Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menanti Hujan Turun

El Nino sedikit nakal, musim hujan mundur sebulan.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menatap langit dan menanti hujan turun adalah hal yang tengah dilakukan Menteri Kehutanan Kaban. Dan ternyata terdengar kabar yang tak sedap dari para ahli di badan cuaca Amerika Serikat, NOAA. Pada awal bulan lalu mereka mengabarkan, El Nino telah menampakkan tanda-tanda kedatangannya di Samudra Pasifik. Sirene segera menyalak: hutan bakal terus terbakar.

Bagi Indonesia, setiap kali El Nino datang, kemarau jadi lebih panjang. Di hutan, ini berarti semak makin kerontang, kayu lebih kering, dan kebakaran gampang menggila. Kebakaran hutan hebat di Indonesia pada 1997-1998, misalnya, dituding akibat pembakar liar yang bersekutu dengan Sang Bocah.

Untunglah, hasil analisis Kelompok Kerja Prakiraan Musim Nasional (KKPMN) menunjukkan tahun ini El Nino cuma sedikit nakal. Indikator keganasan El Nino, yakni perubahan temperatur permukaan air laut di zona Nino di Pasifik, masih dalam ambang normal. Indikator lainnya, yaitu perbedaan tekanan udara antara perairan Haiti dan Darwin, Australia, juga masih di batas aman. ”Angkanya masih jauh di bawah angka saat terjadi El Nino dahsyat pada 1982-1983 dan 1997-1998,” ujar Tri Wahyu Hadi, pakar sains atmosfer Institut Teknologi Bandung.

Artinya, pengaruh El Nino kali ini cuma sedikit. Dampaknya terutama akan terasa di kawasan Indonesia bagian tengah dan timur. ”Hanya akan terjadi sedikit pergeseran musim hujan dan berkurangnya curah hujan di bulan Desember hingga Februari... bila tidak ada faktor lain,” ujar Tri Wahyu.

Masalahnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi musim hujan di Indonesia. M. Ali Mas’at, analis iklim Badan Meteorologi dan Geofisika, mengatakan perubahan iklim di Indonesia juga dipengaruhi fenomena monsun (sirkulasi angin barat dan angin timur di ekuator) hingga dipole mode Samudra Hindia.

Fenomena dipole mode mirip dengan El Nino—biasanya juga terjadi bersamaan dengan El Nino. Sementara El Nino bersumber di Pasifik, cikal bakal dipole mode berada di Samudra Hindia, di sebelah timur Benua Afrika. Bila suhu permukaan air laut di perairan tersebut lebih panas dibanding perairan di barat Pulau Sumatera, yang berarti indeks dipole mode (DMI) positif, curah hujan di bagian barat Indonesia, terutama Sumatera akan berkurang.

Dari pengamatan KKPMN sepanjang Januari-Juli 2006, indeks dipole mode cenderung negatif. Jadi, pengaruh dipole mode selemah El Nino. Pengaruh terbesar pada perubahan musim tahun ini, kata Ali, justru datang dari fenomena monsun, yang tak segarang El Nino.

Alhasil, peluang jatuh hujan di bagian barat Indonesia masih besar, walaupun curahnya akan lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut prakiraan KKPMN yang diawaki Badan Meteorologi dan Geofisika, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian, kedatangan hujan di tiap daerah akan sedikit terlambat atau sama dengan rata-rata musim hujan tahun 1971-2000, yakni pada Oktober-November. ”Curah hujan berkisar antara normal dan di bawah normal,” kata Ali. Jadi, asap pasti berlalu.

Sapto Pradityo

El Nino: Episode Bumi Tergawat

El Nino bakal berkunjung. Itu kata para ahli cuaca. Tapi hasil pengukuran terakhir suhu air laut di Samudra Pasifik menunjukkan bahwa El Nino tak bakal membawa bencana dahsyat.

Perkiraan ini melegakan. Kunjungan El Nino adalah salah satu episode paling berbahaya bagi bumi, yang mengakibatkan kekeringan dahsyat, banjir hebat, dan di belahan bumi yang lain angin puting beliung.

Pada abad lalu, ada dua kedatangan El Nino paling mengerikan: 1982-1983 dan 1997-1998. Pada 1982-1983, fenomena ini mengakibatkan bencana dengan kerugian miliaran dolar dan tak kurang dari 2.000 penduduk harus kehilangan tempat tinggal.

Pada 1997-1998, El Nino datang lebih dahsyat. Perserikatan Bangsa-Bangsa melansir, di seluruh dunia 24 ribu orang tewas, lebih dari enam juta mengungsi, dan kerugian US$ 34 miliar (Rp 306 triliun). Inilah bencana yang ditebar El Nino pada 1997.

EROPA Peningkatan suhu di Samudra Indonesia dan Pasifik memprovokasi gelombang udara sangat dingin pada Oktober 1998.

CINA Kekeringan menghancurkan 20 juta hektare lahan pertanian di utara. Di selatan, hasil panen ditenggelamkan banjir dan 230 juta orang kehilangan rumah karena banjir.

AFRIKA Lahan jagung di wilayah Sub-Sahara, Afrika, rusak berat.

INDIA, SRI LANKA, THAILAND, BANGLADESH Curah hujan yang rendah abnormal selama musim hujan mengganggu tanaman teh di India dan Sri Lanka. Hasil tebu Thailand menurun 15 persen, Bangladesh digenangi air.

INDONESIA Kemarau panjang. Kebakaran hutan hebat hingga menyebabkan asap mencekik hampir seluruh Asia Tenggara. Panen kopi turun 25 persen.

AUSTRALIA Kebakaran hutan. Kekeringan juga mengganggu produksi gandum.

PERU Banjir di Peru dan Cile. Arus hangat—5 derajat Celsius di atas normal—menyebabkan ikan haring kecil dan sardin bergerak dari pantai menuju air yang lebih dingin hingga di luar jangkauan perahu nelayan kecil Peru.

KOLOMBIA Hasil tangkapan ikan turun 20 persen.

FILIPINA Kekeringan menurunkan hasil panen 15 persen.

AMERIKA SERIKAT Wilayah di sebelah barat laut diguyur hujan di atas normal hingga 200 persen. Longsor dan banjir di California Selatan. Kebakaran di Florida. Salju turun di Las Vegas (Desember 1998).

TERUMBU KARANG Lebih dari 15 persen terumbu karang dunia rusak.

Ketika Pasifik Menghangat

El Nino adalah fenomena anomali iklim di Samudra Pasifik. Tanda awalnya berupa kemunculan ”kolam air hangat” di sepanjang garis khatulistiwa di Pasifik. Peningkatan suhu air laut itu kemudian memicu perubahan berantai pada cuaca global--dari Indonesia, Amerika Utara, Pasifik, hingga Mediterania.

El Nino dilaporkan pertama kali oleh nelayan di sepanjang pantai Ekuador dan Peru pada 1800. Fenomena ini biasanya datang di sekitar Natal. Inilah mengapa dinamai El Nino, yang dalam bahasa Spanyol berarti bayi Yesus.

Para ahli iklim yakin, kunjungan El Nino bakal lebih sering dan setiap kali makin hebat. Ini karena bumi kian panas.

NORMAL

  1. Angin timur berembus kuat, menyeret air di permukaan yang hangat menjauh dari garis pantai Amerika Selatan.
  2. Air yang lebih dingin dan kaya makanan naik ke permukaan (upwelling) di dekat pantai Amerika Selatan.
  3. Termoklin (lapisan pemisah antara air hangat dan dingin) yang kaya makanan naik mendekati permukaan di sebelah timur dan makin dalam di sebelah barat.
  4. Naiknya air dingin yang kaya makanan meluas sepanjang ekuator (khatulistiwa), sedikit menaikkan tinggi permukaan laut di sebelah barat.

Permukaan air laut yang dingin menurunkan suhu udara di atasnya, cukup untuk membentuk awan hujan yang turun hingga wilayah Pasifik Barat di dekat Indonesia.

EL NINO

  1. Angin timur melemah, bertiup tak sampai ke Pasifik Barat.
  2. Naiknya air dingin yang kaya makanan di dekat pantai Amerika Selatan menurun, mengurangi suplai makanan untuk jaring-jaring makanan.
  3. Termoklin naik di barat dan makin dalam hingga beberapa ratus meter di timur.
  4. Air hangat menyerbu ke arah timur di sepanjang ekuator. Tinggi permukaan air laut menurun di barat dan meningkat di timur.

Permukaan air laut yang hangat memanaskan udara di atasnya, menyebabkan terbentuknya awan hujan dan menyebabkan banjir di bagian barat daya Amerika dan Amerika Latin sebelah barat, sementara Indonesia dan Australia mengalami kekeringan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus