Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Bayi-Bayi Dijual: Krisis Ekonomi, Seks Bebas, atau Bisnis?

Sejumlah bayi dijual secara "gelap". Ongkosnya bisa dikalkulasi, boleh bayar kontan, bisa pula diangsur. Ada perdagangan bayi di Jakarta?

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON berdering di kantor redaksi TEMPO, Kamis pagi pekan silam. Eddy Hidayat dari Yayasan Aulia, Jakarta, berbicara di seberang sana. "Ada orang yang ingin menjual bayinya kepada Anda. Kalau ingin bicara, datang segera ke kantor." Jadilah. Seorang reporter diutus ke lapangan untuk menemui calon penjual. Tanpa dibekali uang kontan, tentu saja, karena mingguan berita ini memang tak berniat belanja orok, melainkan "sekadar" mengobrol dengan Ibu Endang--bukan nama sebenarnya--yang ingin "mengijon" kandungannya. Begitulah, orok yang "dinegosiasikan" itu masih berada dalam perut Endang. Usianya sekitar tujuh bulan.

Astaghfirullah. Kok ada ibu yang tega menjual anak? Sudah begini parahkah krisis moneter? Atau, inikah bagian lain dari krisis "tanggung jawab" di negeri ini? Yang jelas, tak terlalu mudah menyalahkan ibu-ibu yang menunggu pembeli untuk anak yang dikandungnya itu. Bagi beberapa yayasan sosial yang mengurus bayi dan anak-anak telantar, ihwal "ibu jual anak" ini praktis bukan perkara baru. Yayasan Aulia, misalnya. Lembaga pimpinan Lestari Projosuto, 53 tahun, ini sudah memulai aktivitasnya--seperti mengurus pendidikan anak telantar--sejak 1975. Belakangan, mereka juga menampung bayi yang dilepas orang tuanya (lihat: Sebuah Payung bagi Anak Telantar).

Alhasil, Eddy Hidayat dan kawan-kawan kerap benar menerima telepon dari orang yang ingin menyerahkan atau mengijon bayinya kepada orang lain. Salah satunya, yang ditawarkan sang ibu kepada wartawan TEMPO di atas. Pasal tawaran ini sebetulnya berawal dari kunjungan wartawan mingguan ini--untuk membuat reportase kehidupan bayi miskin--ke daerah bantaran kereta, Kabelan dan Gaplok, Senen, Jakarta Pusat, bersama salah seorang relawan Yayasan Aulia. Tak sampai 24 jam kemudian, telepon berdering, menawarkan bayi....

Seperti hukum pasar, ada pemintaan maka ada penawaran. Ada "barang", ada harga. Kualitas oke, harga cocok, silakan gendong anak yang diinginkan. Namun berbicara soal bayi adalah berbicara soal manusia. Dan ketika urusan "lego-melego" mencuat ke permukaan, tetap saja terasa ada yang menusuk perasaan.

Namun, di sisi lain, pemindahtanganan bayi dengan cara "remang-remang" ini membuka harapan bagi keluarga yang mendambakan anak. Berapa banyak ibu-ibu yang rela bertahun-tahun menjalani terapi, sekadar untuk bisa melahirkan seorang bayi? Untuk mengadopsi anak melalui jalur legal, jelas berliku-liku, panjang, melelahkan, dan butuh biaya tak sedikit. Maka, di zaman serba praktis ini, cara termudah pasti akan menarik.

Di antara ibu yang akan melepas bayinya dan ibu yang ingin mendapatkan bayi, muncullah para calo alias perantara dalam berbagai rupa. Bentuknya dapat berupa panti dan yayasan yang mengurus bayi dan anak telantar, resmi maupun tak resmi. Sampai, yang ekstrim, dan kriminal: penjaja, atau bahkan penculik bayi.

Itulah yang dialami Sulastri, 36 tahun, perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai pemungut plastik bekas di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta. Perempuan asal Cililis, Cirebon, yang tinggal di emperan Istiqlal itu melahirkan anak keduanya, Ismail Chaniago, pada Juni lalu. Bayi "merah" itu kemudian diculik oleh Lina--sebut saja begitu--kenalannya, hanya tiga hari setelah Sulastri melahirkan. Dari Lina, Ismail dipindahtangankan ke Ibrahim, saudara Lina, sebelum dititipkan di Yayasan Ibu Suri di Bekasi.

Ternyata kasus berbau jual beli bayi gelap, yang terkait dengan nama Lina dan Yayasan Ibu Suri, Bekasi, bukan cuma terjadi sekali itu. Kisah lain datang dari Linda Nasution. Pemulung asal Sumatra Utara itu juga hampir mengalami mimpi buruk serupa. Anak pertamanya, Yanti, kini 5 tahun, juga pernah akan "dibeli" oleh yayasan ini. Lagi-lagi melalui perantaraan seorang bernama Lina.

Awal April silam, Linda diajak Lina ke Kantor Yayasan Ibu Suri. Di sana ia dipaksa menjual putri satu-satunya itu. Alasannya, karena Linda tidak mampu membesarkannya dan agar masa depan si anak lebih baik. Mereka membuka harga: Rp 200 ribu. Linda berang, "Biar gembel, saya tidak akan tega menjual anak sendiri," ujarnya kepada TEMPO. Sekarang, setiap kali melihat mobil Lina masuk ke pelataran Istiqlal, ia langsung kabur, bersembunyi.

Teddy Agus Setiawan, suami Ibu Suri yang memimpin yayasan itu, mengakui bahwa Lina terlibat dalam kasus itu, walau ia tak mengenal Lina sebelumnya. Yayasan Ibu Suri juga tak ada urusan dengan kasus ini, katanya. Sedangkan Daniel Panjaitan dari LBH Jakarta, yang mendampingi sejumlah ibu yang menuntut balik oroknya, tegas-tegas menyebut keterlibatan Lina dan Yayasan Ibu Suri dalam perkara tersebut.

Yayasan Ibu Suri merupakan sebuah lembaga sosial yang menampung ibu hamil (yang tak menginginkan bayinya) maupun bayi-bayi telantar. Adalah Suryati Fatimah, biasa dipanggil Ibu Suri, bidan yang sejak 1980 membuka rumah bersalin di Perumahan Bumi Satria, Jaka Sampurna, Bekasi Barat. Rumah berlantai dua itu tidak seperti klinik bersalin biasa. Tidak ada papan nama klinik bersalin. Ketika masuk ke dalam, baru jelas bahwa tempat itu adalah "semacam klinik". Ada poster cara merawat bayi, ada foto-foto ibu yang pernah tinggal di sana--dan tentunya menyerahkan bayinya. Alasan bayi ditinggalkan ibunya bermacam-macam, dari faktor ekonomi sampai "terlanjur" asyik. Dana, 24 tahun, misalnya, mengaku berbadan dua akibat bersebadan di luar nikah. "Jadi, biar dia (menunjuk perutnya) di sini saja," ujarnya kepada TEMPO.

Gejala seks bebas di metropolitan sudah begitu jauh? Ternyata, para ibu yang ditampung Ibu Suri tak cuma datang dari Jakarta. Mereka datang dari Karawang, Medan, Bali, hingga Irian. Bayi penghuni rumah itu juga bermacam-macam, mulai dari orok merah berumur tiga hari sampai yang sudah tujuh bulan. Ada juga yang sudah bertahun-tahun di sana tapi belum mendapat "peminat" (lihat boks: Pinokio Menanti Adopsi). Dalam sebulan, yayasan ini menerima tiga sampai sepuluh ibu hamil. "Mereka ke sini mau meminta bantuan saya," kata Ibu Suri menegaskan posisinya dalam kasus ini.

Bantuan itu berupa biaya perawatan, persalinan, perawatan bayi, sampai uang saku untuk si ibu. Dan biaya ini akan ditagihkan kepada peminat bayi. Setelah ditotal-total, "biaya" yang harus dibayar sekitar Rp 6 juta per bayi. Tidak kurang, meski bisa dicicil. "Kalau yang tidak mampu, ya, jangan, dong," katanya. Duit itu untuk biaya operasional sehari-hari yayasan. Lagi pula, "Saya ini bidan senior yang juga butuh makan," ia melanjutkan. Ibu Suri dan suaminya, Agus Tedy, menolak tegas tuduhan mengomersilkan nyawa. "Ini badan sosial, bukan lembaga untuk mencari uang," kata Agus Tedy menjawab TEMPO.

Di tempat Ibu Suri, proses adopsi boleh dibilang berlangsung tanpa sandaan hukum pasti. Tidak perlu repot-repot seperti di panti resmi. Tapi Ibu Suri menolak disebut melakukan adopsi, melainkan "penyerahan secara ikhlas". Singkat kata, pemindahan bayi berlangsung tatkala bayi tersedia (dan cocok) dan imbalannya oke.

Padahal, lewat jalur resmi, proses adopsi itu sangat ketat. Contohnya adalah Keputusan Menteri Sosial RI No. 23 Tahun 1982 yang memberikan izin kepada Yayasan Sayap Ibu. Di sana tertera bahwa pihak yang akan mengadopsi harus memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya, pengadopsi haruslah pasangan suami istri yang telah menikah sekurang-kurangnya lima tahun, berusia 23 - 45 tahun, dan berpenghasilan memadai. Hubungan hukum anak dan orang tua angkat harus dikukuhkan melalui penetapan hakim. Di Jakarta, aturan ditambah. Setiap biro pengangkatan anak harus mengantongi izin gubernur, juga tenaga profesional untuk mengurus ibu hamil.

Karena itu, Retno Haryati, Kasubdit Pengasuhan Anak Departemen Sosial, melihat sepak terjang yayasan milik Ibu Suri, misalnya, jelas-jelas sudah keluar jalur. Namun, Retno juga menyoroti kendala lain: sampai sekarang belum ada undang-undang tentang adopsi atau pengangkatan anak. Soal penyelundupan dan adopsi ilegal bayi pun belum diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Alhasil, jika ada pelanggaran, pelakunya paling-paling disentuh dengan pasal mengenai penggelapan asal-usul seseorang, dengan hukuman maksimal enam tahun. Apa boleh buat. Inilah satu-satunya pasal yang paling mendekati kasus penyelundupan atau jual beli bayi.

Jelas, adanya pasal-pasal ini hampir tak memberikan imbas berarti bagi panti yang gemar "memasarkan" bayi. Sumber TEMPO di Departemen Sosial menunjuk sebuah yayasan lain di kawasan Ciputat, Jakarta. Menurut sumber itu, pihaknya pernah memanggil pengurusnya karena berpraktek "di luar jalur". Mereka berdalih, delapan sampai sepuluh bayi yang dirawat telah meninggal. Tapi setelah petugas mengeceknya, ternyata tak satu kuburan pun ditemukan. Bayi-bayi itu memang tidak meninggal, tapi dijual, kata sebuah sumber.

Kisah-kisah lama tentang bisnis gelap bayi menunjukkan bahwa hal ini bukan fenomena baru. Misalnya kasus seorang wanita, sebut saja Dewati, di Batam. Ia sengaja mencari wanita-wanita hamil agar melahirkan di tempatnya. Mereka dibebaskan dari biaya persalinan. Saat mau pulang, asal mau meninggalkan bayinya, mereka dibayar tunai antara Rp 400 - 500 ribu. Bulan Juni 1995, bisnis haram ini dibongkar polisi di Kepulauan Riau Barat, setelah pelaku tertangkap tangan saat bertransaksi. Ia mengaku melepas "dagangannya" antara Rp 4 - 5 juta per bayi. Pembelinya sebagian besar berasal dari Singapura.

Jauh hari sebelumnya pada 1989, pernah terjadi "penyelundupan" bayi di Singkawang, Kalimantan Barat. Polri dan Kepolisian Diraja Malaysia sampai sibuk menangani 10 bayi yang nyaris melewati batas dua negara itu. Para pelakunya dikenai hukuman pidana. Akhirnya, bayi-bayi itu ditampung dan diadopsi secara resmi melalui Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak yang dibentuk Menteri Sosial setahun setelah peristiwa itu.

Urusan bisnis bayi, belakangan, juga menjadi gosip besar di beberapa kota. Di kawasan Bogor, kata gosip itu, tersebutlah ada sebuah truk yang saban hari datang membawa sekitar dua puluhan bayi. Warna kulitnya hitam, katanya didatangkan dari Irian, dan dijajakan pada pagi buta di sebuah pasar di kawasan Gunungputri. Rumornya, ada "sales" yang menjajakan mahluk mungil itu. Harganya pun miring, paling cuma Rp 10 ribu. Sampai-sampai seorang ibu, panggil saja Ibu Wardi, begitu serius mengejar info menarik ini. Tapi,"Itu kabar bohong. Kalau ada, pasti kami tindak tegas," ujar seorang petugas Koramil Gunungputri saat dikonfirmasi TEMPO.

Rupanya ada fakta, ada pula gosip. Tapi ada temuan menarik: ada peningkatan jumlah bayi yang diserahkan ke panti sejak badai krisis ekonomi melanda masyarakat negeri ini. Khususnya di Jakarta. Jumlah bayi yang dititipkan di Yayasan Ibu Suri, misalnya, meningkat tiga kali lipat dibanding tahun lalu. Sebaliknya, jumlah peminat justru turun drastis. "Masuk sepuluh, yang keluar cuma tiga," jelas Ibu Suri. Sampai-sampai, Suri memerlukan memasang iklan di koran Pos Kota. Bunyi iklan: ada sejumlah bayi telantar membutuhkan orang tua asuh.?

Gelagat "bisnis" bayi semacam ini diakui Eddy Hidayat, Sekretaris Yayasan Aulia. Cuma, membuktikannya memang tak mudah. Maklum,"Lika-liku bisnis ini sangat tertutup," katanya. Apalagi yayasan semacam ini bukan cuma satu dua. Ada dugaan, jumlah panti gelap sangat mungkin jauh lebih banyak ketimbang yang resmi. Angka adopsi, antara lain, bisa menjadi petunjuk. Menurut catatan resmi Departemen Sosial, pada 1998 (sampai September) cuma terjadi 30 kali adopsi di Jakarta. Tahun sebelumnya, 32 kali. Bandingkan dengan Yayasan Ibu Suri yang paling sedikit melepas tiga bayi per bulan (36 per tahun) sepanjang 1997.

Yayasan yang mengantongi izin resmi untuk melakukan pengalihan hak perwalian anak hanya ada delapan di seluruh Indonesia. Di Jakarta cuma ada dua, yaitu Yayasan Sayap Ibu di Kebayoran Baru dan Yayasan Tiara Putra di Pondok Indah. Yayasan serupa juga ada di Bandung, Surakarta, Surabaya, Pontianak, dan Batam.

Krisis ekonomi jelas ikut mendorong upaya jual beli anak manusia ini. Menteri Sosial Justika Baharsjah prihatin atas kejadian ini, tapi semua orang tahu bahwa kemampuan pemerintah sangat terbatas. Jadi, pada siapa kita harus bersimpati: ibu hamil yang "menjual" bayinya agar si anak jatuh ke tangan yang lebih baik, atau kepada orang seperti Ibu Suri yang membantu proses itu (dengan sedikit imbalan)? Yang jelas, tidak kepada calo yang sengaja menculik dan menjual si orok untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus