Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kejauhan, lanskap salah satu sudut di Tanjung Uma, Batam, itu sungguh tak sedap dipandang mata. Ratusan rumah yang terbuat dari papan seadanya, dengan atap seng rombengan, bertebaran memenuhi salah satu sudut lahan. Kesan tak beraturan kian kental dengan masih mangkrak-nya berbagai sarana. Saluran air belum sempurna, dan jaringan jalan terputus di sana-sini.
Melangkah ke arah kawasan Bukit Permata, yang tampak memang sebuah kompleks perumahan mewah. Namun citra kumuh tak juga lenyap. Tentu bukan dari kompleks itu, melainkan dari sebuah lahan lapangan bekas area pelelangan mobil yang lokasinya tak jauh dari Bukit Permata.
Di bagian ini tampak beberapa kendaraan tua yang tak laku dijual. Sebuah crane, truk sampah putih, dan beberapa kendaraan ukuran menengah. Di atas atap seng tertulis: Asian Auction. ”Dulu Otorita Batam menjanjikan membangun perumahan di kawasan ini, tapi sampai kini tak terlihat,” ujar seorang warga setempat.
Kawasan Tanjung Uma saat ini seperti anomali bagi Batam. Ia seperti sisi yang berlawanan dari kawasan Nagoya Center yang gemerlap. Begitu juga dengan Batam Center, 12 kilometer ke arah tenggara, yang segera menyusul Nagoya. Padahal Tanjung Uma sudah lama—sejak 1988—masuk ke proyeksi Otorita Batam untuk dijadikan kawasan yang sejajar dengan dua tempat tersebut.
”Tadinya Tanjung Uma akan dikembangkan menjadi kawasan bisnis terintegrasi,” kata Inspektur Bidang Teknik Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Rusliden Hutagaol. Menurut Rusliden, karena lokasinya berdekatan dengan Nagoya, pembangunan Tanjung Uma menjadi penting.
Apalagi area ini memiliki pantai yang langsung berhadapan dengan Singapura. Bahkan pelabuhan ini berpotensi disinggahi kapal bertonase besar karena termasuk pantai berair dalam. Pendeknya, dengan segala kelebihan itu, Tanjung Uma diangankan bakal menjadi kawasan bisnis dan industri terdepan.
Angan-angan itu rupanya ”didengar” oleh Harry R. Soedarsono, pendiri dan Direktur PT Ekamas Mandiri Perkasa. Harry mengakui mendengar soal Tanjung Uma itu dari ayahnya, Soedarsono Darmosoewito (sudah meninggal), yang pada saat itu menjadi Ketua Dewan Penasihat Otorita Batam.
Menurut Harry, ayahnya bercerita ada masalah di Tanjung Uma, yakni mandeknya pembangunan infrastruktur yang ditangani beberapa pengembang pada 1988, salah satunya Bumimas. ”Karena unsur kedekatan, sangat logis saya menjadi orang pertama yang tahu masalah itu. Maka langsung saja saya terjun ke Tanjung Uma,” ujar dia (lihat Saya Sudah Kerjakan Semua Kewajiban).
Ekamas akhirnya benar-benar masuk menggarap Tanjung Uma pada 1996. Namun bukan Harry yang langsung menangani Tanjung Uma. Kendaraan yang digunakan Harry adalah Repindo Trisakti Mas, milik pengusaha lokal Eddy Hussy. Maka ditekenlah dokumen perjanjian kerja sama pada 18 April 1996 oleh B.J. Habibie, Ketua Otorita Batam (saat itu), dan Eddy Hussy.
”Harry memang menggandeng saya untuk mengerjakan proyek ini,” kata Eddy. Hal itu diiyakan Harry, yang menyatakan Repindo atau Ekamas orang-orangnya sama saja. Pada waktu itu, kata Harry, Repindo dan Eka Mas lalu ”melebur” untuk meningkatkan kinerja. Harry sendiri menjadi komisaris di Repindo dan direktur di Ekamas.
Namun, sebelum menggarap Tanjung Uma, Harry mengajukan syarat, yaitu pihaknya diizinkan merevisi rencana induk yang semula sudah disusun Otorita Batam. Salah satunya adalah mengurangi lahan hijau karena tak cocok untuk lingkungan industri. ”Perubahan itu disetujui Otorita,” kata dia.
Tentu saja bukan soal yang sulit bagi Ekamas. Ayah Harry adalah Ketua Dewan Penasihat Dewan Otorita Batam, yang juga suami Sri Redjeki, adik B.J. Habibie yang ketika itu menjadi Ketua Otorita. ”Suasananya memang kental dengan nepotisme,” kata sumber Tempo di Otorita. Rusliden membantah pernyataan tersebut.
Model pengembangan Tanjung Uma memang berbeda dengan Batam Center—yang ditangani sendiri oleh Otorita Batam. Di Tanjung Uma, Otorita menggandeng pihak kedua, Ekamas, sebagai land developer. Pihak kedua wajib menanam modal untuk mematangkan lahan dan membangun infrastruktur.
Barulah setelah itu Otorita sebagai pemilik lahan akan mengkapling-kapling kawasan itu bagi investor. Dari mereka Otorita mengutip uang wajib tahunan otorita (UWTO). Investor juga wajib membayar Ekamas untuk infrastruktur yang sudah dibangun.
Investor akan diuntungkan karena mendapatkan lahan matang yang sudah siap bangun. Menurut Rusliden, ini akan menjadi semacam proyek percontohan bagi pengembangan Batam selanjutnya. ”Pola kerja sama ini mestinya jempolan jika semua berjalan lancar,” ujar Rusliden.
Demikianlah, proyek Tanjung Uma mulai digulirkan kembali. Husein Akbar, 47 tahun, seorang warga setempat, mengaku pada 1996 memang terlihat sejumlah kendaraan berat bekerja meratakan tanah. Tetapi, setelah satu dekade lewat, Tanjung Uma ternyata masih mangkrak. Lahan matang belum siap seluruhnya. Pembangunan infrastruktur pun tak banyak kemajuan.
Akibatnya, sederet kerugian mesti ditanggung. Otorita rugi karena sejumlah investor yang sudah menegaskan komitmennya memilih mundur. ”Ada sekitar 10 investor yang mundur,” ujar Rusliden. Tapi ia enggan menyebut namanya. Beberapa perusahaan lagi enggan masuk dengan alasan serupa.
Belakangan, Ekamas akhirnya langsung menangani Tanjung Uma ketika proyek ini ngadat, Ekamas terang-terangan disebut sebagai pihak yang mengambil alih Repindo pada 2003. Pada waktu itu Direktur Utama PT Ekamas adalah Cosmas Batubara. ”Hanya, yang tahu persoalan day to day, ya, Saudara Harry. Anda bicara saja dengan dia,” kata Cosmas.
Pengolahan lahan memang berlangsung tersendat dari waktu ke waktu. Untuk mengatasinya, bahkan pernah dilakukan addendum (perbaikan/perubahan) terhadap akta perjanjian pada September 2003.
Sebelumnya, pada September 1996, juga sudah ada addendum, yang menyangkut penghapusan/pengubahan beberapa pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan serta penyerahan kapling. Juga ada soal denda atas keterlambatan penyerahan lahan dari pihak kedua kepada pihak pertama (lihat Tanjung Uma Bagai 10 Tahun Silam).
Berdasar akta perjanjian 1996, kewajiban Repindo adalah mengembangkan dan membangun infrastruktur. Mereka juga mesti menyiapkan lahan siap bangun. Pembangunan Kampung Nelayan beserta infrastrukturnya juga menjadi kewajiban Repindo. Tetapi, seperti disebut menurut Rusliden, proses pembangunan berjalan lambat.
Rencana pembangunan rumah-rumah untuk penduduk yang tanahnya dibebaskan, kata dia, juga tidak terealisasi. Akhirnya warga satu per satu menyatakan mundur dari perjanjian. Sebagian yang lain meminta uang ganti tanah yang tinggi. Tuntutan itu tak bisa dipenuhi PT Ekamas. Sejak 2001 proyek praktis berhenti.
Saat itulah perselisihan antara Otorita dan Harry mengemuka. Harry menilai Otorita yang bertanggung jawab atas uang ganti pembebasan tanah. Sebaliknya Otorita menyesalkan Repindo yang sejak awal tidak menuntaskan pembangunan proyek tersebut.
Kevakuman itu berlangsung hingga 2003, sampai Ekamas secara resmi masuk menggantikan Repindo. Hal ini tercantum dalam addendum kedua perjanjian kerja sama. Menurut dokumen tersebut, kewajiban pihak kedua adalah menyiapkan lahan siap bangun dan infrastruktur (prasarana) di kawasan seluas 361 hektare. Prasarana yang dimaksud adalah jalan, parit, trotoar, taman, dan sebagainya.
Selain itu Ekamas juga wajib mengerjakan pembuatan rencana induk, pembangunan batu miring, dan pembangunan Kampung Nelayan plus fasilitas penunjangnya. Ekamas juga ditambahi kewajiban melakukan pembebasan lahan.
Semua itu mesti diselesaikan Ekamas dalam jangka waktu tiga tahun sejak akta perjanjian diteken pada 10 September 2003. Ketika ditandatangani, lahan di area I seluas 218 hektare, masih ada sekitar 100 hektare yang belum dibebaskan. Sementara area II seluas 143 hektare sama sekali belum dibebaskan. Area I harus siap dalam waktu 18 bulan sejak perjanjian diteken. Sedangkan area II akan diatur lebih lanjut.
Tetapi skenario di atas ternyata juga mentah di lapangan. Proses pembangunan berjalan tersendat. Meski demikian Ekamas mengaku sempat memotong bukit di kawasan itu dan tanahnya diurukkan ke kawasan pantai yang berada di area II.
Setelah masa perjanjian selesai pada September 2006, Ekamas tak mampu menyelesaikan kewajiban. Dalam perhitungan Otorita, Eka Mas hanya mampu menyelesaikan 40 persen pembangunan lahan. ”Tetapi menurut perhitungan kami sudah selesai 70 persen,” ujar Harry.
Penelusuran Tempo di lapangan menemukan kondisi Tanjung Uma masih memprihatinkan. Jalanan aspal yang dibangun sejak 1997 terlihat gripis dan tak pernah menyentuh pelabuhan. Jalanan yang membelah Bukit Tanjung Uma itu tak pernah rampung. Di banyak bagian terlihat melesak, melengkung, dan retak-retak. Sisanya hanya jalanan tanah yang menghubungkan antar kampung. Menurut Husein, keadaan semacam sudah berlangsung sejak tahun 2000.
Tidak hanya jaringan jalan, kawasan pelabuhan masih berantakan. Jika hujan turun, sampah dari kota seperti plastik bekas, kardus, dan kayu lapuk banyak tersangkut di tiang penyangga rumah panggung. Ini masih diperburuk dengan endapan lumpur hitam pekat. ”Sistem irigasi kawasan Tanjung Uma masih kacau,” kata Husein.
Wajah Tanjung Uma secara umum tak menampilkan sama sekali citra sebuah kawasan yang molek untuk pengembangan bisnis. Bahkan ditambah dengan menjamurnya rumah liar yang menutupi area berkontur perbukitan, Tanjung Uma bagai gadis berwajah bopeng. Tentu saja itu membuat para investor tak tertarik.
Salah satunya adalah PT Tanjung Pantun. Menurut Ahmad Arifin, Human Resources & General Affairs Tanjung Pantun, perusahaannya memang pernah berencana ikut andil membangun Tanjung Uma. Mereka tertarik dengan konsep jangka panjang kawasan terpadu itu. Tetapi hingga kini mereka hanya berhenti pada rasa tertarik. Salah satu alasan keraguan mereka adalah adanya ketidakjelasan status lahan yang ada. ”Masih ada konflik antara Otorita Batam dan Ekamas,” kata dia.
Sebaliknya Harry menegaskan bahwa alokasi lahan di area I sudah habis diminati investor. ”Ada 30-40 investor di sana,” kata dia. Namun, berdasar data yang diperoleh Tempo, sekurangnya kelompok Ekamas menguasai 19 kapling dari 33 yang dibagikan.
Memang, berdasar perjanjian, untuk lahan yang tidak laku, Ekamas berhak menguasai dan membayar UWTO-nya kepada Otorita. ”Tapi kami cuma menguasai empat kapling dengan luas sekitar delapan hektare,” ujar Harry. Tanah yang ia kuasai itu pun, menurut dia, akan ia matangkan untuk ditawarkan ke investor lain. ”Saya ini kan land estate, bukan calo tanah.”
Sedangkan mengenai rendahnya mutu prasarana, Harry mengaku telah membikin jalan sesuai dengan standar yang ditetapkan Otorita. Jalan itu terutama ada di kawasan Bukit Permata. Sedangkan jalan di luar area itu juga ia bangun dengan kualitas sama, tetapi rusak karena tiap hari dilalui kendaraan proyek. Mengenai belum semua jaringan jalan dibangun, kata Harry, hal itu karena terhambat pembebasan lahan.
Tersendatnya pembangunan Tanjung Uma ini sebenarnya sempat memancing Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun tangan pada 2003. Baik Rusliden maupun Harry mengakui keterlibatan BPKP tersebut. Menurut Harry lembaga itu turun karena kerja sama antara Otorita dan PT Ekamas pada saat itu dalam keadaan dibekukan. Saat itu BPKP melihat tak ada pemasukan ke Otorita. ”Padahal pada 2001 Otorita sudah mengalokasikan lahan kepada investor sehingga mestinya sudah mengantongi penghasilan UWTO dari lahan 350 hektare itu,” tuturnya.
Sebaliknya menurut Rusliden, BPKP menyalahkan Ekamas karena tak adanya pemasukan itu. ”Perjanjian kerja sama ini telah merugikan negara,” ujar Rusliden mengutip pejabat BPKP waktu itu (baca Semua Pihak Merugi). Alasannya, proses pembangunan Tanjung Uma macet, semua pihak jadi merugi. Khusus bagi Otorita Batam, mereka tidak dapat UWTO dan pemerintah tidak menerima pajak. ”Oleh BPKP kasus ini diselesaikan dengan me-review perjanjian yang akhirnya jadi addendum kedua itu.”
Tempo beberapa kali berusaha menghubungi Kepala Dinas BPKP Provinsi Riau, namun hingga tulisan ini diturunkan belum berhasil.
Tidak sempurnanya pembangunan infrastruktur akhirnya menyulut perselisihan antara Ekamas dan investor. Hal ini dibenarkan Rusliden, yang kerap menjadi mediator. Dia menyebut contoh kasus PT Cahaya Dinamika yang merasa tidak puas dengan kualitas prasarana yang dibangun Ekamas. ”Dengan harga US$ 26 per meter persegi, mereka melihat kualitasnya di bawah itu,” ujar Rusliden.
Ketika dimintai konfirmasi, Wibisono, Direktur Utama PT Cahaya Dinamika, mengakui mendapat alokasi lahan seluas 15 hektare di Tanjung Uma. Lahan tersebut menurut rencana akan mereka kembangkan menjadi kawasan city-walk. ”Nanti akan ada rumah sakit, apartemen, dan lain-lain,” ujar dia.
Tetapi rencana itu mandek karena terganjal ”uang infrastruktur” yang mereka anggap terlalu mahal. Menurut Wibisono, harga pasar pembangunan prasarana di sana hanya US$ 6 per meter persegi. Lagipula mereka tak ingin mengulangi pengalaman buruk mendapatkan infrastruktur dengan kualitas rendah.
Sebelumnya, Cahaya Dinamika sudah membangun DC Mall, di Tanjung Uma area 1. Pada saat itu kualitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan PT Ekamas mereka anggap rendah sehingga harus dibongkar dan dibangun ulang. ”Saya terpaksa kerja dua kali,” katanya. Biayanya pun membengkak dua kali lipat. Tapi Wibisono enggan menyebutnya.
Menurut Harry, harga yang ia minta sudah sesuai dengan akta perjanjian pada 1996. Seharusnya, dia meneruskan, Cahaya Dinamika tahu bahwa lahan yang mereka miliki dulunya berupa perbukitan. ”Dan Ekamaslah yang meratakannya,” ujar Harry. Sehingga wajar Cahaya Dinamika mesti ikut menanggung (sharing) biaya. ”Karena mereka yang akan menikmati infrastruktur yang sudah dibangun Ekamas.”
Kini, kedua belah pihak masih terus melakukan negosiasi untuk mencari jalan keluar.
Persoalan di Tanjung Uma ini akan menjadi batu uji bagi pengembangan Pulau Batam seterusnya. Apalagi pada 2006 ini pemerintah telah menetapkan kawasan ini sebagai zona ekonomi khusus bersama Bintan dan Karimun. Dengan penetapan itu, diharapkan Batam dan kawan-kawan mampu menyusul kisah sukses Singapura sebagai pusat bisnis Asia Tenggara.
Menurut Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah, dengan penetapan status tersebut, ketiga kawasan itu akan menerima sejumlah fasilitas, antara lain di bidang perpajakan. Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan payung hukumnya, seperti pemberlakuan Perpu No 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Ismet, yang juga pernah menjadi Ketua Otorita Batam, yakin bahwa kasus Tanjung Uma tak akan mempengaruhi pembangunan Batam secara keseluruhan.” Menurut saya, tidaklah. Karena di luar Tanjung Uma pembangunan terus berjalan di Batam,” ujar dia optimistis.
Tetapi Rusliden tetap khawatir, investor bukannya datang ke Batam, melainkan malah kabur mencari tempat lain. Apalagi masalah Tanjung Uma tampaknya tak akan beres dalam waktu dekat. Kendati sudah habis masa konsesinya pada September lalu, Harry masih belum bersedia menyerahkan kembali Tanjung Uma ke Otorita. Dia mengaku masih merugi. ”Saya sudah keluar Rp 70 miliar,” katanya.
Otorita Batam rupanya masih punya segudang kesabaran dalam menangani proyek Tanjung Uma. Mestinya, kegagalan Repindo dan Ekamas mewujudkan Tanjung Uma sebagai kawasan bisnis terintegrasi dalam waktu 10 tahun menunjukkan bahwa perusahaan itu memang tidak layak mendapatkan kesempatan kedua atau ketiga. Sekali lagi, nuansa nepotisme dalam proyek ini agaknya masih sangat kental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo