Malam itu Pulau Pangempa terang-benderang. Musik dangdut menggetarkan daratannya
yang hanya seluas tiga hektare itu. Di sekitar Padilla Cottage?satu-satunya bangunan di situ?ratusan penonton bergoyang, sebagian duduk di pasir pantai Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, di bawah langit berbintang.
Ada pesta di situ. Tom Kenneth, seorang pelancong asal Denmark, merayakan ulang tahunnya yang ke-43, bersama dengan penduduk lokal. Daging dua ekor sapi, satu kambing, dan puluhan ayam didatangkannya dari Ampena di daratan Sulawesi?delapan jam perjalanan menuju Pangempa dengan perahu kayu.
Pemilik restoran dari Kopenhagen itu juga menghadirkan kelompok musik Wakai dari pulau sebelahnya, Batudaka. Dia mengundang ratusan warga dari pulau-pulau lain di Kepulauan Togean itu, yang rela datang dengan perahu kayu. Pesta yang sederhana tapi meriah.
Togean. Dalam dua tahun terakhir ini, nama kepulauan yang perawan ini mencuat ke tataran internasional. Turis berdatangan. Dan besar kemungkinan bakal menjadi salah satu tujuan wisata-laut populer di masa depan.
British Airways, maskapai penerbangan Inggris, awal tahun ini memberi kepulauan itu penghargaan bergengsi: Tourism for Tomorrow Awards 1998. Penghargaan untuk kawasan-kawasan wisata lingkungan (ecotourism) itu memasukkan Togean dalam kategori tujuan wisata yang "sangat direkomendasi" di kawasan Asia-Pasifik.
Kepulauan cantik di Kabupaten Poso ini terdiri atas 25 pulau besar dan 31 pulau kecil. Seluruhnya meliputi kawasan seluas 775 kilometer persegi. Sekitar 27.000 penduduknya, yang bermukim di 37 desa, memberikan kekayaan seni dan peri hidup etnis: Bobongko, Togean, Suluan, dan Bajau.
Bajau, khususnya, merupakan kelompok masyarakat yang khas. Mereka hidup, besar, dan bekerja di laut. Jika meninggal, mereka dikubur di daratan yang sepi dari kunjungan manusia.
Kepulauan ini terbentuk dari aktivitas vulkano. Salah satu gunung di situ, Colo, meletus pada 1983 setelah 85 tahun pasif. Kepulauan itu ditutupi oleh hutan tropis yang menggoda dan dikelilingi oleh terumbu karang yang kuno, terdiri atas ratusan spesies. Merupakan kawasan perbatasan Asia Daratan dan Australia, baik ekosistem darat maupun lautnya dipenuhi dengan satwa alam yang unik dan eksotis?sebagian besar merupakan satwa langka yang dilindungi. Togean adalah rumah bagi 73 persen burung dan mamalia yang ada di provinsi itu.
Oleh pemerintah daerah setempat, Togean ditetapkan menjadi taman wisata laut sejak 1990. Dan tahun lalu, Gubernur Sulawesi Tengah Bandjela Paliudju menabuh gong Let's Go Central Sulawesi?sebuah program kampanye wisata?di kepulauan itu.
Lonely Planet, salah satu situs panduan wisata terkemuka di internet, punya pepujian yang berbunga untuk kepulauan itu: "Kepulauan yang terdiri atas pulau karang dan vulkanik di tengah Teluk Tomini itu adalah paduan warna biru, emas, dan hijau. Hutan yang aman menjadi suaka bagi beragam satwa, terumbu karang di sekeliling pulau-pulau mendukung kehidupan laut yang kaya, beberapa kelompok etnis yang menghidupi tempat ini sangat luar biasa ramah."
Namun karang yang perawan itu kini terancam oleh pencarian ikan dengan bom rakitan dan racun sianida yang dilakukan nelayan setempat atas bujukan eksportir ikan. Keragaman hayati hutan terancam kesehatannya oleh pembukaan perkebunan sawit dan penebangan kayu.
Paduan tiga hal?keserakahan, ketidaktahuan, dan kemiskinan?mengancam "surga yang baru ditemukan" ini. Penduduk asli Togean hidup sebagai petani dan nelayan tradisional. Dan mereka menjadi sasaran empuk dari praktek bisnis pendatang?pengusaha dari Manado dan pengusaha Tionghoa.
Para aktivis lingkungan menuding para pengusaha eksportir ikan memberikan fasilitas kepada nelayan miskin untuk mencari ikan dengan cara membahayakan lingkungan: membuat bom rakitan dan sianida. Bahan baku bom itu?pupuk urea berkandungan nitrogen tinggi?bukan produksi dalam negeri, melainkan harus diimpor dari Malaysia atau Singapura. Potasium sianida juga hanya bisa dibeli di apotek di kota besar.
Tak hanya membahayakan hidup para nelayan sendiri?yang memperoleh imbalan kecil?praktek itu juga merusak terumbu karang dengan dua cara. Yang pertama, secara langsung: ledakan dan racun itu membunuh spesies karang. Yang kedua, "ikan" bintang (crown of thorns starfish), yang dikenal sebagai perusak karang, berbiak dengan subur akibat hilangnya predator alami mereka: ikan napoleon dan triton, yang secara besar-besaran diangkut menuju restoran-restoran di Hong Kong.
Setiap bintang akan menutupi permukaan karang seluas 50 sentimeter persegi dan mencegah pertumbuhannya. Dan mereka berbiak sangat cepat: bisa menghasilkan 1.500 telur sehari.
Kepala Kepolisian Sektor Una-Una, Ridwan Hamid, mengeluhkan kemampuan polisi mengawasi Kepulauan Togean dari ulah perusak lingkungan yang berperahu motor. Dalam satu kecamatannya saja, 8 orang polisi harus mengawasi 21 desa, termasuk wilayah perairannya. Dan lagi, mereka tak punya perahu.
Kalaupun punya perahu, belum tentu mereka berani menindak. Tommy Lantang, Direktur International Marine Alliances (IMA), sebuah lembaga swadaya masyarakat, menuding oknum ABRI dan komandan rayon militer ikut terlibat dalam penangkapan ikan yang merusak lingkungan itu.
Itu baru sebagian soal. Beberapa satwa laut yang langka dan dilindungi juga menjadi sasaran langsung perburuan. Ikan maming, misalnya, yang menjadi buruan pengusaha ikan. Atau ketam kenari yang menjadi menu resmi Restoran Togean (bersyukur restoran itu ditutup tiga bulan lalu).
Yang tak kurang dramatisnya adalah kerusakan di daratan pulau. Pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan menggunduli hutannya. Kayu meranti hutan itu adalah salah satu primadona ekspor.
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sulawesi Tengah belum lama ini dituding memberikan izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada PT Umekah Makmur, seluas 64.400 hektare, lengkap dengan lampiran rekomendasi Gubernur Sulawesi Tengah tertanggal 22 April 1997. Padahal, luas daratan kepulauan itu hanya 72 ribu hektare.
Juga izin pembukaan perkebunan untuk PT Adyaputra Agronusa. Perkebunan kelapa sawit juga meluas, tak hanya menyempitkan hutan, tapi juga memperkecil cadangan air tawar bagi penduduk lokal.
Perusakan sosial juga tengah terjadi. Sebuah lembaga swadaya masyarakat kini berencana memindahkan suku Bajau dari laut ke daratan. Mereka mengatakan tak rela suku itu menjadi obyek tontonan, dan berniat "memasyarakatkan"-nya.
Aktivis lingkungan lain menilai, cara itu hanya kedok. Suku Bajau dibuatkan kampung dekat hutan untuk menjadi buruh murah perkebunan dan pembabat hutan.
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution termasuk yang tidak setuju dengan rencana itu. "Bila ingin membantu suku Bajau, bukan begitu caranya. Berikan bantuan tanpa harus mengubah kultur dan kebiasaan hidup mereka. Mereka punya kebudayaan air yang khas," katanya.
Muslimin khawatir, suku Bajau bisa punah karenanya, seperti yang terjadi pada suku Bajau di Mentawai. "Indonesia bisa disebut sebagai bangsa yang tidak berperikemanusiaan karena memusnahkan salah satu sukunya."
Kerusakan Togean, meski belum parah, sudah mulai terjadi. Tampaknya diperlukan langkah yang lebih nyata. Menteri Muslimin sendiri, yang menilai Kepulauan Togean punya prioritas tinggi untuk diusulkan sebagai kawasan taman wisata alam, belum mengukuhkannya sebagai kawasan konservasi.
Bappenas juga telah memasukkan Kepulauan Togean sebagai bagian dari Program Aksi Pelestarian Keragaman Hayati. Namun peluang penjarahan hutan terbuka luas. Dalam konsep tata ruang Bappeda Sulawesi Tengah, dari daratan Togean seluas 72 ribu hektare, hanya 10 ribu hektare yang masuk areal hutan lindung.
Bagaimana nasib Togean masa depan? Gubernur Sulawesi Tengah Bandjela Paliudju sendiri mengakui "kesalahan"-nya: mengeluarkan rekomendasi perusahaan perkebunan dan kehutanan tanpa mengecek di lapangan. "Saya disodori rekomendasi, saya teken saja," katanya kepada TEMPO pekan silam.
Dia berjanji akan meninjau kembali izin yang sudah diturunkan kantor wilayahnya, di samping mengatur kembali secara lebih rinci kawasan itu.
Dan itu memang patut dilakukan segera. Profesor David Bellamy, ketua dewan juri penghargaan Tourism for Tomorrow Awards dari Inggris itu, sudah bersumpah menggalang kampanye internasional untuk menyelamatkan apa yang disebutnya sebagai "lokasi penyelaman terindah di dunia" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini