Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Mereka dalam Bidikan Dephutbun

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baron kayu paling jumawa, Mohamad "Bob" Hasan, sejak awal April lalu hanya bisa melewati hari-harinya di balik terali bui Kejaksaan Agung. Melalui PT Mapindo Parama, perusahaan miliknya, ia tersandung kasus penyelewengan dana reboisasi yang merugikan negara US$ 87 juta.

Dialah korban pertama jibaku tim antikorupsi Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun). "Calon korban" kedua bisa jadi Hutama "Tommy" Mandala Putra. Putra kesayangan Soeharto yang dianggap sebagai pembawa keberuntungan keluarga itu terbidik gara-gara pengoperasian delapan helikopter milik departemen oleh PT Gatari Hutama Air Service berbau kolusi dan mencekik kas negara. Ia memang belum diseret ke Gedung Bundar karena, "Bukti-bukti masih harus dilengkapi," kata Jaksa Agung Marzuki Darusman. Namun, teropong masih diarahkan kepadanya.

Serunya, genderang perang tim Soeripto tak cuma ditabuh untuk Bob dan Tommy. Siapa lagi "calon korban" lain yang masuk dalam daftar mereka? Setidaknya inilah beberapa nama yang disebut-sebut tim antikorupsi Dephutbun.

Prajogo Pangestu

Siapa nyana, dalam waktu 14 tahun, mantan sopir taksi Singkawang, Pontianak, ini bisa melejit menjadi salah satu bos konglomerat kayu Indonesia. Keberuntungannya dimulai pada 1969, ketika A Phen—begitu nama kecilnya—direkrut Grup Djajanti milik Burhan Uray alias Bong Sun On, yang punya hak pengusahaan hutan dan pabrik bubur kertas di Surabaya. Pada 1977, Prajogo merasa cukup menimba ilmu kayu dan meninggalkan Djajanti. Bersama dengan temannya, ia kemudian membeli PT Pacific Lumber Coy, cikal bakal grup Barito Pacific Timber yang belakangan menjadi imperium bisnisnya.

Dalam perjalanannya, pria kelahiran 13 Mei 1944 ini banyak membeli lahan HPH dari para pengusaha dan jenderal yang tak becus mengurus hutan. Hampir 500 ribu hektare konsesi HPH-nya berasal dari pembelian.

Kegigihan seekor kuda dan kecerdikan seekor monyet—tahun dan shio saat ia dilahirkan—membuat karir lelaki yang juga pernah berjualan terasi dan ikan asin ini membubung. Pada 1993, Prajogo sudah menguasai 5,5 juta hektare konsesi HPH yang terbentang dari Palembang sampai Mangole di Maluku, belum termasuk pabrik kimia, bubur kertas, dan kayu lapis. Barito pun telah melahirkan lebih dari 31 perusahaan dengan lebih dari 50 ribu karyawan. Asetnya lebih dari Rp 2 triliun.

Toh, Prajogo bukan pengusaha tanpa cacat. Kontroversi penyertaan dana PT Taspen pada 1993 ke Barito Pacific Timber, misalnya, dicurigai karena kolusi. Lalu PT Anangga Pundi Nusa di Kalimantan Timur, yang 60 persen sahamnya dikuasai Barito, dituduh masyarakat setempat mencuri kayu milik adat dan merusak tanah serta tempat-tempat keramat. Pada 1997, ketika kebakaran menghabiskan setengah hutan Kalimantan, Anangga juga salah satu tersangka yang diduga membakar lahannya untuk membuka perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan milik Barito yang menjadi bidikan Dephutbun saat ini adalah hutan tanaman indistri (HTI) milik Musi Hutan Persada (MHP), yang lahannya di Palembang saat ini diduduki masyarakat yang menuntut ganti rugi atas pembebasan tanahnya dulu. Tim investigasi Dephutbun menyimpulkan bahwa Prajogo dan Siti Hardijanti Rukmana—pemilik awal MHP bersama Inhutani I—menyelewengkan dana reboisasi (DR) dengan cara mendepositokannya di bank, bukan untuk penanaman akasia. Mereka juga dituding telah menekan Dephutbun lewat Menteri Sekretaris Negara agar dana itu turun lebih awal sebelum musim tanam.

Kepada TEMPO, Prajogo membantah tuduhan itu. Modus operandi mendepositokan dana ke bank itu, katanya, praktek lazim di kalangan pengusaha HPH. "Bagaimana cara kami membayar tunggakan kalau uangnya tidak didepositokan? Waktu itu pinjaman luar negeri tidak dibolehkan." Toh, uang itu, katanya, tidak ditaruh di rekening pribadi. Selain untuk membayar tunggakan, bunga depositonya juga dipakai untuk menutup biaya operasional pabrik bubur kertas Tanjungenim Lestari (TEL) selama belum panen.

Dana reboisasi yang diterimanya pada 1992 itu seharusnya—jika memperhitungkan lima tahun masa panen akasia—sudah dikembalikan Barito ke pemerintah pada 1997, tapi Prajogo punya penjelasan. Barito baru menggunakan dana itu pada 1995 karena baru saat itulah mereka mendapatkan lahan. Jadi, dalam perhitungannya, baru tahun 2000 inilah mereka panen perdana.

Barito masih tetap nunggak karena dua hal. Pertama, krisis moneter menyebabkan penyelesaian pabrik TEL tertunda. Panen pun ikut molor. Kedua, sarana pengangkutan hasil panen ke pabrik belum tersedia. Dana pembangunan sarana ini paling sedikit US$ 30 juta, sehingga pembayaran dana reboisasi pun tak dilakukan dulu. Prajogo sudah meminta penundaan pembayaran utang kepada Dephutbun, tetapi belum mendapat persetujuan. "Saya yakin, Dephutbun mengerti kondisi dan alasan kami," katanya.

Hashim Djojohadikusumo

Jaringan bisnis putra bungsu begawan ekonomi Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan adik kandung mantan Danjen Kopassus Prabowo Subiyanto ini sangat luas dan beragam. Usaha perdagangan internasional, perbankan, industri petrokimia, listrik swasta, sampai tambang batu bara, tekstil, agrobisnis, dan semen dikuasai PT Tirtamas Majutama miliknya.

Pria yang menghabiskan masa mudanya di luar negeri ini menjadi target Dephutbun karena ada indikasi kolusi dan korupsi dalam penggunaan kawasan hutan yang didapat PT Semen Cibinong (SC) miliknya dengan prosedur pinjam pakai. Pada 1996, atas persetujuan menteri, SC diizinkan menggunakan kawasan hutan seluas 500 hektare asal menyediakan tanah kompensasi seluas 1.000 hektare. Peninjauan di lapangan oleh Dephutbun menemukan bahwa tanah kompensasi tersebut belum diserahkan SC padahal batas waktu penyelesaian tukar guling sudah habis.

Ketika dikonfirmasi TEMPO, Hashim ternyata masih berada di Kazakhstan. Tapi, menurut Manajer Umum SC, Jannus Hutapea, SC sudah menyediakan lahan pengganti dengan luas total 939 hektare di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blitar. Pada 1998, lahan tersebut sudah diserahterimakan ke PT Perhutani. Bukan cuma itu, SC juga membayar Rp 2,6 miliar kepada Perhutani untuk mengganti biaya reboisasi. Persoalannya, menurut Janus, Dephutbun sampai sekarang belum menyetujui penandatanganan berita acara serah-terima itu, meski lahan pengganti yang disediakan SC sudah direboisasi Perhutani sejak akhir 1999.

Grup Salim

Masuknya keluarga Salim—yang kini dikomandoi Anthony Salim sebagai presiden direktur—ke sektor kehutanan (HPH, HTI, dan ekoturisme) seiring dengan keinginan kelompok ini mendirikan industri terpadu dari hulu sampai hilir. Indofood, misalnya, tentu membutuhkan banyak pasokan minyak kelapa sawit, yang lebih menguntungkan jika dipasok dari kebun sendiri.

Bagi Dephutbun, Grup Salim berdosa karena empat anak perusahaannya melakukan pelanggaran tukar guling hutan untuk areal industri dan pariwisata. Penggantian tanah kompensasi yang seharusnya dilakukan dalam rasio 1:2 dikerutkan menjadi 1:1. Sampai tenggat yang ditentukan pun, tanah yang terbagi di berbagai lokasi itu entah baru tersedia sebagian atau malah belum ada sama sekali.

Tukar guling bukan satu-satunya cacat Grup Salim dalam urusan bisnis hutan dan kebun. Penyulapan hutan lindung dan suaka margasatwa Angke menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk, yang menyebabkan jalan tol ke bandara Soekarno-Hatta banjir setiap tahun itu, juga ulah mereka. Di Kalimantan dan Sumatra, anak-anak perusahaan Grup Salim juga disinyalir membakar hutan sembarangan, tak memberi ganti rugi layak kepada rakyat yang tanahnya diambil, dan menunggak dana reboisasi.

Probosutedjo

Adik tiri Soeharto ini dulu seorang guru, tapi kemudian "membelot" menjadi pengusaha. Merintis usaha sejak 1964, Probo tergolong pengusaha konglomerat Indonesia. Nama Mertju Buana, perusahaan distributor cengkehnya, akhirnya juga menjadi trade mark pria penggemar olahraga ini. Nama yang sama dipakainya untuk universitas dan klub sepak bola yang didirikannya. Kini, jumlah perusahaannya telah beranak pinak dan jenis usahanya beragam, mulai dari peternakan ayam, keagenan mobil, sampai pabrik gelas.

Pria kelahiran 70 tahun lalu yang kini duduk di DPR sebagai wakil Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia ini masuk daftar hitam Dephutbun lantaran salah satu anak perusahaannya—PT Menara Hutan Buana (MHB) di Kalimantan Selatan—diduga menyelewengkan dana reboisasi lebih dari Rp 144 miliar. Buku putih Dephutbun mensinyalir adanya intervensi Presiden dan Sekretaris Negara ketika itu dan MHB pun diduga membengkakkan data realisasi tanaman supaya jumlah dana reboisasi yang dikucurkan lebih besar.

Ibrahim Risjad

Kesupelan Ibrahim Risjad di tengah pelaku bisnis dan politik di Indonesia sudah menjadi cap dagangnya. Bahkan, Liem Sioe Liong, pemilik 200-an perusahaan yang menguasai hampir segala lini industri itu, adalah rekan permainannya sejak muda. Bersama dengan Sudwikatmono dan Djuhar Sutanto, mereka pernah mendirikan PT Waringin Kencana, yang mengurusi ekspor-impor komoditi hasil bumi. Belakangan, Ibrahim juga sempat menduduki posisi empuk di Bogasari dan Indocement, dua perusahaan Liem yang terbesar.

Pria yang tinggal di kawasan mewah Pondokindah, Jakarta Selatan, ini juga dekat dengan banyak menteri. Menurut George Aditjondro, peneliti yang pernah membongkar kekayaan Soeharto dan keluarga, Ibrahim sering bertandang ke rumah mantan Menperindag Hartono untuk melicinkan proyek-proyeknya.

Menurut George pula, Ibrahim sering melengketkan nama anak buah dalam daftar komisaris di perusahaannya. Trik catut nama ini digunakannya untuk mendirikan pabrik baru dan mencari utang ke bank-bank milik sendiri supaya ia bisa dengan mudah menjadi personal guarantee.

Ibrahim bisa kena sodok seandainya tim Soeripto dan Kejaksaan Agung bisa membuktikan bahwa PT Aceh Nusa Indrapuri miliknya telah menyelewengkan dana reboisasi Rp 85 miliar untuk HPH seluas 111 ribu hektare di Aceh. Diduga, uang itu digunakannya untuk membeli ruangan di gedung Menara Batavia. Dosanya yang lain: menggelembungkan biaya pembangunan HTI.

Keluarga Cendana

Sidik jari anak dan cucu Soeharto sepertinya tercetak di mana-mana, paling tidak di setiap bisnis yang berpotensi mendatangkan duit. Jadi, bukan kejutan besar kalau mereka juga dikenal sebagai pemain dalam bisnis perhutanan. Cuma, buku putih Dephutbun tak mencatat mereka sebagai pemain yang bersih. Selain Tommy dengan kasus Gatari, kakak-kakaknya pun punya nilai buruk masing-masing. Karena ikut memiliki perusahaan bersama Prajogo, Siti Hardijanti "Tutut" Rukmana terseret dalam kasus penyelewengan dana reboisasi oleh PT Musi Hutan Persada. Bambang Trihatmodjo, bos Grup Bimantara, tersandung kasus tukar guling oleh PT Bukit Jonggol Asri, perusahaan realestatnya di Bogor. Ia juga masih punya PT Bali Turtle Island Development, yang diduga kuat melakukan penebangan di luar area yang diizinkan. Siti Hediati "Titik" Prabowo kena jegal melalui penghentian budi daya mutiara di Taman Nasional Komodo, Nusatenggara Barat, oleh PT Kima Surya Lestari, perusahaan pariwisata alam miliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus