Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Bidang Pengawasan dan Investigasi Hakim Komisi Yudisial Eman Suparman kehabisan kata-kata setiap kali ditanya soal Pengadilan Pajak. Sejak menjabat komisioner lembaga yang bertugas mengawasi para hakim ini pada 2010, dia nyaris tak pernah menerima pengaduan soal perilaku menyimpang hakim Pengadilan Pajak.
"Saya heran," ujarnya akhir Maret lalu. Padahal, menurut Eman, Pengadilan Pajak memiliki sederet kejanggalan. Pertama, kata dia, para hakim di sana digaji oleh Kementerian Keuangan, bukan oleh Mahkamah Agung seperti semua hakim lain di Indonesia. Kedua, gedung Pengadilan Pajak berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Bagaimana mereka bisa independen?" ucap Eman tak paham. Bukan hanya itu. Sebagian besar hakim Pengadilan Pajak juga merupakan pensiunan pejabat Direktorat Jenderal Pajak. "Ini kan potensi conflict of interest," dia menambahkan.
Para hakim Pengadilan Pajak bersidang di lantai 9 dan 10 Gedung Sutikno Slamet-salah satu gedung di kompleks Kementerian Keuangan di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Jangan bayangkan sidang-sidang di sana seperti sidang pengadilan pada umumnya. Masyarakat yang sekadar ingin melihat jalannya sidang saja harus menyerahkan kartu identitas di lantai dasar Gedung Sutikno sebelum diizinkan naik. Di ruang sidang hanya ada kurang dari sepuluh kursi untuk pengunjung.
Di salah satu ruang sidang yang lengang inilah perkara sengketa pajak Toyota diadili. Perusahaan otomotif multinasional asal Jepang itu tengah terbelit tiga perkara pajak, yakni terkait dengan surat pemberitahuan pajak tahunan Toyota tahun 2005, 2007, dan 2008. Jika dinyatakan kalah di pengadilan ini, Toyota harus membayar kekurangan pajak sampai Rp 1,22 triliun. Sebaliknya, jika Toyota menang, negara harus rela mengembalikan kelebihan pajak Toyota sebesar lebih dari Rp 400 miliar.
Yang kini jadi pergunjingan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan majelis hakim Pengadilan Pajak untuk memutus semua perkara itu. Kasus tahun pajak 2005 dan 2007, misalnya, sudah selesai disidangkan dua tahun lalu. Sedangkan kasus pajak Toyota tahun 2008 sudah rampung disidangkan pada Maret 2013. Nasib ketiga perkara itu kini tak jelas.
Gelapnya nasib perkara ini jadi kian gulita karena majelis hakim yang mengadili perkara ini, Sukma Alam, Krosbin Siahaan, dan Seno S.B. Hendra, sama sekali tak bisa ditemui.
Soeryo Koesoemo Adjie, salah satu hakim yang memeriksa sengketa pajak Toyota untuk tahun pajak sebelumnya, juga tak bersedia bicara banyak. "Saya tidak bisa berkomentar kalau kasusnya belum putus," ujarnya. Ketua Pengadilan Pajak I G.N. Mayun Winangun bahkan tak merespons permintaan wawancara Tempo.
Ada dugaan hakim Pengadilan Pajak tidak begitu memahami anatomi kasus transfer pricing sehingga terkesan berhati-hati. Secara tersirat, ini diakui Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany. "Saya enggak ngerti bagaimana tingkat kemampuan hakim di Pengadilan Pajak," katanya ketika diwawancarai Tempo, Februari lalu.
Terkatung-katungnya penyelesaian sengketa Toyota di Pengadilan Pajak ini sudah masuk radar Komisi Yudisial. Menurut Eman Suparman, lembaganya kini memang mulai memberi perhatian khusus pada Pengadilan Pajak. "Jika ada hakim yang bermain mata dengan wajib pajak, ini bisa menjadi kasus judicial corruption," ujarnya.
Perhatian lembaga penegak hukum seperti yang dijanjikan Eman sama sekali tak berlebihan. Menurut Global Financial Integrity-lembaga advokasi keuangan yang berbasis di Washington, DC-Indonesia adalah negara dengan kebocoran finansial terbesar kedelapan di dunia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia kehilangan pendapatan sekitar Rp 213 triliun per tahun akibat kejahatan kerah putih. Sebagian besar modus kejahatan itu adalah penghindaran pajak.
Tanpa gebrakan penegak hukum, tiga kasus sengketa pajak Toyota yang bernilai triliunan rupiah akan terus mengendap di lantai 10 Gedung Sutikno Slamet. Berkasnya kini menumpuk bersama lebih dari 10 ribu berkas perkara lain yang tertunggak di pengadilan itu sejak sepuluh tahun lalu. Entah sampai kapan.
Budi Riza, Agoeng Wijaya, Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo