Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Prahara Pajak Raja Otomotif

Direktorat Jenderal Pajak menuding PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menghindari pembayaran pajak senilai Rp 1,07 triliun dengan transfer pricing. Kasusnya terkatung-katung di Pengadilan Pajak.

21 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT sudah beranjak gelap ketika kegiatan utama pelabuhan khusus ekspor-impor kendaraan di Tanjung Priok, Jakarta, dimulai. Sore itu, Kamis terakhir Januari lalu, MV Trans Future 3 baru saja berlabuh. Kapal berbendera Panama itu tiba di Ibu Kota setelah menempuh perjalanan jauh dari Jepang, Thailand, dan terakhir Singapura. Ada 700-an unit mobil impor di dalam perut kapal kargo raksasa itu.

Setelah kapal bersandar, satu per satu mobil Toyota Hiace, Hilux, Camry, Alphard, dan Land Cruiser menjejak darat lewat pintu khusus (ramp door) di sisi kiri buritan Trans Future 3. Puluhan juru mudi dari perusahaan bongkar-muat PT Adimas Bahtera Harapan dan PT Bandar Krida Jasindo bergegas memindahkan semua kendaraan itu ke gedung parkir berlantai lima, sekitar 200 meter dari sana.

Hampir bersamaan dengan itu, para sopir rekanan PT Toyofuji Logistics Indonesia-perusahaan jasa kargo milik Toyota Motor Corporation dan Astra International-juga bergerak cepat memindahkan sekitar 1.000 unit mobil baru siap ekspor ke lambung Trans Future. Ada Toyota Avanza, Fortuner, Innova, D40D, dan Wigo. Bongkar-muat dilakukan simultan karena kapal Trans Future harus melaut lagi ke Singapura keesokan harinya.

"Toyota memang paling banyak keluar-masuk di sini," kata seorang pegawai PT Indonesia Kendaraan Terminal yang malam itu ikut mengawasi proses bongkar-muat. Dia memantau persiapan ekspor itu sampai pukul 2 dinihari.

Padatnya aktivitas ekspor-impor Toyota dalam satu hari itu saja menunjukkan masifnya skala produksi perusahaan multinasional ini. Dua hari sebelum Trans Future bersandar di Tanjung Priok, pada akhir Januari lalu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengumumkan kinerja ekspor mobil utuh atau completely built-up (CBU) mereka pada tahun lalu. Jumlahnya mencatat rekor, yakni lebih dari 118 ribu unit. Jumlah ini setara dengan 70 persen total ekspor kendaraan dari Indonesia tahun lalu.

Jika ditambah dengan produk mobil terurai atau completely knocked down (CKD) dan komponen kendaraan, nilai ekspor pabrik mobil yang 95 persen sahamnya dikuasai Toyota Motor Corporation (TMC) Jepang tersebut mencapai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Tak salah jika pada Oktober 2013-untuk keempat kalinya dalam lima tahun terakhir-Toyota Motor Manufacturing menyabet Primaniyarta Award, penghargaan bergengsi dari Kementerian Perdagangan untuk eksportir berprestasi.

Sayang, ada noda tersembunyi di balik gemerlap prestasi itu. Sejak sembilan tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencurigai Toyota Motor Manufacturing memanfaatkan transaksi antar-perusahaan terafiliasi-di dalam dan luar negeri-untuk menghindari pembayaran pajak. Istilah bekennya transfer pricing.

Berkembang sebagai bagian dari perencanaan pajak korporasi, transfer pricing kini menjadi momok otoritas pajak sedunia. Modusnya: perusahaan memindahkan keuntungan dari satu negara ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih murah (tax haven). Pemindahan beban dilakukan dengan memanipulasi nilai transaksi antar-perusahaan dalam kelompok bisnis mereka secara tidak wajar. "Di mana-mana membongkar transfer pricing adalah pertarungan negara melawan perusahaan multinasional," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany kepada Tempo awal Februari lalu.

Menurut Kepala Subdirektorat Transaksi Khusus Direktorat Jenderal Pajak Imanul Hakim, ada empat sektor industri di Indonesia yang ditengarai rawan melakukan penghindaran pajak lewat transfer pricing. Keempat sektor itu adalah pertambangan, perkebunan, elektronik, dan otomotif. "Kasus Toyota hanya salah satu dari sekian kasus yang kami tangani," ucapnya.

n n n

SKANDAL transfer pricing Toyota di Indonesia terendus ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) Toyota Motor Manufacturing pada 2005. Belakangan, pajak Toyota pada 2007 dan 2008 juga ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan karena Toyota mengklaim kelebihan membayar pajak pada tahun-tahun itu, dan meminta negara mengembalikannya (restitusi).

Dari pemeriksaan SPT Toyota pada 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004, misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin-atau perimbangan antara laba kotor dan tingkat penjualan-menyusut, dari sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian.

Apa yang memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini? Rupanya, pada tahun itu Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera: PT Toyota Astra Motor. Pemilik sahamnya ada dua, yakni PT Astra International Tbk (51 persen) dan Toyota Motor Corporation Jepang (49 persen).

Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Walhasil, Toyota Jepang kemudian menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).

Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek dengan nama lama: Toyota Astra Motor (TAM). Di perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham.

Setelah restrukturisasi itulah laba gabungan kedua perusahaan Toyota tersebut justru anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya kepada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah per tahun. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar.

Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan angka penjualan mereka pada tahun itu justru naik 40 persen. Jadi ke mana keuntungan Toyota menguap?

Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur harga penjualan dan biaya Toyota dengan lebih saksama. Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai tercium. Toyota diduga "memainkan" harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar.

Sayangnya, semua pejabat pajak dan pemimpin Toyota yang diwawancarai Tempo untuk artikel ini hanya bersedia memberi keterangan latar belakang. Meski kasus ini sudah diadili di Pengadilan Pajak, semua menolak berbicara terbuka dengan alasan masih menanti vonis majelis hakim.

n n n

MARI kembali ke Pelabuhan Tanjung Priok. Pada akhir Januari lalu, Tempo memperoleh selembar dokumen manifes kapal MV Trans Future 3 yang bisa mengungkap salah satu indikasi "permainan" transaksi Toyota.

Dalam manifes itu disebutkan bahwa pada pekan keempat Januari lalu, Toyota Motor Manufacturing mengirim 307 unit mobil Fortuner dari dermaga Tanjung Priok ke pelabuhan Batangas, Luzon, Filipina. Pembelinya adalah Toyota Motor Philippines Corporation-unit bisnis Toyota di negara itu. Sisanya, sekitar 700 unit mobil Innova, dikirim ke pelabuhan Laem Chabang, Thailand, untuk Toyota Motor Thailand Co Ltd, unit korporasi Toyota di Negeri Gajah Putih.

Dari dokumen manifes itu terungkap bahwa seribu mobil buatan Toyota Motor Manufacturing Indonesia harus mampir dulu ke Singapura sebelum diekspor Filipina dan Thailand. Toyota Motor Asia-Pacific Pte Ltd-unit bisnis Toyota yang berkantor di Singapura-kemudian mengambih alih kargo itu. Dengan kata lain, dalam transaksi itu, Toyota di Indonesia hanya bertindak sebagai pemasok "atas nama" Toyota di Singapura.

Skema jual-beli via negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional. Apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari korporasi perusahaan multinasional yang sama.

Agar suatu transfer pricing dalam transaksi antarpihak terafiliasi tidak dituding sebagai modus penghindaran pajak (tax avoidance), Justinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, mengingatkan ada persyaratan yang harus dipenuhi. "Syaratnya, nilai transaksi mereka harus memenuhi standar kewajaran," katanya Februari lalu.

Di sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan sengketa pajak ini, ada sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual mobil-mobil produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.

Misalnya pada dokumen laporan pajak Toyota tahun 2007. Sepanjang tahun itu, Toyota Motor Manufacturing di Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota sendiri, petugas pajak menghitung bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Yang aneh, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu malah dijual 3,49 persen lebih murah dibanding nilai tersebut. Artinya, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.

Temuan yang sama terlacak pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73 persen dan 5,14 persen dari ongkos produksinya per unit. Pada ekspor Rush dan Terios, Toyota Motor Manufacturing memang meraup untung, tapi tipis sekali, yakni hanya 1,15 persen dan 2,69 persen dari ongkos produksi per unit.

Temuan ini jadi mencolok karena Toyota menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan bruto sebesar 3,43-7,67 persen.

Walhasil, pemeriksa pajak lalu mengoreksi harga pada transaksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia-Pacific di Singapura. Hasilnya fantastis: omzet penjualan Toyota Motor Manufacturing pada 2007 jadi melonjak hampir setengah triliun dari laporan awal perusahaan itu, menjadi Rp 27,5 triliun.

Petugas pajak menemukan modus ekspor dengan nilai tak wajar juga berulang pada 2008. Koreksi serupa dilakukan dan, simsalabim, nilai omzet Toyota tahun itu melonjak Rp 1,7 triliun menjadi Rp 34,5 triliun.

Berdasarkan itu, seusai proses keberatan, Direktorat Jenderal Pajak lalu menyimpulkan bahwa penghasilan Toyota yang harus dikenai pajak sebenarnya adalah Rp 975 miliar (2007) dan Rp 1,95 triliun (2008). Maka total kekurangan pajak yang harus dibayar Toyota menggelembung jadi Rp 1,07 triliun.

n n n

PRESIDEN Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Masahiro Nonami tak menanggapi surat permohonan wawancara yang diajukan Tempo. Ketika ditemui seusai acara peletakan batu pertama pembangunan pabrik mesin Toyota di Karawang, Jawa Barat, pertengahan Februari lalu, Masahiro irit bicara. "Perusahaan kami selalu mengikuti ketentuan pemerintah," katanya pendek.

Johnny Darmawan, yang ketika itu masih menjabat Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor dan Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing, hanya bersedia memberikan keterangan off the record kepada jurnalis Tempo Bambang Harimurty. Satu-satunya pernyataannya yang bisa dikutip adalah: "Kami masih menunggu putusan Pengadilan Pajak." Adapun Deputy General Manager Toyota Motor Asia-Pacific Chan Hoe menolak berkomentar ketika ditemui Tempo awal Februari lalu di Singapura.

Dalam berkas persidangan di Pengadilan Pajak yang diperoleh Tempo, Toyota Motor Manufacturing memang tak membantah temuan soal rendahnya nilai penjualan beberapa varian produk mereka kepada perusahaan terafiliasi di Singapura. Alasannya, pada tahun-tahun itu, harga memang ditekan untuk memperbesar volume pemasaran. Toyota tegas-tegas menolak dituduh melakukan penghindaran pajak.

n n n

SEJAK diadili di Pengadilan Pajak pada 2010, nasib sengketa pajak Toyota terkatung-katung sampai sekarang. Tiga perkara terkait dengan perusahaan ini tak kunjung diputus majelis hakim. Padahal persidangan sengketa pajak lain biasanya rampung dalam satu setengah tahun saja.

"Seharusnya Ketua Pengadilan Pajak membuat aturan batas waktu maksimal untuk pembacaan putusan," kata mantan Wakil Ketua Pengadilan Pajak Tjip Ismail, akhir Februari lalu. Dia tak mengerti kenapa kasus Toyota ini bisa terkatung-katung begitu lama.

Dirjen Pajak Fuad Rahmany hanya bisa mengangkat bahu ketika ditanya soal ini. Sedangkan Ketua Pengadilan Pajak I G.N. Mayun Winangun tak merespons permintaan konfirmasi dari majalah ini. Yang jelas, sampai sekarang, Direktorat Pajak dan Toyota masih sama-sama menunggu babak akhir dari sengketa ini.

Agoeng Wijaya, Sukma N. Loppies, Budi Riza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus