Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASANGAN itu tak muda lagi: sekitar 40 tahun. Datang ke sebuah rumah di Jalan Boulevard Hijau, Taman Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat, mereka disambut nyonya rumah, perempuan setengah baya. Warga sekitar mengenalnya sebagai Siti Djubaidah alias bidan Juju. Kepada pasangan itu, Juju bertanya, "Sudah berapa bulan?"
"Satu minggu ini terlambat haid," kata tamu pria. Bidan Juju menyahut, "Kalau begitu, sudah hamil tiga minggu." Ia lalu meminta pasangan itu masuk ke ruang praktek: sebuah kamar 31x 4 meter persegi, dengan dipan kayu dan kasur. Dari luar, tampak sehelai sajadah separuh terlipat tergeletak di lantai. Agaknya, baru saja dipakai salat. Ruang praktek terhubung dengan bagian lain rumah, tempat para penghuni menonton televisi. Pintu lalu ditutup. Peristiwa itu terjadi pada awal April lalu.
Yudiza Wani, kita sebut saja begitu-dia meminta namanya disamarkan-ada di ruangan tersebut ketika peristiwa di atas berlangsung. Wanita muda itu tengah menemani rekannya yang ingin "meminta pertolongan" bidan Juju. Tapi pengalaman di ruang tamu Juju membuat dia membatalkan niat. Yudiza melukiskan adegan menggiriskan itu:
"Seperempat jam berlalu, pintu kamar praktek terbuka," tuturnya. Pasien perempuan meringis menahan sakit, tangannya menekan perut. Dia melangkah tertatih-tatih, dipapah oleh pasangannya. Bidan itu membawa mereka ke kamar lain dengan ukuran lebih kecil, tepat di sebelah ruang praktek. Di dalam ruang terlihat tempat tidur, sebagian dilapisi perlak hitam.
Beberapa menit berlalu, Juju keluar kamar. Setengah berlari, ia menuju keran air di dapur, lalu membasuh tangannya. Dia kembali membawa cawan berisi gulungan kapas, alkohol, dan botol infus. Pintu ditutup rapat lagi.
Yudiza berdebar melihat suasana yang mirip adegan di film Vera Drake itu. Mendapat tiga nominasi Oscar pada 2005, film itu berkisah tentang Vera Drake- ibu rumah tangga kelas pekerja Inggris pada era 1950-an. Dia wanita baik-baik, disayang tetangga dan punya keluarga bahagia. Ternyata Vera adalah aborsionis-profesi yang dia tekuni dengan penuh "pengabdian"-pada masa Inggris masih melarang aborsi. Entah berapa janin dia rontokkan dengan alasan menolong para wanita kepepet.
Tak sampai sepuluh menit, pintu terbuka lagi. Hasil kerja bidan Juju segera terlihat: perempuan itu duduk lemas. Selang infus dipasang di tangan kirinya. Setelah minum air putih, dia tidur. "Tensinya lemah," Yudiza menirukan kata-kata Juju. Darah tercecer di lantai. Seorang pembantu rumah mengepelnya dengan kain basah.
Tempo mendatangi rumah Juju sepekan setelah kunjungan Yudiza. Seluruh detail yang dia lukiskan tentang ruang praktek itu persis sama dengan yang dilihat wartawan majalah ini. Namun Juju membantah melakukan praktek aborsi ilegal. Dia bilang tak mengerti dunia medis. "Saya ini pedagang telur di Pulo Jahe," ujarnya.
Meski beroperasi di luar kota, Juju menjaring pasiennya dari Jakarta. Namanya beredar di kalangan calo Jalan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kepada Tempo, Yudiza mengaku bahwa dia dan temannya terhubung ke sang bidan melalui seorang petugas parkir di kawasan ini.
Dia meninggalkan nomor telepon ke petugas parkir itu pada suatu petang pada awal April lalu. Ke nomor itulah seorang pria berlogat Betawi menghubunginya. Penelepon mengenalkan diri sebagai Irwan. Dia mengaku mendapat nomor Yudiza dari petugas parkir di Tanah Tinggi. Dari penelusuran Tempo, Irwan ternyata penghubung yang khusus menjaring "konsumen" untuk Juju.
Menurut Irwan tarif untuk janin tiga bulan sekitar Rp 5 juta. Angka itu keluar ketika Yudiza dan temannya mencari info awal aborsi. Tarifnya tergantung usia kehamilan. "Semakin tua, semakin mahal," Irwan menegaskan. Melalui telepon, keduanya sepakat bertemu pada besok harinya di halte busway Matraman, Jakarta Timur.
Irwan sudah menunggu ketika Yudiza dan rekannya tiba di halte. Dia lelaki ceking, berkulit gelap, kumis tebal, dan mengendarai sepeda motor Yamaha Mio. Ia memandu mobil Yudiza menuju arah timur Jakarta. Sekitar 500 meter dari situ, ia berhenti lagi, menghampiri mobil lain, sebuah Toyota Avanza abu-abu. Penumpang mobil inilah yang diaborsi ketika Yudiza berada di ruang tamu rumah Juju.
Kepada Yudiza, Irwan mengatakan akan membawa pasien ke Bekasi karena klinik-klinik di Jakarta sedang tiarap. Itu terjadi setelah penggerebekan bidan Juniatun alias Atun di Johar Baru, Jakarta Pusat, Februari lalu. Mobil meluncur ke Taman Harapan melalui Cakung dan Pulo Gadung. Dua jam perjalanan, rombongan tiba di depan Carrefour, di kompleks perumahan itu.
Irwan menghentikan rombongan. Ia meminta rekan Yudiza pindah ke Kijang Innova hitam. Mobil ini ternyata berfungsi sebagai "shuttle bus" yang membawa pasien ke rumah Djubaidah. "Tak enak dengan tetangga jika terlalu banyak kendaraan," Yudiza menirukan Irwan.
Yudiza menolak pindah mobil dengan alasan repot. Irwan lalu meminta penumpang Avanza yang berpindah. Kendaraan pasangan itu lalu diparkir di pelataran sebuah rumah sakit di Kompleks Taman Harapan. Perjalanan dilanjutkan. Mereka tiba di rumah Djubaidah dalam waktu lima menit.
Rumah itu berpagar tembok cokelat setinggi dua meter. Tak seperti tetangganya, rumah itu tak bernomor. Seorang wanita muda membuka pintu pagar yang dikunci gembok besar. Lalu perempuan 50-an tahun menyambut di depan rumah. Ia mengenalkan diri sebagai Juju, lalu bertanya, "Siapa yang hamil?" Kemudian, dia mempersilakan para tamu masuk. Rupanya, ini "ritual awal" proses pengguguran kandungan.
Meski Djubaidah tinggal di kompleks itu sejak dua tahun lalu, tak ada tetangga yang mengenalnya. Penghuni kompleks tidak tahu nama aslinya. Warga mengenal perempuan berkerudung ini dengan nama Hajjah Suryani. Namun, menurut Rudi Santoso, Ketua RT 6 Blok I-10, yang membawahkan wilayah itu, janda satu anak itu memiliki kartu tanda penduduk dengan nama Siti Djubaidah. Tercatat di dokumen RT, dia lahir pada 4 Juni 1956.
Soal pekerjaan Djubaidah juga misterius. Sukirman, salah satu penduduk di situ, menjelaskan dia tahu Juju adalah tukang pijat. Anton, petugas keamanan di kompleks tersebut, mengenalnya sebagai penjual telur. "Dia sering menelepon di depan gang, ngomongin telur," katanya. "Tapi saya tak pernah melihat ada telur dibawa ke situ."
Rudi Santoso mengatakan, "Ibu Suryani" atau Djubaidah kurang aktif menghadiri acara di kampung. Ia selalu keluar rumah dengan mobil, diantar sopir. Namun tak ada kegiatan yang mencurigakan. "Tidak pernah ada tamu pada malam hari," tuturnya. Ia menambahkan, Djubaidah orang yang ramah dan baik: selalu membayar iuran kampung dengan teratur.
Beberapa hari kemudian Tempo menemui Irwan, yang tadinya bersedia diwawancarai. Namun kemudian dia membatalkannya. Adapun Djubaidah, yang ditemui pada hari lain, menegaskan bahwa dia tak pernah melakukan aborsi ilegal. "Kalau benar ada pasien yang datang, bawa dia ke sini lagi," ujarnya.
Ketika wartawan majalah ini mewawancarai Juju, sret, sebuah sepeda motor berhenti di pelataran rumah. Si pengendara memandu sepasang pria-wanita, juga naik sepeda motor. Djubaidah segera menggusah mereka pergi. Tapi Tempo keburu mengenali si pengendara. Dialah Irwan, si penghubung aborsi.
Ketika rupa Irwan kami lukiskan kepada Yudiza, dia segera mengenalinya sebagai calo yang mengantar mereka dengan Innova hitam. Yudiza juga cuma butuh sedetik untuk mengenali Juju-yang kami rekamkan gambarnya saat mewawancarai dia. "Masya Allah, benar, ini memang bidan Juju di Taman Harapan itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo