GEDUNG Royal Banqueting House, London, nun jauh di sana. Suara ini bergema: "Kepulauan Togean terancam rencana pembukaan hutan oleh sebuah perusahaan kayu. Dengan penghargaan ini, kami harap Presiden B.J. Habibie dan masyarakat Indonesia mendengarnya dan lalu mencegahnya."
Itulah cuplikan pidato Profesor David Bellamy, ketua dewan juri penghargaan Tourism for Tomorrow Awards, sebuah penghargaan bergengsi dalam bidang wisata alam (ecotourism) dari Inggris.
Kerisauan Bellamy itu berawal dari bisik-bisik di Kota Palu, akhir Januari lalu. Subekti, koordinator Konsorsium Pengembangan Terpadu Kepulauan Togean, mendapat info mengagetkan dari seorang pejabat Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sul-Teng. Instansi itu baru saja menerima surat permohonan izin pemanfaatan kayu dari PT Umekah Makmur, lengkap dengan lampiran rekomendasi Gubernur Sul-Teng tertanggal 22 April 1997. Ia tercengang. Soalnya, permintaan Umekah semula tak tanggung-tanggung: 64.400 hektare. Artinya, jika izin itu dikabulkan, kepulauan dengan luas daratan 65 ribu hektare itu akan beralih rupa menjadi perkebunan kelapa sawit.
Konsorsium Togean geger. Mereka kontan melayangkan surat protes.
Untunglah, kepada TEMPO Gubernur Sul-Teng Bandjela Paliudju menyatakan akan meninjau kembali rekomendasi yang telah dikeluarkannya. Ia mengaku kecolongan karena kurangnya koordinasi. "Disodori permohonan rekomendasi, ya, saya teken saja," kilahnya sambil buru-buru menjelaskan ditetapkannya Togean sebagai area tertutup untuk pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Anehnya, Direktur Utama PT Umekah, Andi Rivai, malah menyatakan telah berkirim surat ke Gubernur tanggal 29 Juli 1997 lalu untuk membatalkannya. Berdasarkan survei lapangan, kawasan ini dinilai tidak laik.
Bagaimanapun, hutan di kepulauan ini selalu menerbitkan air liur pengusaha. Pepohonan komersial berbaris-baris, terutama rumpun kayu meranti, sang primadona ekspor. Lokasinya pun strategis. Para pengusaha tak perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membangun jalan. Pohon tinggal ditebas, ditarik ke pantai, lalu diangkut kapal laut. Beres. Ongkosnya murah dan jelas amat menguntungkan.
Sejarah kelam perambahan hutan di kepulauan ini menunjuk ke PT Arrow Muhammad Gobel. Perusahaan ekspor kayu gelondongan milik pengusaha kakap Rachmat Gobel ini adalah pemain tunggal di Togean. Pada 1975 mereka melahap hutan 40.000 hektare di hampir seluruh daratannya.
Semula, warga setempat yang lugu menyambut riang. Lapangan kerja baru tersedia. Ratusan penduduk direkrut menjadi karyawan atau buruh harian. Tapi Arrow menerabas rambu yang telah ditetapkan: tebang pilih. Setiap tahun, tak kurang dari 20 ribu meter kubik kayu digerogoti. Belakangan, Arrow mengalihkan hak pengelolaannya ke Grup Modern, milik taipan Samadikun Hartono, sampai akhirnya, pada 1995, Pemda Sul-Teng tak lagi memperpanjang izinnya.
Ketenangan tak lama menghampiri Togean. Perambahan episode berikut ditempuh dengan cara lain: perkebunan. Sekarang bercokol PT Adyaputra Agronusa. Pemain "baru" yang cuma bersalin rupa. Sebab, salah seorang pemiliknya, ya, Samadikun itu, selain beberapa pengusaha beken dari Jakarta seperti Sungkono Honoris, Siwie Honoris, dan Luntungan Honoris. Belakangan, menurut pihak manajemen Adyaputra, perusahaan itu telah diambil alih Letty Chandra, yang sulit dimintai konfirmasinya karena sedang sakit-sakitan.
Secara hukum, memang tak ada yang salah dengan perusahaan perkebunan karet ini. Berbagai surat izin lengkap di saku mereka, mulai dari rekomendasi Gubernur, Menteri Kehutanan, izin lokasi dari Badan Pertanahan Kabupaten Poso seluas 2.329 hektare, sampai izin pemanfaatan kayu (IPK) dari Kanwil Kehutanan Sul-Teng di atas lahan 467 hektare.
Apalagi kesempatan memang terbuka lebar. Konsep tata ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sul-Teng cuma melindungi 10.405 hektare, kurang dari seperenam luas area itu. Selebihnya, 13.580 hektare, adalah hutan produksi dan 48.100 hektare digolongkan "area penggunaan lain", yang dipersilakan "dimanfaatkan sebaik-baiknya". Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution pun mengakui daerah ini memang belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Karena itu, keberadaan Adyaputra sah-sah saja.
Maka, ancang-ancang segera diambil. Sejak sebulan lalu, perusahaan ini telah mengangkut berbagai peralatan berat untuk mulai membuka lahan. Bahkan sebelum IPK turun, pada Agustus tahun lalu, Letty telah meneken perjanjian kerja sama dengan perusahaan kayu lapis di Riau, PT Korindo Abadi Kijang. Adyaputra akan menyuplai kayu bulat meranti 30 ribu meter kubik setiap tahunnya.
Namun, di luar tetek-bengek urusan peraturan itu, perambahan hutan memang menyimpan masalah. Apalagi untuk Togean, yang tak seluas hutan Kalimantan. "Ditebang 10 hektare saja sudah sangat mengganggu ekosistem," kata Yani Subekti. Hasil berbagai penelitian yang dilakukan Konsorsium Togean jelas-jelas menunjukkan terganggunya fungsi dan keseimbangan ekosistem di sana akibat eksploitasi hutan. Menghilangnya lapisan atas tanah di kawasan bekas penebangan dan anjloknya debit air tawar di sungai dan mata air adalah contoh kasat mata. Bahkan, akibat habitatnya terusik, monyet di sana pun terpaksa beralih profesi menjadi hama kelapa potensial.
Masyarakat sendiri rupanya jengah. Ketua adat suku Babongko?salah satu suku di sana?Udin Latief, tegas-tegas menyatakan penolakannya. Sepak terjang PT Arrow di kawasan ini adalah mimpi buruk yang sulit dilupakan. "Mereka merambah hutan rakyat sampai di tepi pantai," katanya. Padahal, menurut kepercayaan mereka, hutan adalah daerah keramat, tempat tinggal para leluhur yang melindungi mereka dari kekuatan jahat. Ada pantangan membuka hutan, apalagi menebanginya.
Hari Laparota, tokoh masyarakat Taningkola, punya sikap serupa. Seingatnya, sebelum PT Arrow melahap hutan mereka, sumber air tawar di pulau itu?Sungai Kadokaan dan Sungai Bonebone?tidak pernah kering, bahkan ketika kemarau panjang sembilan bulan mendera pada 1973. Tapi, sejak wajah hutan mereka penuh bopeng akibat pembabatan hutan dan area mata air gundul, dua sungai itu pernah kering-kerontang. "Kami sampai harus mengambil air di pulau sebelah," ceritanya.
Apalagi ketika melihat akal-akalan penebangan hutan yang melibatkan sebuah LSM bernama Liuntinuvu. Lembaga ini dicurigai membonceng Gerakan Mandiri Membangun Desa yang dicanangkan Gubernur Sul-Teng. Ketuanya sendiri, Suaib Djafar, tak lain tak bukan adalah kepala Gerakan Mandiri itu. Caranya, Djafar getol membujuk Suku Bajau, yang sebenarnya "orang laut", agar mau pindah ke gunung. Sebuah alasan cantik yang akan membuat mereka dengan bebasnya melakukan pembukaan lahan. Mudah ditebak, ada motif bisnis kayu terselubung di sini.
Warga mengendus akal bulus itu. Kecurigaan timbul ketika seorang pengurus LSM itu, Darwis, datang bersama tiga orang lainnya. "Ee, ia ukur-ukur pohon palapi," kata Anton, salah seorang penduduk. Ternyata, tiga orang itu adalah staf PT Kendari Tunggal Timber, sebuah perusahaan kayu dari Sulawesi Tenggara.
Darwis juga pernah datang bersama staf PT Adyaputra. Laparota mencurigai LSM ini kongkalikong dengan perusahaan kayu untuk membabat hutan. Ia sendiri tak habis pikir, kenapa Djafar tidak memindahkan mereka ke lahan kosong yang bertebaran di kawasan itu, tapi justru membidik areal hutan yang kaya pepohonan komersial.
Kecurigaan itu tak terlalu berlebihan. Sebab, ternyata Badan Pertanahan Poso pernah menerima permohonan izin lokasi seluas 800 hektare di kawasan itu dari Djafar sendiri, dengan menggunakan sebuah perusahaan bernama PT Cahaya Perkasa. Badan Pertanahan kemudian menolaknya. Djafar menepis tudingan miring itu. Menurut dia, tujuan LSM Liuntinuvu semata-mata untuk mendongkrak kesejahteraan suku Bajau.
Gedung Royal Banqueting House, London, nun jauh di sana. Suara Bellamy kembali bergema: "Dengan senang hati saya akan turut ambil bagian dalam kampanye internasional untuk melindungi kawasan ini." Itulah Togean. Ada sebuah penghargaan, dan ada setumpuk pekerjaan rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini