Di Bekasi ada Pinokio. Boneka kayu dalam rupa bocah lelaki berwajah kurus berhidung panjang seperti kisah dongeng klasik Italia? Bukan. Ia bocah berusia lima tahun. Hidungnya kelewat bangir untuk ukuran bayi seusianya. "Wajahnya begitu kurus dan jelek saat itu, mirip Pinokio," ujar seorang ibu yang menjaga kelahiran si jabang bayi. Ia keluar dari rahim Warti, seorang tenaga kerja wanita yang melarikan diri dari Arab Saudi.
Tak ada seorang pun yang mau mengadopsinya. Maka, ketika ia berumur dua setengah tahun, Yayasan Ibu Suri, yang mengurusi persalinan Warti, memutuskan untuk merawat balita itu. Belakangan si buyung diberi nama Tommi.
Itu kejadian dua setengah tahun silam. Apa kabar Tommi kini? Perjalanan waktu telah menyulap bayi kurus itu menjadi seorang bocah tampan. Badannya sedikit gemuk, berkulit putih. Ia punya sepasang mata lebar dan bening, bulu mata lentik, dan rambut ikal kemerahan. Wajah Arab yang kental. Tutur katanya memikat: mudah tersenyum dan ramah mengajak bicara siapa saja yang datang berkunjung. Namun, sampai saat ini, Tommi belum juga "laku".
Kisah Tommi berawal pada Warti, 27 tahun. Perempuan asal Lampung ini mencari penghidupan ke Arab Saudi. Tak jelas, berapa tahun ia berada di negeri para syekh itu. Tiba-tiba, suatu hari, ia dipulangkan ke Indonesia karena melarikan diri dari majikan Arabnya. Eh, saat pulang itu rupanya Warti tak sendiri lagi. Ada calon orok usia empat bulan yang hadir di perutnya dalam perjalanan pulang kampung itu.
Sesampai di Jakarta, Warti berupaya keras menggugurkan kandungannya. Ini dilakukannya selama dua bulan. Namun calon bayi itu terlalu tangguh untuk dirontokkan begitu saja. Warti menyerah. Ia lalu memutuskan datang ke Yayasan Ibu Suri, untuk memasrahkan diri dan kandungannya. Di sanalah, pada 1993, ia melahirkan Tommi.
Setelah selesai masa nifas, Warti kembali bekerja di Arab Saudi. Kepada Ibu Suri ia mengaku harus melakukan pekerjaan itu demi mengongkosi hidup dua anaknya yang lain di Lampung. Alhasil, sejak hari keberangkatannya ke Arab Saudi, selesai pula "hubungan resmi" Warti-Tommi. Yang menautkan ibu-anak itu hanyalah garis darah.
Selebihnya, Tommi hanya mengenal Ibu Suri dan suaminya, seorang sersan kepala marinir, sebagai "orang tua"-nya. Adapun Ibu Suri--nama lengkapnya Suryati Fatimah--adalah bidan yang mengelola Yayasan Ibu Suri. Lembaga ini menerima bayi yang "dilahirkan lalu ditinggalkan" ibundanya--karena berbagai alasan.
Siapa pun boleh mengadopsi bayi di sini. Tentu, dengan imbalan yang sudah disepakati. "Uang tebus" juga dipungut jika, misalnya, Anda terpikat "mengambil" Tommi, yang kini kelas nol besar di sebuah TK dekat yayasan, di kompleks Bumi Satria Kencana, Bekasi, sekitar 20 kilometer dari Jakarta.
Dibandingkan dengan anak-anak lain di Yayasan, Tommi termasuk mudah diatur. Ia juga sangat patuh pada jadwal. Tahu pula kewajiban rutin yang harus dikerjakan setiap hari. Setelah bangun pagi, Tommi cepat-cepat salat, mandi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah. Usai sekolah, Tommi melakukan kegiatan rutin: ganti baju, makan, tidur siang, lalu main, sebelum menyelesaikan pekerjaan rumah.
Sehabis salat asar, ia mandi lalu belajar. Sembari menanti senja turun, Tommi bercengkerama dengan sesama anak-anak penghuni Yayasan. Sebut saja Selmi, anak perempuan berusia tiga tahun. Ibu Selmi adalah istri kedua seorang penganggur di kawasan Tanjungpriok, Jakarta. Selmi juga dititipkan sejak bayi. Pernah bolak-balik diambil, hingga akhirnya benar-benar dititipkan di situ.
Si ibu memang boleh saja menyerahkan atau sekadar menitipkan bayinya. Kalau diserahkan, berarti si anak bisa diadopsi orang lain. Jika dititipkan, hanya dirawat dan tak akan diserahkan kepada siapa pun. Selama perawatan, si ibu tak dipungut biaya sepeser pun. "Pendeknya, gratis," ujar Ibu Suri. Perhitungan baru dibuat di belakang hari, tatkala ada orang yang berniat mengadopsi bayi.
Bayi perempuan rupanya lebih diminati. "Mereka cenderung memilih bayi sehat dan gemuk," tutur Ibu Suri. Kemanisan wajah akan memberi nilai lebih. Toh, tak semua orang berpikiran seperti itu. Ada yang mengambil bayi tanpa banyak cingcong, sebagaimana Soesatyo, seorang pegawai perusahaan otomotif di Jakarta. Saat ia datang akhir Juli tahun lalu, ada dua bayi: satu lelaki, satu perempuan. Tapi si upik sudah di-tek orang lain. "Ya sudah, saya spekulasi, langsung saya ambil bayi (laki-laki) itu," katanya kepada TEMPO.
Pertemuan bayi dan orang tua angkat agaknya tak bisa lepas dari soal garis nasib. Ada yang baru sekian bulan di Yayasan tapi sudah merebut hati. Yang lain tak kunjung dijemput pulang, kendati telah bertahun menanti. Seperti dialami Selmi, juga Tommi....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini