Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sebuah Payung untuk Anak-Anak Terbuang

Karena desakan ekononomi, bayi pun dipakai untuk mencari rezeki. Potret sebuah yayasan peduli bayi.

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Nandito. Umur dua tahun. Tubuhnya kurus, dekil, matanya cekung. Kalau berjalan, langkahnya limbung dan sering terjatuh. Jika didekati, napasnya terdengar berat. Dari balik dadanya yang mungil, lamat-lamat terdengar bak suara seruling. Ngik, ngik, naik-turun. Nandito, si bocah berkulit sawo matang ini, bukan saja tak terurus. Ia memang menderita sakit paru-paru basah.

Namun, bagi Seturah, 37 tahun, ibu kandung Nandito, "sakit" si kecil berarti anugerah. Juga rezeki. Bagi Seturah yang pengemis, Nandito yang kurus dan bengek itu mudah sekali menarik iba orang. Saking teganya, untuk "mempertahankan" derit napas Nandito yang memelas itu, Seturah nekat tidak meminumkan obat--bantuan gratis dari sebuah yayasan.

Si kecil memang "dimanfaatkan" ibunya untuk mencari uang: digendong sambil meminta-minta di sebuah perempatan lampu merah di Jakarta Timur. Di kaki kanan Nandito, ada sedikit bekas. Rupanya, pernah suatu saat, si ibu panik dikejar-kejar petugas. Tanpa pikir panjang, ia "melemparkan" saja si bayi Nandito ke dalam sebuah bus kota yang sedang berjalan. Kaki si bayi terluka, tergores kaca bus kota.?

Hilangnya naluri keibuan? Mungkin saja, karena dipaksa situasi. Hal seperti itu pulalah yang diderita bayi empat bulan bernama Puji Prihatin. Si ibu, Sri Amti, cuek saja meski bayinya, yang berbibir sumbing, susah menahan air susu--sampai ASI itu belepotan ke mukanya. Pemandangan ini terus dijaga agar lebih dramatis. "Kalau ngajak bayi, kan banyak dapetnya," kata Sri, enteng. Padahal, saat ditemui TEMPO pekan lalu, tubuh bayi itu demam. Dengan menggendong Puji, dalam sehari, Sri bisa meraup Rp 10-15 ribu. "Lumayan, buat beli beras," katanya.

Nandito, Puji, hanyalah sekian dari ratusan bocah miskin yang telantar di Jakarta. Diam-diam, mereka digarap Yayasan Aulia, yang berkantor di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Di yayasan yang berdiri tahun 1995 tersebut, tumplek ratusan bocah dengan latar belakang keluarga beragam: miskin (pasti), pemabok, pekerja seks, sampai ditinggal lari bapaknya. Usianya? Beragam, mulai dari yang baru lahir sampai menjelang remaja.

Mereka dipungut dari pelbagai daerah kumuh di Jakarta. Kadang, petugas yayasan menolong anak yang masih berada di kandungan hasil prostitusi. "Anak-anak itu sangat butuh kasih sayang. Kalau mereka ditolak oleh ibunya, nasib mereka lebih menyedihkan," kata Eddy Hidayat dari Yayasan Aulia. Anak-anak tersisih ini dipelihara hingga suatu saat, entah kapan, diambil kembali oleh orang tuanya. Kebutuhan sehari-hari dijamin Yayasan.

Bayi yang lahir akibat hubungan gelap? Juga diselamatkan dan dirawat. Caranya? Si ibu "bermasalah" dan bayinya diongkosi naik kereta api ke Yogyakarta. Setelah sekitar sebulan ditunggu oleh ibunya, si bayi boleh ditinggal lalu dirawat para pekerja sosial Yayasan Aulia di Kota Gudeg itu. "Harapan kami, mereka diambil kembali oleh orang tuanya," kata Eddy, yang selalu bersandal jepit ini.

Wajah Yayasan bisa dilihat di sebuah rumah berukuran 400 meter persegi, di Samirono Baru, Yogyakarta. Memasuki rumah yang minim perabot tersebut, begitu kesan L.N. Idayanie dari TEMPO, segera tercium bau susu dan minyak telon. Bau kencing bayi terasa menyengat. Memang, di rumah resik itu ada 13 balita, empat anak usia TK, dua anak SD, dan satu anak SMA yang diasuh oleh delapan orang "ibu".

Bayi-bayi "buangan" tersebut sengaja dipelihara di Yogyakarta semata-mata karena alasan biaya. "Dulu pernah kontrak rumah di Jakarta, tapi biaya hidupnya mahal sekali," kata Lestari, perempuan setengah baya, pimpinan Yayasan. Selain di kota pelajar itu, yayasan sosial tersebut juga punya shelter di Bantul dan Iromejan, Yogyakarta.

Tapi, Yayasan Aulia bukanlah sekadar tempat penampungan bayi. "Kami tidak berani menerima terlalu banyak karena ini bukan peternakan. Mereka manusia yang butuh kasih sayang," kata Lestari. Untuk itulah, selain mendidik anak-anak, yayasan itu juga mengajari si ibu dengan keterampilan ala kadarnya. Agar mereka, suatu saat, tak hanya sadar, tapi juga mampu memelihara anaknya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus