Imam Utomo terhenyak di kursinya. Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur di Jalan Indrapura, Sabtu dua pekan silam, ibarat mencoretkan nilai merah dalam rapornya sebagai Gubernur Jawa Timur. Sidang dengan keras mengingatkannya agar memberantas praktek pengoplosan dan penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) di provinsi itu.
Anggota dewan memang pantas pusing kepala. Setahun terakhir, beberapa daerah di provinsi itu dilanda prahara kelangkaan minyak tanah.
Kelangkaan itu bukan cuma terjadi di kota-kota kecil seperti Banyuwangi, Situbondo, Tulungagung, Probolinggo, tapi juga Jember, Malang, bahkan Surabaya. Kok bisa? Bukankah ada depo logistik Pertamina di Tanjungperak yang mengalirkan kebutuhan minyak tanah 6,8 juta liter per hari berikut jutaan liter jenis BBM lain ke seantero provinsi?
Tepat sekali! Cuma ada satu kendala: cairan berharga itu—tepatnya solar dan minyak tanah—kerap kali raib bak ditelan siluman. Dan ibu-ibu rumah tangga gigit jari menatap kompor minyak yang kering-kerontang di dapur mereka. Aliran dari depo Pertamina seharusnya memenuhi tangki para agen, disalurkan ke pangkalan dan pengecer sebelum dijual ke konsumen.
Apa boleh buat. Bau fulus yang meruyak bersama aroma BBM membuat sejumlah calo giat mencegat tangki-tangki BBM sebelum sempat meluncur ke kios-kios resmi para agen dan pengecer. Kerja sama depo-sopir tangki-calo-para bos mafia BBM menciptakan sebuah lingkaran "antitembus" dari Tanjungperak hingga Gresik dan sejumlah kota lain—paling tidak begitulah hasil investigasi TEMPO hingga tulisan ini diturunkan.
Ada dua titik di Tanjungperak yang selama ini menjadi tempat calo beroperasi: depan depo logistik Pertamina, Jalan Perak Barat Surabaya, dan sekitar 500 meter di belakang depo, yang bisa dicapai melalui jalan melingkar. Awal dua pekan lalu, TEMPO memergoki dua pria tengah mengawasi lalu lintas truk tangki yang keluar-masuk depo. Tiba-tiba, pria berkulit hitam legam mencekal telepon genggamnya.
"Halo, wis teko kirimane? (Halo, apa kirimannya sudah tiba?)," ia bertanya. Pembicaraan berlangsung singkat. Ia lalu menoleh pada rekannya, lantas berujar, "Wis teko (Sudah tiba)." Yang ditunggu, sejumlah truk tangki BBM, muncul beberapa menit kemudian. Si hitam legam melambaikan tangan. Truk menepi. Sopir dan kernet meloncat turun menghampiri keduanya—sudah dikenal penduduk sekitar sebagai calo minyak tanah dan solar di Tanjungperak Barat. Kasak-kusuk berlangsung kilat. Lalu …, jreng! Gepokan uang berpindah dari kantong calo ke tangan sopir dan kernet. Lo, apa yang dijual?
Ya, minyak tanah dan solar di tangki-tangki itu. Dari situ, sopir kembali bergerak menuju alamat yang sudah dicatatkan para calo—bukan ke agen-agen resmi Pertamina. Bisnis gelap itu berlangsung terang-terangan di tempat itu, setiap hari, setiap saat. Tapi, jangan salah. Jika bukan bagian dari jaringan, "Mbok, sampai dua hari menunggu di sini, sampeyan tak akan mendapatkan barang. Setiap sopir sudah punya langganan makelar yang memborong minyak dan solar mereka," ujar pemilik warung di belakang depo Pertamina.
Para makelar tahu betul bagaimana menggoda iman para sopir. Harga minyak tanah per tangki, yang laku Rp 1,575 juta di agen resmi, bisa dihargai Rp 2 juta hingga Rp 2,2 juta di tangan calo. Transaksi yang asyik-masyuk membuat konsumen boleh menunggu sampai kiamat, tanpa pernah mendapatkan barang.
Kasmuri, seorang pedagang BBM yang telah lama mangkal di Tanjungperak dan paham lika-liku ini, mengatakan calo-calo tadi hanyalah ujung tombak bisnis pengoplosan dan penyelundupan BBM di Surabaya dan sekitarnya. Sementara itu, empat bos yang dikenal dengan nama Kacung, Acing, Pencin, dan Laminto Tanuwijaya adalah muara seluruh bisnis gelap ini.
Menurut Kasmuri, para taipan gelap itu saling menopang dalam jaringan yang solid dan dominan. Di lapangan, mereka masih ditopang lagi oleh gerakan tutup mulut para calo, sopir truk, bahkan tentara. Dalam lingkaran inilah BBM dilarikan ke lokasi penimbunan—tadinya sebahagian ditampung di beberapa lokasi di Tanjungperak. Lantaran polisi mulai menggerebek kawasan ini sejak Maret-April, mafia minyak "bermigrasi" ke dekat Pelabuhan Gresik, Tuban, Banyuwangi, dan Mojokerto. Menurut Kasmuri, Pencin bahkan membangun sebuah areal dekat pelabuhan yang dijaga ketat para sekuritinya.
Tangki-tangki minyak tanpa nama dengan setia mengangkut BBM gelap ke areal itu. "Tangki polos pasti tak dilengkapi dokumen delivery order (DO). ujar Arief Indrianto, Ketua Komisi B DPRD Surabaya, yang tengah sibuk mengumpulkan informasi mengenai praktek penyelundupan BBM di Jawa Timur. Selanjutnya, solar, minyak tanah, dan bensin ditankerkan pada malam hari (lihat infografik: Titik-Titik Menjaring Minyak).
Transaksi ini makin menggiurkan karena kendati BBM—minyak tanah, solar, bensin—dibeli dari depo Pertamina dalam keadaan murni, saat ditimbun dan dilego ke pembeli berikut, cairan itu sudah berbentuk oplosan. "Istilahnya solar tikus," ujar Kasmuri. Mantan Dansatgas PDI Perjuangan Surabaya di atas menjelaskan, pola pencampuran biasanya memakai perbandingan 4:1.
Jadi, empat ton minyak tanah (harga resmi Pertamina Rp 280 per liter) dicampur satu ton solar (harga resmi Rp 550 per liter) bisa dijual dengan harga standar solar. Sumber TEMPO memberikan perhitungan sebagai berikut: setiap liter oplosan minyak dan solar menghabiskan biaya Rp 455 ditambah biaya mengoplos Rp 20 per liter. Begitu prosesnya selesai, solar tikus ini dilempar ke pasar dengan harga Pertamina: Rp 550. Artinya? Sambil bergoyang kaki, para mafia tinggal menghitung keuntungan Rp 75 per liter. (Lihat infografik)
Sumber TEMPO lainnya, pensiunan Kapten (Pol.) Mhn, mantan Kepala Unit Produksi dan Perdagangan Reserse Ekonomi Polda Ja-Tim, menyebutkan keuntungan para cukong bahkan bisa mencapai Rp 150 per liter oplosan. Alhasil, untuk setiap tangki berkapasitas 5.000 liter, si cukong meraup fulus haram Rp 750 ribu. Silakan hitung bila 10 persen saja dari 6,8 juta liter minyak tanah—lupakan dulu jenis BBM lain—yang mengalir dari depo Pertamina membelok ke tangki-tangki oplosan.
"Selain ke tanker asing, solar oplosan juga dijual ke hotel, plaza, pabrik," ujar Mhn. Selain di darat, para mafia juga beraksi di laut. "Ada empat titik masuk strategis di kawasan pesisir Pantai Utara (tempat BBM gelap diperjualbelikan). Surabaya, Gresik, Probolinggo, Pasuruan," ujar Mhn.
Pihak Pertamina Jawa Timur—bukannya tak tahu-menahu—membenarkan praktek ilegal tersebut. "Itu bukan perkara mustahil," ujar Santoso Djojokoesoemo, Kepala Bagian Penjualan Pertamina Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri (UPPDN) V Ja-Tim. Seorang agen yang punya 10 lembar DO, misalnya, hanya memasok 5 DO yang dimilikinya ke pangkalan. Sisanya ditimbun atau dijual kembali.
Lalu, apa yang dilakukan pihak aparat? Sepanjang Maret-April lalu, Polda Ja-Tim menggelar operasi intensif terhadap gudang penimbunan solar dan minyak tanah. "Tujuh lokasi kami gerebek. Delapan tersangka kami jaring," Kepala Direktorat Serse Polda Ja-Tim Kolonel (Pol.) Soeharto menjelaskan. Semua berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Surabaya. Antara lain PT Harumax, yang digerebek karena tertangkap basah memasok 9 ton solar oplosan ke tongkang PB9. Ironisnya, tak lama kemudian, bos Harumax sudah mengantongi surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari polisi.
Soal lain yang tak kalah pelik adalah licinnya para mafia minyak mengelakkan diri. TEMPO, yang berkali-kali menghubungi Acing, hanya diladeni salah satu karyawan Acing: "Pak Acing sedang ke luar kota," ujarnya, tanpa bersedia merinci alamat atau nomor telepon bosnya. Soal tuduhan menimbun minyak? "Saya kurang tahu," katanya. Menghubungi Kacung juga tak kalah sulitnya. "Syukur kalau orang lain menilai suami saya bos besar. Tapi itu tidak benar," ujar istrinya melalui telepon. Laminto Tanuwijaya dikabarkan sedang ke Australia. Sedangkan Pencin tak dapat dilacak di kantor ataupun rumahnya.
Menurut Mhn, cukong-cukong ini lihai betul dalam urusan menghindar. Misalnya memasang orang lain pada posisi pimpinan perusahaan. "Sehingga kalau ada apa-apa, pembantunya tinggal pasang badan," katanya. Hal ini pula yang terjadi tatkala polisi menggerebek PT Sumber Minyak Indah di Jalan Simo, Rejosari, beberapa waktu lalu. Pemilik Sumber Minyak, Laminto, lolos kendati ditemukan timbunan 70 ton solar oplosan di tempat itu. Seorang karyawannya bersikeras mengakui solar tersebut sebagai miliknya.
"Kami ingin tahu apakah mereka akan menanggung risiko sendiri, sementara bos yang sebenarnya bebas berkeliaran," ujar Kapolda Jawa Timur, Da'i Bachtiar, dengan geram kepada para wartawan Surabaya, belum lama ini. Sayang sekali, rasa geram itu tak bisa menghentikan pesta-pora mafia minyak yang belum kunjung berhenti. Sampai sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini