Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mata Harini Wijoso tertumbuk pada lembarlembar seratus dolar di hadapannya. Jarijarinya yang keriput melarik uang kertas Amerika itu sehelai demi sehelai. Selama hampir satu jam Harini, 68 tahun, menghitung duit senilai US$ 50 ribu (Rp 500 juta) ditemani sopir pribadinya, Bambang Suhermanto. Hari itu menjelang subuh, 30 September 2005. Beserta uang tersebut-yang menjadi alat bukti dalam kasus Probosutedjo-Harini ditahan di ruang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Veteran, Jakarta Pusat.
Marsudi Effendi, ketua RT di kediaman Harini, serta delapan penyidik menyaksikan penghitungan. "Saya ikut proses penangkapan sampai menjadi saksi di KPK," ujarnya kepada Tempo, dua pekan lalu. Malam sebelumnya, 29 September pukul 23.30 WIB, petugas KPK mencokok Harini beserta bukti uang itu di rumahnya di kawasan Cipete Selatan, Jakarta Selatan. Dia dituduh menyuap Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan agar perkara kliennya, Probosutedjo, menang di tingkat kasasi. Mantan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta itu adalah pengacara Probo dalam kasus Bank Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut Komisi atau KPK) menemukan duit bukti lewat drama penangkapan mirip film detektif. Dari cerita yang diterima Tempo, Harini didatangi delapan penyidik menjelang tengah malam. Seorang warga menelepon Bambang Heriadi, asisten Harini. "Mas, ada tamu," si penelepon mengabarkan. Bambang enggan membuka pintu pada jam yang sudah larut. Si warga lantas memanggil Marsudi, ketua RT setempat. Bambang melunak dan pintu dibuka.
Petugas masuk. Satu orang mengenalkan diri sambil mengulurkan tanda pengenal di pinggang, "Kami mau bertemu Ibu Harini." Bambang masih menolak. "Maaf, Pak, ibu sudah istirahat. Besok saja kita atur waktunya." Pembicaraan terpotong teriakan dari satu sudut kamar, "Mbang, siapa di luar? Besok saja disuruh balik." Rupanya itu Harini yang terjaga dari tidur.
Teriakan itu membuat petugas Komisi enggan berbalik. Malah mereka menghampiri arah suara. Harini menanggapi, namun baru keluar menemui tamutamu dadakan itu setengah jam kemudian. Dia berdalih perlu ganti baju dulu. Ada petugas yang tak sabar kemudian menggedor pintu kamar.
Sekeluar dari kamar, Harini langsung disodori surat penangkapan dan diinterogasi di tempat selama dua jam. Harini terus berkelit. Dia membantah kenal dengan Pono Waluyo, karyawan MA yang mengaku mengenalkan diri ke Harini sebagai penghubung ke Bagir Manan. Wanita sepuh ini juga menampik tuduhan bahwa dia pernah menerima uang pemberian Pono. Daya kelitnya melemah setelah para penyidik mempertemukan dia secara empat mata dengan Pono, malam itu.
Petugas tak segera menemukan bukti uang. Harini baru mengaku soal uang saat ia diboyong ke kantor KPK. Alhasil, mobil yang sudah melintasi wilayah Blok M berputar balik ke Cipete. Harini menunjukkan gepokan uang itu di bawah tumpukan buku di lemari pakaian. "Saya ikut dalam mobil sampai uang itu ditemukan," ungkap Marsudi.
Drama sebabak pada 29 September tengah malam itu adalah akhir cerita Harini mencari jalan tikus memuluskan perkara kasasi Probo. Harini mengaku memulai aksinya dengan bertemu Ketua MA Bagir Manan pada 11 Agustus. "Maksud saya bertemu Pak Bagir minta tolong perkara Pak Probosutedjo," kata Harini seperti yang tertulis dalam dokumen yang diterima Tempo.
Pertemuan itu-versi Harini dalam dokumen itu-berlangsung di ruang kerja Bagir. Harini diterima sekretaris Bagir, Ata Ali, dan diminta menunggu di ruang tamu. Di situ ada Zubaidah, hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang juga ingin bertemu Ketua MA. Keduanya bareng masuk. Belum sempat duduk, Harini sudah keluar. Dia masuk lagi setelah Zubaidah pamit. Tapi kedatangan Harini menerangkan maksudnya dijawab Bagir dengan muka masam, "Ya, tunggu saja."
Dalam wawancaranya dengan Tempo pekan lalu, Bagir menyatakan pertemuan itu sebatas niat Harini untuk berpamit pensiun sebagai hakim. Satu hal, Harini sendiri telah pensiun empat tahun sebelumnya sehingga alasannya berpamit kepada Bagir membuat Komisi Yudisial terperangah: "Pensiunnya sudah lama, kok pamitnya baru sekarang?" kata Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, kepada Tempo
Kepada tim investigasi ini, Bagir mengakui Harini memang menyampaikan perkara Probosutedjo. Namun, tidak ia tanggapi dengan serius. "Ya, bagaimana nanti saja," ujarnya.
Keluar dari ruangan Bagir, Harini menelepon Pono Waluyo meminta salinan putusan untuk meyakinkan kliennya. Baru pada 22 September, Pono menelepon balik minta bertemu Harini di lobi MA karena putusan sudah ada. Isinya, Probo bebas. Di lobi itu pula Pono meminta duit operasional untuk mengambil putusan sebesar Rp 100 juta. Harini setuju. Transaksi fotokopi putusan terjadi sorenya pukul 14.30 WIB di dalam mobil di parkiran MA. Usai menerima putusan, Harini ke kantor Probo di Gedung Kedaung, Menteng, Jakarta Pusat. Lembar putusan diterima oleh Probo sendiri.
Keran duit kembali dibuka 29 September 2005. Kali ini angkanya melejit ke Rp 5 miliar. Pono menelepon Harini pada pukul 08.00 WIB dan meminta agar dia tidak jauhjauh dari MA. "Kencan" itu terjadi sepulang Harini dari pertemuan para mantan hakim wanita dan hakim wanita aktif di Bali pada 1820 September 2005. Harini dan sopir pribadinya lalu menunggu di BRI Jalan Veteran Raya, Jakarta Pusat.
Dua jam kemudian, Pono menelepon lagi meminta uang karena putusan sudah diturunkan ke PN Jakarta Pusat. Pono menyusul Harini di BRI, lalu bertemu Probo untuk mendapat duit. Keduanya diantar Tri Widodo, asisten di kantor Probo di Gedung Kedaung, Menteng. Ketika bertemu, Probo menanyakan ke Pono berapa anggaran untuk putusan asli. Pono menjawab Rp 5 miliar dalam pecahan dolar dan rupiah dan harus dimasukkan ke dalam dua kardus.
Serahterima fulus dilakukan di rumah Probo di Jalan Diponegoro 20, Menteng, Jakarta Pusat, sekitar pukul 12.00 WIB. Pono menjemput Harini, yang menunggu di Kedaung, lalu naik taksi menuju rumah Probo. Di sana sudah ada dua kardus uang dolar dan rupiah. Satu kardus memuat US$ 300 ribu. Satunya lagi campuran US$ 100 ribu dan Rp 800 juta. Probo mengikat kardus, lalu menyodorkannya kepada Pono.
Sepulang dari rumah Probo, Harini dan Pono berpisah. Pono kembali ke MA, Harini pulang ke rumah tapi terhalang macet di Tugu Tani. Saat terjebak macet, Pono menelepon Harini pukul 15.30 WIB minta bertemu di parkiran Korpri MA. Pono meminta diantar pulang ke Bekasi sambil membawa duit satu kardus. Di tengah jalan, Pono menyuruh Harini mengambil US$ 50 ribu untuk ditukar mata uang rupiah.
Uang "titipan" itu tetap dibawa Harini pulang setelah menurunkan Pono di Bekasi. Malam menjelang dini hari 29 September, petaka menjemput Harini. Delapan anggota KPK mencokoknya saat dia nyaris terlelap.
Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, kepada Tempo, mengakui telah menerima keterangan orangorang yang terlibat. Dia juga membenarkan Bagir serta Harini pernah bertemu di MA. Namun, Busyro tak bersedia menjelaskan rentetan cerita selanjutnya. Dia hanya berkata: "Ini sifatnya rahasia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo