Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Siapa Ketiban Rezeki Kapal?

Negosiasi proyek pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman berjalan seret. Keluarga Habibie diduga ikut "bermain".

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROYEK itu bernama Program Induk Pengadaan Alut (alat utama) eks Jerman Timur, parchim, frosch, dan kondor, disingkat PFK. Di sini, dana ratusan juta dolar dikucurkan, termasuk untuk membeli 39 kapal perang bekas Jerman (Timur) dan untuk merawatnya sampai sekarang. Seperti pepatah ada gula ada semut, bisik-bisik mengatakan banyak "gula" tercecer dalam soal kapal Jerman tadi.

Awalnya, proposal tim pengembangan industri pertahanan keamanan, yang diketuai Menteri Negara Riset dan Teknologi Habibie, mengajukan bujet US$ 1,1 miliar. Ada versi lain yang menyebut US$ 1,2 miliar. "Berdasarkan angka itu, kita bisa mendapatkan semua prasarana untuk seluruh armada AL," kata Habibie.

Ternyata, Menteri Keuangan Mar?ie Muhammad menolak. "Ini tak masuk akal. Pinjaman dari CGI (Consultative Group on Indonesia) saja cuma US$ 4,9 miliar," sebuah sumber di Departemen Keuangan menirukan Mar?ie--seperti dikutip TEMPO edisi 11 Juni 1994. Alasan Mar?ie sederhana saja: negara sedang enggak punya duit. Tim Habibie kemudian merevisi angka dalam proposalnya menjadi US$ 600 juta.

Masih juga dianggap kegedean, angka itu kempis menjadi US$ 482,3 juta. "Itu angka minimum yang kita butuhkan," kata Habibie saat konferensi pers ketika itu. Jumlah itu termasuk 5.000 amunisi yang di dalamnya ada 1.550 misil, belum lagi peluru lainnya. Namun, Menteri Mar?ie bertahan pada plafon US$ 319 juta, yang dimasukkan ke tahun anggaran 1992/1993. Mengapa sampai ada selisih US$ 163 juta? Biaya reparasi sangat mahal. Maklum, kapal-kapal itu nongkrong hampir tiga tahun tanpa perawatan.

Tarik ulur Habibie-Mar?ie ini terjadi sampai empat kali, hingga terjadi deadlock pada Juni 1994. Dalam pelaksanaan, tim proyek kapal meminta tambahan dana. Menurut sumber TEMPO di Departemen Keuangan, "Tambahan ini tidak diinginkan Mar?ie dan sempat "ramai". Tapi, karena sewaktu di Teluk Ratai Pak Harto marah, oleh Mar?ie plafon itu ditambah," ujarnya.

Angka tersebut akhirnya naik menjadi US$ 442,8 juta. Hingga 28 September 1998, anggaran baru terpakai sekitar US$ 423, 9 juta. Angka yang juga disetujui Bappenas ini pun sudah menghemat sekitar US$ 40 juta (Rp 80 miliar dengan kurs waktu itu). Jika saja proposal Mar?ie yang US$ 319 juta disetujui, bisa dihemat fulus sekitar Rp 327 miliar.

Sejumlah pos anggaran pun disusutkan. Repowering (pembelian mesin baru) dipangkas dari semula US$ 544 juta menjadi hanya US$ 18,7 juta. Penyiapan berbagai dermaga dikurangi. Bahkan, rencana membangun proyek Pangkalan Utama Teluk Ratai, Lampung, yang semula dianggarkan, terpaksa ditunda. Sejumlah biaya administrasi juga dipangkas (lihat tabel).

Singkat cerita, kapal itu akhirnya berenang ke sini dari pelabuhan Peneemunde, Wolgast, Jerman Timur. Masalahnya, kantong pemerintah lumayan cekak. Toh, Pak Harto tetap menugasi Mar?ie agar mencari duit. Mar?ie kemudian melobi Jerman dan berhasil memperoleh pinjaman dari Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW).

Bank pemerintah terbesar di Jerman yang bermarkas di Frankfurt itu kabarnya sudah mengucurkan kredit semilunak US$ 200 juta. Masa bebas cicilan pokok selama 2 tahun, dengan jangka 8 tahun. "Berapa jumlah pinjaman dalam proyek kapal itu tak diketahui. Tapi, berdasarkan kebiasaan, pinjaman yang diminta biasanya jauh melebihi nilai proyek," kata sumber TEMPO, seorang bekas pejabat Departemen Keuangan.

Sampai di sini, semua proses tampak normal. Namun, bisik-bisik soal keluarga Habibie terlibat dalam proyek mulai terdengar. Adalah Sri Rahayu Fatimah Habibie alias Yayuk yang mula-mula dikaitkan dengan tender kapal-kapal perang ini. George Junus Aditjondro dalam bukunya Dari Soeharto ke Habibie menuliskan keterlibatan Yayuk lewat perwakilan Ferrostaal di Jakarta.

Menurut dosen sosiologi korupsi dari Universitas Newcastle, Australia itu, Yayuk dikabarkan menerima komisi 10 persen dari semua kontrak Ferrostaal di Indonesia. Ferrostaal adalah perusahaan yang ditunjuk pemerintah Jerman untuk menjadi koordinator perbaikan 39 kapal perang itu. George juga menulis, lewat PT Ferrostaal Niaga Utama di Jakarta, Yayuk memainkan peran penting dalam proyek turun mesin dan impor 39 kapal tersebut. Yayuk adalah perwakilan tidak resmi Ferrostaal di Indonesia. Tapi ia mengaku telah keluar dari perusahan itu 10-15 tahun lalu. Ia kini mengaku punya perusahaan sendiri, namanya Ferrindo.

Toh, tidak semua hal dibantah Yayuk. Misalnya, dalam hal kontrak perbaikan penyejuk ruangan (AC) yang diberikan kepada PT Citra Drews Indonesia. Menurut Aditjondro, yang memiliki Citra Drews adalah Muchsin Mochdar, pemilik kelompok bisnis Mochdar Santana, suami Yayuk. Dan Yayuk mengakui, Drews memang mendapat kontrak pengisian freon dan perawatan AC. "Drews adalah perusahaan dengan standar Jerman dan sudah memasang AC jauh sebelum pembelian kapal-kapal itu," katanya.

Bagaimana dengan Junus Effendy "Fanny" Habibie, bekas Dirjen Perhubungan Laut? Sumber TEMPO, seorang bekas petinggi Angkatan Laut, menyebutkan bahwa Fanny mendapat kontrak untuk pengadaan komponen penting seperti dinamo dan mesin. Fanny masih berada di luar kota ketika hal ini dikonfirmasikan kepadanya.

Seperti halnya Fanny, Sujatim "Timmy" Habibie juga mendapat bagian dalam berbagai proyek perbaikan kapal, kata seorang pejabat tinggi Departemen Keuangan. Timmy, menurut sumber tersebut, mendapat jatah proyek pengadaan cat untuk pengecatan kapal. Apa jawab Timmy? "Satu sen pun saya tidak terlibat dalam urusan 49 kapal," ujarnya sembari tersenyum. Ketika TEMPO mengingatkan jumlah kapalnya 39, Timmy kontan menyambar, "Anda lihat, kan? Saya tidak hafal jumlahnya. Kalau terlibat, saya pasti hafal, dong. Dan kalau pejabat Departemen Keuangan itu Anda anggap benar, percaya saja sama dia."

Ingat putra bungsu Presiden, Thareq Habibie? Menurut orang dekatnya, Thareq pernah mendapat beberapa kontrak untuk pengadaan komponen dan perbaikan kapal di Jerman. Ia sedang berada di Jerman ketika soal ini dikonfirmasikan kepadanya. John Pieter Nazar, penasihat hukum Thareq sejak 1993, kemudian menelepon TEMPO untuk menjelaskan jawaban kliennya. Intinya, Thareq sama sekali tak terlibat dalam bisnis kapal ini. "Banyak orang menggunakan nama keluarga Habibie untuk bisnis. Pak Habibie meminta saya menertibkan hal itu," ujar John.

Hubungan Habibie dan bos Ferrostaal, Klaus von Menges, juga telah terjalin baik sejak di perguruan tinggi. Habibie di Aachen, Menges di Koln. Dua sekawan ini berpisah selepas sekolah. Yang satu kembali ke Indonesia menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang lain meniti karir di Ferrostaal, sebuah perusahaan perkapalan di Jerman.

Habibie dan Menges bertemu kembali dalam proyek kapal perang itu. Ferrostaal inilah yang membantu menjembatani pinjaman KfW. "Untuk mencarikan pinjaman dari KfW, mereka tak dibayar," kata sumber TEMPO. Toh, Ferrostaal sudah dapat jatah khusus: menjadi koordinator perbaikan semua kapal dan pelatihan 1.660 tentara AL di Jerman. Suatu kebetulan belaka?


Tabel 1: TARIK ULUR BELANJA KAPAL

NoPos AnggaranProposal pertama (Dalam juta US$) Proposal KeduaPosisi Akhir (Dalam juta US$) Versi Bonn International Center for Conversion # (Dalam juta US$)

1

Kapal12,7 **DM 2512, 113

2

Persiapan penyeberangan, overhaul, pelatihan awak309DM 172226,2 

3

Penyeberangan dan administrasi logistik93,8-52 

4

Repowering (pembelian mesin baru)544-18,7

 

314

5

Penghancuran senjata-US$ 4- 

6

Pemasangan senjata---339

7

Perbaikan di PAL--63,5 

8

Penyiapan pangkalan119Rp 117 miliar10119

9

Pangkalan Utama Teluk Ratai (Dermaga Baru)151--179

10

Administrasi Proyek64,1Rp 192,8 miliar2,7 

11

Tangker (dua buah)10-- 

12

Biaya tambahan--17,7 

13

Biaya bunga--1,4 
 Total1,100US$ 482,3442,8*964

* Per 28 September 1998 dari total US$ 442,8 juta baru terpakai US$ 423,9 juta. Utang yang belum dibayar sebesar US$ 18, 9 juta. Sebelumnya Depkeu tetap bertahan posisi anggaran US$ 319 juta.

** Termasuk suku cadang dan amunisi

# Ini nama sebuah organisasi nirlaba di Bonn, Jerman, yang memantau perkembangan militer, khususnya di Eropa Timur. Berdasarkan data terakhir, 8 Juli 1998.


Tabel 2: PROFIL KAPAL EKS JERMAN TIMUR

 

 

GAMBAR KAPAL GAMBAR KAPAL GAMBAR KAPAL

 

KelasParchimFroschCondor

 

Jumlah16149

 

JenisKapal korvet atau kapal perusak kawal rudal dengan kecepatan tinggi.Kapal angkut personil dan tank berjenis mini landing ship tank (LST)Kapal penyapu ranjau (mine sweeper)

 

SpesifikasiBerat standar 820 ton, panjang 75,05 meter, lebar 9,75 meter, draft (Syarat maksimum terendam air 4,44 meter). Berat 1.283 ton, panjang 90,78 meter, lebar 11,12 meter, draft 3,2 meter. Kemampuan muatan 600 ton, termasuk 8 tank.Berat 600 ton, panjang 58 meter, lebar 7 meter, draft 2,5 meter.

 

Kecepatan maksimum26 knot18 knot13-15 knot

 

Jarak jelajah2.250 mil laut2600 mil laut1500 mil laut

 

Jumlah awak61 orang50 orang40 orang

 

SenjataRoket Bom Udara (RBU), 6000 Anti kapal selam, meriam AK 57 mm full otomatic laras gandauntuk bantuan tembakan kapal (BTK); meriam 30 mm full outomatic; rudal AC 1M (modifikasi rudal Strela); torpedo MK-46 Mad 2 anti kapal selam, akan dipasangi Sonar Mlti Function Display Meriam 25 mm anti serangan udara dan kapal permukaan (eks Rusia); rudal AL1M anti serangan udara Alat penyapu ranjau (APR), mitraliur 25 mmanti serangan udara dan kapal permukaan (eks Rusia)

Sumber: Pusat Data dan Analisa TEMPO (PDAT) 1998.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus