Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Xanana Gusmao: Sejarah itu Harus Ditutup

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMBUTNYA seperti tersiram serbuk perak: memutih dari sisi ke sisi. Usianya memang tak lagi muda. Juni mendatang, Presiden Republik Demokratik Timor Leste, Xanana Gusmao, genap 60 tahun. Badannya memang masih tegap, tapi pinggangnya sedikit bergelambir. Dia masih perokok berat. Yang juga tak berubah adalah cita-citanya yang bersahaja-: menjadi petani labu di tepi Kota Dili.

Sejak awal, Xanana memang sudah menolak dicalonkan menjadi presiden. ”Saya hanya ingin melukis, menulis puisi, dan memotret,” ujarnya. Tapi sejarah berbicara lain. Timor Leste, republik muda yang masih dalam sengkarut, bergantung pada lelaki dari Manatuto dan bekas panglima Falintil itu. Suka tak suka, hanya dia yang mampu menjadi mesin pembangkit solidaritas.

Sejak merdeka pada 20 Mei 2002, masalah tak berhenti datang ke negeri itu. Selain pertumbuhan ekonomi yang lambat, Timor Leste masih dihantui bayang-bayang masa silam. Isu pelanggaran hak asasi manusia naik-turun di panggung dunia. Akhir Januari silam, laporan dari Commissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao (CAVR) atau Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste, dibawa Xanana ke Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Laporan setebal 2.500 halaman itu mengungkapkan temuan pelanggaran hak asasi manusia sejak 25 April 1974 sampai 25 Oktober 1999. Tentu, yang paling banyak disinggung adalah saat kediktatoran Orde Baru mengirimkan tentara ke Timor Leste. Disebutkan, akibat pendudukan Indonesia selama 24 tahun itu, sekitar 83 ribu sampai 183 ribu orang tewas.

Gara-gara laporan itu pula, hubungan Dili dengan Jakarta tegang. Rencana pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Xanana, yang semula dijadwalkan bulan lalu, akhirnya terpaksa tertunda. Apalagi, sebelumnya ada insiden berdarah di perbatasan nege-ri itu dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dilaporkan, tiga warga Indonesia tewas ditembak polisi Timor Leste.

Tatkala situasi politik meruncing itu, seorang tokoh politik di Dili berkisah kepada Tempo. Kata dia, ketika Xanana masih di New York, ada usul agar ia tak usah pulang lewat Bali. ”Pulang lewat Darwin saja,” ujar si pembisik. Tapi Xanana tetap memutuskan kembali ke Dili lewat Bali—sebuah isyarat bahwa Xanana tak mengangkat sangkur terhadap tetangga besarnya itu.

Itu sebabnya, saat bertemu Presi-den Yudhoyono dan menyerahkan hasil la-poran CAVR itu di Bali, pekan lalu, ia seperti tak menyimpan dendam. SBY dan Xanana berpelukan erat.

Tapi, mengapa Maret mendatang Xanana tetap melaporkan hasil CAVR ke Dewan Keamanan PBB? Meneguk secangkir kopi dan mengisap tiga batang rokok putih, Xanana, yang lumayan lancar berbahasa Indonesia, menjelaskan duduk perkaranya kepada wartawan Tempo Nezar Patria dan Faisal Assegaf di salah satu bungalow Hotel Patra Jasa, Tuban, Bali, Sabtu pekan lalu.

Apa yang akan Anda lakukan dengan laporan CAVR itu?

Kita mau menjelaskan kepada rakyat bahwa semua penderitaan dulu itu punya tujuan tinggi. Kalau kita tidak mau merdeka, kita tidak akan menderita. Kita semua adalah korban perang. Setelah merdeka, kok kita lari dari semangat kepahlawanan kepada (semangat menjadi) korban. Ini tidak boleh. Sikap menjadi korban setelah merdeka menghapuskan nilai-nilai besar yang dulu kita pegang. Rakyat sudah bilang lupakan. Mereka tidak menyimpan kebencian.

Meskipun laporan itu menampilkan fakta kekejaman?

Itu sudah lewat. Dulu, kita menyimpan benci supaya bisa berjuang. Tapi negara sekarang tak bisa mendengar dan bersikap hanya kepada seribu orang (yang mempersoalkan kekejaman itu) saja. Sekarang, negara tidak bisa mengatur masa dulu. Negara harus mengatur hari ini, untuk tujuan masa depan. Negara Timor Leste bersikap mendengar semua suara rakyat. Tapi adalah urusan negara memutuskan kebijakan. Dan rakyat mengerti. Yang bicara-bicara ini bukan (mewakili) semua rakyat, tapi beberapa orang dari rakyat.

Lalu, suara protes itu mewakili kepentingan siapa?

Saya tidak bisa berspekulasi. Itu tidak bagus. Saya sedang berusaha berbicara dengan mereka bahwa kepentingan rakyat lebih tinggi dari kepentingan kelompok.

Artinya, Anda tidak percaya sepenuhnya hasil laporan itu?

Kita menerima dengan lapang dada. Mereka itu independen. Kami yang mencari uangnya, dan bilang kalian harus- begini.

Laporan itu banyak menyoroti operasi militer Indonesia?

Jangan salah, itu bukan khusus ten-tang- jenderal Indonesia. Laporan itu dimulai dari perang sipil di Timor Leste. Jadi, rentang waktunya dari April 1974 sampai 1999. Artinya, semua negara yang membantu Indonesia turut terlibat-. Misalnya negara yang ikut menjual tank, kapal, dan pesawat. Atau negara yang membantu secara politik. Laporan itu juga (menyangkut) kami orang Timor Leste. Tak ada seorang pun yang dilewati. Saya sebagai presiden, atau juga perdana menteri, dan partai-partai, diminta mengakui telah membuat kesalah-an. Jadi, CAVR bukan hanya berbicara tentang Indonesia.

Anda pernah memimpin gerilyawan Fretilin. Benarkah tentara Indonesia menggunakan bom pembakar (napalm) seperti disebut dalam laporan itu?

Saya tidak mau membuka pintu untuk debat. Komisi itu telah mendengar kete-rangan banyak orang asing, aktivis di sejumlah negara yang ikut memprotes (operasi militer) itu. Mereka punya data sendiri, ada yang dari Australia, Portugal, dan Inggris. Percaya atau tidak, itu soal lain. Mau menerima atau tidak, itu juga soal lain. Kita hanya memberi mandat yang profesional (kepada CAVR). Kalau tidak, kami juga akan berdebat tidak ada habisnya.

Anda pernah bilang menyerahkan laporan itu ke Sekretaris Jenderal PBB untuk menjalankan aturan....

Jangan lupa, sampai 19 Mei 2002, Timor Leste masih di bawah administrasi PBB. Banyak undang-undang buat-an UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor). Jadi, secara yuridis yang bertanggung jawab adalah Sekretaris Jenderal PBB. Walaupun tak ada undang-undangnya-, pada bu-tir rekomendasi disebutkan (lapor-an itu) dikirim ke anggota Dewan Keamanan. Jadi, kami harus mene-ri-manya. CAVR ingin membuka fakta bahwa ini bukan cuma masalah Indonesia dan Timor Leste, tapi masalah dunia. Kami berharap tak terjadi lagi di tempat lain.

Lalu, mengapa harus Anda yang me-laporkan ke PBB?

Itu etika negara. Di negara kami, saya harus berlaku sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Setelah CAVR menyerahkan laporan, komisi itu sudah selesai tugasnya. Jadi, saya sebagai pre-siden yang mengambil tanggung jawab untuk menyerahkan laporan itu.

Apa reaksi Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan saat menerima laporan itu?

Saya hanya bisa bilang tidak ada apa-apa. Tanggapannya secara resmi akan disampaikan ke Dewan Keamanan.

Anda akan melapor ke Dewan Keamanan juga?

Ya. Saya akan berpidato di Dewan- Keamanan soal posisi pemerintah Ti-mor Leste dalam masalah ini, Maret men-datang. Selain itu, saya akan ke Sidang Komisi HAM di Jenewa, juga untuk mempertahankan posisi pemerintah Timor Leste.

Apa tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Sebagai negarawan, sikapnya tidak akan berkomentar. Setuju atau tidak, itu soal lain. Kami juga mengharapkan sikap semacam itu dari seluruh rakyat Indonesia. Kita bilang bahwa sejarah itu harus ditutup. Dan inilah tindakan untuk menutup. Kita harus menerima kebenaran sejarah itu, dan melakukan rekonsiliasi untuk tujuan masa depan.

Dalam waktu dekat, anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dari Indonesia akan berkunjung ke Bali. Bagaimana mekanisme komisi ini?

Ada dua prinsip. Pertama, lembaga itu adalah milik dua negara. Kedua, dia harus independen dan bertanggung jawab. Komisi ini tidak bisa bekerja kalau kita tidak membantu, baik dengan undang-undang maupun biaya. Lembaga itu menjalankan tugas negara, yakni mene-gakkan kebenaran dan persahabatan.

Apakah semua warga Timor Leste sudah tahu isi laporan CAVR?

Kepada masyarakat belum kita buka. Sa-ya akan bikin program sosialisasi, dan juga memberi tahu kepada rakyat so-al kebijakan yang diambil oleh negara.

Situasi perbatasan RI dan Timor Leste belakangan ini rawan memicu konflik- kedua negara—tiga warga Indonesia ditembak mati polisi Timor Leste bebe-rapa waktu lalu. Anda melihat aksi itu sebagai kesalahan?

Ada penyelidikan bersama soal insi-den ini. Walaupun mereka warga nega-ra Indonesia, sebetulnya mereka berasal dari Timor Leste. Paling tidak, ada satu orang yang sering bolak-balik dan membuat rusuh. Kami sudah punya catatan soal itu. Secara prinsip, sebenar-nya tidak- usah dibunuh. Tapi, kalau benar warga Indonesia asli, kejadian itu harus dipikirkan dengan baik. Ini bukan hal pertama. Banyak orang di sekitar perbatasan adalah asli Timor Leste. Kejadian seperti ini akan terus terjadi.

Bagaimana soal pengaturan izin bagi pelintas batas?

Ini sedang dibicarakan kedua negara. Ada komisi menteri bersama yang akan membahas soal pasar tradisional. Dulu banyak terjadi pasar gelap. Tapi sekarang sudah menurun karena harga bensin di Indonesia sudah naik.

Soal penentuan garis batas darat, me-ngapa baru selesai empat persen saja?

Empat persen itu sudah bagus sekali. Untuk menghindari soal perlintasan ilegal, polisi perbatasan kedua negara akan diberi alat komunikasi yang bagus agar bisa berkoordinasi. Apalagi, di sana ba-nyak jalan tikus. Setelah seratus persen garis itu selesai, nanti kita akan buat pe-rayaan-perayaan pasar di perbatasan.

Misi PBB akan berakhir Mei tahun ini. Militer Timor Leste sudah siap menjaga keamanan sendiri?

Pasukan PBB sudah keluar sejak 2002. Sekarang yang ada hanya penasihat militer dan polisi yang membantu pelatih-an.

Sekarang soal celah Timor yang kaya minyak itu. Ada kesepakatan bagi hasil: 90 persen Timor Leste dan 10 persen Australia. Anda puas?

Kalau bicara soal hubungan antar-negara, ini bukan masalah sederhana. Semua bilang punya hak. Kami terjebak oleh persetujuan Ali Alatas (bekas Menteri Luar Negeri RI) dan Gareth Evans (bekas Menteri Luar Negeri Australia). Ini membuat kami sakit kepala. Seharusnya kan kami dapat 100 persen. Tapi sudah bagus, dari 50 ke 90 persen. Kalau dibandingkan dengan klaim, kita memang tampaknya kalah. Tapi, kalau melihat realitas, kita bilang sudah bagus.

Hasil dari celah Timor itu akan menjadi sumber ekonomi utama memba-ngun Timor Leste?

Ya. Sekarang kan tidak ada pemba-ngunan. Kita masih bergantung pada donor yang jumlahnya sudah sekitar US$ 1 triliun. Ada anekdot dari orang Dili sekarang. Kata mereka, lebih baik tujuh hari di Bali daripada satu malam di Dili. Soalnya, pajak di Dili terlalu mahal. Tapi syukurlah. Sebulan lalu kami melakukan pengeksporan gas pertama.

Dengan potensi ekonomi celah Timor, Anda yakin bisa membawa Timor Leste sekaya Brunei Darussalam?

Mungkin lebih. Saya sudah bicara di parlemen bahwa kita nanti akan kaya. Tapi kekayaan itu tidak akan membuat bahagia kalau kita tidak membagi de-ngan saudara-saudara lain, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mungkin kita bisa membantu masalah pe-nanganan malaria dan atau problem sosial lain. Sekarang, kita memang paling miskin di Asia Tenggara, malah salah satu dari 10 negara paling miskin di dunia. Tapi, sepuluh tahun mendatang, pe-merintah kami harus mulai duduk di kon-ferensi negara donor.

Mana lebih sulit, membangun atau berjuang untuk merdeka?

Membangun, ha-ha-ha. Membangun itu sangat sulit. Ini bagai mimpi. Kami membayangkan, setelah merdeka, rak-yat bisa punya listrik semua, air bagus, dan semua anak bisa pergi sekolah. Ini bayangan kami dulu, sewaktu bergeril-ya dalam hutan. Sekarang masih harus berjuang lagi. Untuk membangun satu sekolah saja ternyata susah sekali mencari uangnya.

Tahun depan, Anda sudah lima tahun memimpin. Setelah itu kabarnya Anda mau pensiun?

Dulu, saya sumpah kepada para geril-yawan bahwa saya tidak mau jadi apa-apa. Pada 2002, saya dipaksa banyak orang agar mau jadi presiden, termasuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Kofi Annan, Colin Powell, dan John Howard. Itu persis pada hari terakhir pencalonan. Akhir-nya saya terpaksa terima juga. Tapi ha-nya sampai 2007. Setelah itu cukup, saya tak mau lagi.

Lalu, apa yang akan Anda lakukan kalau sudah pensiun?

Saya ingin bebas. Saya ingin menulis puisi dan melukis lagi.

Anda yakin pimpinan Timor Leste mendatang bisa luwes dengan -Indo-nesia?

Saya yakin itu. Mau tidak mau, kami punya dua tetangga paling dekat: Indonesia dan Australia.

Jose Alexandre ”Kai Rala Xanana” Gusmao

Lahir: Manatuto, 20 Juni 1946

Pendidikan:

  • Sekolah dasar di Viqueque (1954-1957),
  • Seminari jesuit di Dare (1959-1962),
  • Sekolah menengah atas di Dili (1962-1967)

Karier:

  • Dinas militer dengan pangkat kopral (1967-1969)
  • Pegawai negeri sipil di Dili (1969)
  • Mendapat hadiah sastra untuk puisi ”Mauberedias” (1974)
  • Bergabung dengan Fretilin (1975)
  • Panglima Gerakan Bersenjata Falintil (1981-2000)
  • Pemimpin National Council of Maubere ResistanceCNRM (1988), Tahanan politik di Penjara Cipinang, Jakarta Timur (1992-1998)
  • Menerbitkan buku ”Timor Leste -um Povo, uma Pátria” (1994)
  • Presiden National Council of Timorese Resistance (CNRT) (1998-2000)
  • Presiden Republik Demokratik Timor Leste (2002-2007)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus