Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ekor Buatan untuk Winter

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Winter. Lumba-lumba itu kehilangan seluruh ekor belakangnya pada umur tiga bulan setelah terjerat jaring kepiting nelayan di pantai Cape Canaveral. Pusat riset lumba-lumba dan paus di Harbor Branch Oceanographic Institution memutuskan menolongnya dengan cara tak biasa: membikinkan ekor buatan.

Di Okinawa, Jepang, seekor lumba-lumba bisa hidup dengan ekor buatan. Tapi Fuji hanya kehilangan sebagian ekor, sehingga ekor buatan gampang ditempelkan. Jadi, ”Tak ada lumba-lumba seperti Winter,” kata Dana Zucker, Kepala Operasi Clearwater Marine Aquarium, Florida, tempat Winter berdiam.

Matinya Bluetooth

Nokia memperkenalkan pengganti bluetooth. Namanya Wibree. Keunggulannya, ”Sepuluh kali lebih hemat energi dibanding bluetooth,” kata Bob Iannucci, Kepala Nokia Research Center, pekan lalu.

Bluetooth adalah teknologi pengirim data nirkabel jarak pendek. Saat ini sekitar 500 juta peranti—dari telepon seluler, printer, hingga laptop—yang memakai teknologi ini.

Selama lima tahun Nokia mengembangkan Wibree. Menurut Iannucci, kini pihaknya sedang menstandardisasi sistemnya hingga dapat diadaptasi oleh semua industri. Rencananya, versi komersial pertama Wibree akan tersedia pada kuartal kedua 2007.

Berumah dalam Lumpur

Inilah salah satu manfaat lumpur Porong, Sidoarjo: bahan untuk rumah. Awal bulan lalu, rumah itu ditunjukkan dalam Seminar Nasional Pemanfaatan Lumpur Porong sebagai Bahan Bangunan, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Totok Noerwasito, dosen arsitektur ITS, yang membuat rumah berukuran 3 x 3 meter itu. Rumah tersebut terbuat dari bata khusus—85 persen lumpur Porong dan 15 persen campuran semen-kapur. Meski memakai tambahan semen dan kapur, Totok menjamin biaya rumahnya lebih murah dari rumah biasa. Pasalnya, ”Bata tidak memerlukan proses pembakaran,” ujarnya.

Tambahan semen dan kapur diperlukan untuk menaklukkan lumpur Lapindo yang ukurannya sangat halus dan kandungan lempungnya lebih dari 70 persen. ”Lazimnya, untuk menjadikan bata, maksimum lempung hanya 40 persen,” ujarnya.

Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus