Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISAH ini berawal pada akhir 1970-an, tatkala pemerintah mulai gencar menggalakkan Keluarga Berencana (KB). Inilah gerakan membatasi kelahiran dengan maksimal dua anak per keluarga. Bermacam alat kontrasepsi mulai diperkenalkan: spiral, kondom, IUD (intra-uterine device), alat kontrasepsi dalam rahim. Pada tahap awal, banyak peserta program ”bocor” alias gagal KB. Pemerintah pun memberi mandat kepada Klinik Raden Saleh, yang didirikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), untuk menangani kegagalan itu. Caranya?
Fakultas Kedokteran UI merancang mata kuliah penanganan kegagalan kehamilan muda. Salah satu metodenya induksi haid—memaksa perempuan hamil datang bulan. Akib Soekarman W.N., dokter kebidanan senior, mengaku ikut membangun Klinik Raden Saleh. ”Tiga dokter yang memprakarsai: almarhum Sudradji, almarhum Rahadi, dan saya,” katanya kepada Tempo. Soekarman turut merancang metode induksi haid.
Di situ, janin-janin muda yang lolos KB dirontokkan dengan label aborsi resmi. Segera saja mereka kebanjiran pasien. Tapi jumlah dokter kebidanan terbatas. Maka aborsi akhirnya banyak ditangani residen. Ini istilah untuk para dokter peserta program spesialisasi kebidanan.
Pada 1980-an, jumlah pasien begitu membeludak. ”Sehari kami bisa menangani 80 pasien,” ujar seorang dokter alumnus UI. Dia menolak disebut namanya. ”Mereka (para wanita hamil) dijejer. Lalu kami berempat menangani secara bergantian,” dia melanjutkan.
Para peserta program spesialisasi wajib mengikuti praktikum aborsi selama tiga bulan. ”Teman saya yang menolak harus mengulang mata kuliah,” kata Natsir Nugroho, dokter kandungan di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Banjir klien melahirkan problem baru: godaan fulus. Praktek aborsi gelap pun lahir. Para tenaga medis mulai melayani aborsi wanita hamil di luar nikah. ”Kadang-kadang,” kata si alumnus UI, ”kontrasepsi dipasang belakangan biar dikira benar-benar gagal KB.”
Profesor Biran Affandi, pakar obstetri dan ginekologi Universitas Indonesia, menyatakan bahwa setidaknya ada 3,5 juta perempuan Indonesia hamil karena tak mendapat akses KB atau gagal KB. Sekitar 60 persen dari jumlah itu (2,1 juta perempuan) memilih aborsi sebagai solusi. ”Untuk 240 juta rakyat Indonesia, mana cukup hanya Klinik Raden Saleh?” ujar Biran. Akibatnya, klinik kebidanan tumbuh di mana-mana. ”Ini unauthorized clinics” tuturnya.
Awalnya, hanya satu-dua klinik gelap di Jalan Cimandiri dan Jalan Ciliman, tak jauh dari Jalan Raden Saleh. Lambat-laun, kegiatan ilegal ini meluas ke Jalan Cisadane, Jalan Kramat, dan Jalan Paseban di wilayah Jakarta Pusat dan Timur.
Nah, pengelola klinik umumnya ”lulusan” Raden Saleh: dari dokter, bidan, tenaga administrasi, hingga pembantu. Penelusuran Tempo menemukan sejumlah dokter eks Raden Saleh bahkan meluaskan pasar ke rumah sakit tempat mereka bekerja. Jakarta, Bogor, Bandung, Batam—sekadar menyebut beberapa.
Kepala Pendidikan Departemen Obstetri dan Ginekologi Universitas Indonesia Dwiana Ocviyanti mengatakan, seorang dokter harus mengantongi persetujuan Komite Dokter dan Klinik untuk sebuah tindakan aborsi. Dalam hal ini, indikasi medis menjadi syarat mutlak.
Dia meyakinkan Tempo, Klinik Raden Saleh kini tak lagi menjadi tempat aborsi kegagalan KB. ”Aborsi sebagai metode KB tak ada lagi sejak saya masuk fakultas pada 1990-an,” katanya. Boleh jadi dia benar, barangkali juga keliru.
Tiga pekan lalu, dua reporter Tempo mampir ke Klinik Raden Saleh. Dalam sekejap, keduanya dirubungi tukang ojek serta tukang parkir di seputar klinik. ”Mau nglepasin (merontokkan janin—Red.) ya, Neng? Berapa bulan?” ujar mereka seraya tergesa menyodorkan sejumlah kartu nama. Di antaranya, terdapat nama satu dokter senior kebidanan yang terhormat. Prakteknya merentang dari Kramat Raya di Jakarta Pusat hingga rumahnya yang nyaman di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo