyaring disebut dalam skandal seks yang melibatkan seorang politikus Partai Golkar. Maria Eva, penyanyi dangdut yang terlibat dalam skandal itu, mengaku menggugurkan janin hasil hubungan gelapnya dengan sang politikus. Dan dia menyebut Klinik Karmasanti—milik dokter Soekarman—sebagai lokasi aborsi pada 23 Desember 2004.
Polisi sempat memeriksa Soekarman karena pengakuan Eva. Tapi ia lolos dengan alibi tak kenal Eva. Ia juga mengaku sedang terserang stroke pada hari yang ditunjuk Maria Eva.
Lima tahun sebelumnya, Soekarman pernah berurusan dengan polisi Bandung. Ia dituduh melakukan aborsi ilegal. Soekarman, ketika itu, membuat heboh karena disebut-sebut menyogok dua perwira polisi Rp 49 juta agar kasusnya dihentikan (Tempo, 23 April 2003).
Ketika dimintai konfirmasi untuk semua cerita miring ini, Soekarman lagi-lagi menyangkalnya. ”Sejak 1983 praktek saya cuma di Jalan Kramat ini,” katanya. Ia bersumpah tak pernah mengaborsi janin selama 38 tahun menjadi dokter kandungan. ”Saya tak mau meski ada alasan medisnya,” katanya. Ia menegaskan, aborsi dilarang oleh undang-undang.
Soekarman lantas menceritakan reputasinya sebagai satu dari tiga perintis Klinik Raden Saleh pada akhir 1970-an. Menurut dia, klinik itu awalnya didesain untuk tempat praktek induksi haid bagi calon dokter spesialis kebidanan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Induksi haid itu dibutuhkan dalam ilmu kandungan,” tuturnya. ”Tak hanya untuk mengeluarkan janin, tapi juga menangani mereka yang terlambat datang bulan walau tidak hamil.”
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mendirikan klinik reproduksi ini sebagai tempat praktek aborsi legal. Awalnya, untuk menangani gagal Keluarga Berencana. Waktu itu kurikulum spesialis kandungan mewajibkan setiap dokter menguasai tata cara aborsi sebagai tindakan medis.
Beberapa dokter yang dimintai konfirmasi membenarkan cerita Soekarman. ”Pada 1980 saya di sana sebagai asisten dokter yang sedang mengambil spesialis,” kata Natsir Nugroho, dokter kandungan di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Kurikulum itu dihentikan pada 1980 karena disalahgunakan. Membeludaknya pasien mendorong praktek percaloan marak. Aborsi menjadi bisnis dan tak lagi berdasarkan alasan medis. Tapi ”konsumen” tak pernah surut sehingga tumbuh klinik obstetri terselubung di kawasan itu.
Bisnis aborsi juga dijalankan para bidan. Satu contoh, Siti Djubaidah alias Juju. Dia membuka layanan di Perumahan Taman Harapan Indah, Bekasi. Tak ada petunjuk apa pun di rumah tempat dia beroperasi di Jalan Boulevard Hijau.
Tempo mendapatkan alamat Juju dari seorang calo di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Si calo kini beroperasi untuk Juju karena Klinik Herlina, tempatnya biasa bekerja, di Tanah Tinggi sementara tutup setelah polisi menggerebek klinik Juniatun, Februari lalu (lihat ”Terpikat Servis Pedagang Telur”).
Hajah Suryani alias Juju menyewa rumah seluas 200 meter persegi di Jalan Boulevard sejak dua tahun lalu. Ia tinggal ditemani tiga pembantu. Kepada Tempo, Djubaidah mengaku tak ahli di bidang medis karena hanya lulusan Madrasah Aliyah Asyafi’iyah Matraman, Jakarta Timur.
Pengguguran bayi tak diatur secara jelas di dalam wilayah hukum Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengancam pelaku praktek ini dengan hukuman 15 tahun penjara. Tapi Undang-Undang Kesehatan Nomor 23/1992 membolehkan praktek aborsi dengan syarat indikasi medis kuat: keadaan darurat dan demi menyelamatkan ibu hamil.
Aturan menjadi tumpul karena Undang-Undang Kesehatan tak dilengkapi peraturan pemerintah yang mengaturnya terperinci. Umpama tempat aborsi yang aman, indikasi medis sebagai syarat aborsi, serta tarif. Alih-alih mencegah, beleid ini mendorong legalitas aborsi tak resmi. ”Dibahas berkali-kali tapi rumusannya tak pernah ketemu,” kata Budi Sampurna, Kepala Biro Hukum Departemen Kesehatan.
”Perlindungan” dari sejumlah aparat keamanan lokal kian menyuburkan bisnis ini. Seorang dokter bercerita, sewaktu masih berpraktek di Raden Saleh, kliniknya membayar Rp 20 juta ke polisi setempat setiap bulan.
Heru, seorang petugas di sebuah klinik, blakblakan mengaku rutin menebar amplop untuk setiap polisi yang datang. Khusus komandan, setoran diantar ke kantor. ”Saya pernah mengantar amplop berisi uang, tebalnya segini,” katanya sambil merenggangkan ibu jari dan telunjuknya.
Komisaris Khalidi, Kepala Kepolisian Sektor Menteng yang bertanggung jawab atas wilayah Cikini, menyangkal tuduhan kantornya menerima sogok. ”Sudah bukan zamannya lagi seperti itu,” ujarnya. Polisi Menteng, katanya, tak mengawasi klinik aborsi. Fokus mereka, menurut Khalidi, menjaga rumah pejabat dan mengawasi aksi-aksi demonstrasi. Khalidi malah kaget ketika diberi tahu ada banyak klinik aborsi di wilayahnya.
Alhasil, sampai sekarang kawasan Raden Saleh masih tenang-tenang menyandang ikon aborsi ilegal di Ibu Kota. Kehidupan berlangsung biasa, tak ada gejolak istimewa. Sesekali ada penggerebekan. Tapi klinik toh tumbuh silih-berganti, maka aborsi pun jalan terus.
Sesekali, datanglah petang-petang ke sebuah klinik di jalan raya itu. Dalam sekejap, sejumlah calo akan berkerumun. Lalu dialog berikut akan meluncur dengan ringan:
+ Mau njatohin, Neng…? Berapa bulan?
- Yuk, pilih-pilih dulu (kartu nama). Ini murah dan aman, dokternya udah pengalaman....
1997
30 November
Budiman, dokter di Rumah Sakit Tangerang, ditangkap. Ia dituduh berpraktek aborsi di dua klinik di Jalan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Yakni, di Klinik Herlina sejak 1989 dan Klinik Amalia mulai 1986. Ia dihukum dua tahun penjara.
2000
11 Februari
Polisi menangkap Siti Djubaidah alias Juju, dokter Agung Waluyo, dan Arman Sasmita alias Bobby di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Agung divonis 2 tahun 4 bulan penjara.
25 Maret
Bidan Habibah, pemilik Klinik Anugrah di Jalan Koja, Pasar Cisalak, Cimanggis, ditangkap polisi. Petugas keamanan juga mencokok bidan Indrayati, pemilik Klinik Bidan Indrayati di Jalan Sersan Aning, Pancoran Mas, Depok.
2001
19 Juni
Rois Imron, dokter Klinik Mitra Sejahtera, Jalan Dalem Kaum, Bandung, ditangkap. Bersama perawat Rosmiati dan Direktur Yayasan Dana Krisna, mereka dituduh menggugurkan lebih dari 500 janin sejak 1996.
25 September
Pengadilan Negeri Manado menghukum Dokter Gerald E.S. alias Gie 1 tahun 1 bulan karena mengaborsi seorang perempuan hingga meninggal.
2002
5 Juli
Polisi menangkap dokter TS dan Nyonya UN, pemilik klinik di Jalan Ciliman, Menteng, Jakarta Pusat.
16 Oktober
Polisi Bandung menangkap A. Soekarman, dokter spesialis kandungan di Jalan Sukarma. Dia dituduh berpraktek aborsi.
2005
Februari
Dokter gigi Ketut Arik Wiantara dan asistennya, Pande Ketut Darmawa, di Jalan Tukad Petanu, Denpasar, diciduk polisi. Mereka berpraktek aborsi sejak 2002, masing-masing dikenai hukuman 2,5 tahun penjara.
2006
3 Agustus
Dokter Kokok Hadyanto yang berpraktek di Demak, Jawa Tengah, ditangkap. Ia dituduh mengaborsi 10 orang per bulan sejak 1998.
2007
27 Maret
Polisi menangkap dokter Edward Armando dan lima stafnya yang berpraktek aborsi di Jalan Dukuh Kupang Timur, Surabaya, sejak 1995.
2008
4 April
Erna Rumondang Manalu, pemilik Klinik IKM Bojong Indah di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta, ditangkap dengan tuduhan mengaborsi 40 janin.
15 November
Ketut Arik Wiantara kembali ditangkap dengan tuduhan sama.
2009
22 Januari
Polisi menangkap dokter Owni di Klinik Pengobatan dr HAS Owni di Jalan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia dituduh melakukan praktek aborsi sejak 2008.
Februari
Polisi kembali menangkap dokter Agung Waluyo dan Juniatun, pemilik klinik.
SUMBER: TIM INVESTIGASI TEMPO, PUSAT DATA DAN ANALISA TEMPO
Gugur 100 Ribu Janin
Polisi memperkirakan sekitar 100 klinik aborsi gelap berpraktek di Jakarta. Mereka melayani 100 ribuan pasien setahun. Investigasi Tempo menemukan baru sebagian kasus yang dapat dibongkar dan menyeret pelakunya ke penjara, dalam 12 tahun terakhir. Beginilah kegiatan ilegal itu dijalankan:
- Jalan Kramat VII
- Jl. Warakas dan Pasar Ikan
- Kompleks Harapan Indah Blok I 10
- Jl. Saharjo
- Jl. Percetakan Negara
- Jl. Raden Saleh
- Jl. Cisadane
- Jl. Cimandiri
- Jl. Ciliman
- Jl. Tanah Tinggi
- Jl. Paseban
- Jl. Teuku Cik Di Tiro
- Jl. Rawamangun, Pasar Genjing
- Jl. M.T. Haryono
- Jl. M. Kahfi I, Jagakarsa
Ongkos Aborsi:
Terdiri atas dua kelompok tarif, yaitu tarif bagi klien yang pernah melahirkan dan belum pernah melahirkan. Biaya bisa ditawar.
Pernah melahirkan: | |
0-1,5 bulan | < Rp 1,5 juta |
1,5-3 bulan | Rp 2 juta |
3 bulan lebih | Rp 3,5 juta – Rp 6 juta |
Belum pernah melahirkan: | |
0-1 bulan | Rp 2 juta |
1-3 bulan | < Rp 4 juta |
3 bulan lebih | > R p 5 juta |
Modus Pelaku:
TIM INVESTIGASI
Kepala Proyek: Budi Setyarso
Koordinator: Bagja Hidayat
Editor: Hermien Y. Kleden, Budi Setyarso
Penulis: Bagja Hidayat, Muhammad Nafi, Yuliawati
Penyumbang Bahan: Yuliawati, Akbar Tri Kurniawan, Muhammad Nafi, Bagja Hidayat, Budi Setyarso
Fotografer: Yosep Arkian, Novi Kartika, Bismo Agung
Desain: Hendy Prakasa, Gilang Rahadian, Fitra Moerat R., Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Agus Darmawan, Aji Yuliarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo