Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi hari, 29 September 2005. Dari kompleks Puri Mutiara, Cipete, Jakarta Selatan, Harini Wijoso meluncur ke Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Mobilnya merayap ke halaman parkir Bank Rakyat Indonesia, tak seberapa jauh dari gedung Mahkamah Agung (MA). Harini, 68 tahun, tidak turun dari mobil. Dia menantikan Pono Waluyo, seorang pegawai bagian kendaraan MA. Telepon seluler Harini berdering. Pono menelepon. Ada berita sukacita. Putusan perkara Probo, kata Pono, sudah diturunkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Isinya? Probo bebas. Harini, kuasa hukum sekaligus sahabat karib Probosutedjo, riang bukan kepalang.
Probosutedjo memang tengah dirundung susah. Adik tiri mantan presiden Soeharto itu dituduh menggelapkan dana reboisasi Hutan Tanaman Industri (HTI) sebesar Rp 100,931 miliar di Kalimantan Selatan. Probo divonis empat tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian mendiskon putusan itu menjadi dua tahun. Nasib Probo benarbenar di tubir jurang. Penjara atau tidak, tergantung Mahkamah Agung. Hari itu, Pono datang sebagai dewa penolong.
Tapi si Pono memberi syarat, uang suap harus dicairkan saat itu juga. ”Saya tidak berani sebelum mendapatkan putusan lengkap,” jawab Harini. Pono pantang surut. Harini lalu mengajak Pono bertemu dengan Tri Widodo, orang dekat Probosutedjo. Disepakati. Dari kantor Mahkamah Agung, Pono berjalan kaki menemui Harini di parkiran BRI Veteran. Mereka lalu tancap gas ke Gedung Kedaung, Menteng, Jakarta Pusat. Ini kantor Probosutedjo.
Kepada Probo, Pono berkisah soal putusan bebas itu. Probo sempat bertanya, ”Apa betul besok putusan dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?” Pono mengangguk. Total biaya, kata Pono, sekitar lima miliar rupiah. Probo meminta tenggang hingga pukul 12 siang karena, ”Uangnya harus disiapkan dulu.” Pono dan Harini kembali ke parkiran BRI Jalan Veteran, menunggu kabar dari Probo. Pukul 12.30 WIB, Tri Widodo menelepon. Harini dan Pono diperintahkan agar bergegas ke rumah Probo di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Probo sudah menyiapkan uang itu ketika Harini dan Pono tiba di sana. Dipecah ke dalam dua kardus. Di kardus pertama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua memuat US$ 300 ribu. Ditemani Tri Widodo, Pono mengusung uang itu ke Sekretariat Korpri Mahkamah Agung.
Dari sinilah kedua paket dana disalurkan. Dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan arah penyaluran uang. Kardus pertama yang memuat Rp 800 juta dan US$ 100 ribu pindah ke tangan Sudi Achmad, seorang staf Korpri MA.
Jika uang dolar itu ditukarkan ke rupiah—pada kurs sekitar Rp 10 ribu saat itu—total fulus di kardus pertama bernilai Rp 1,8 miliar. Sudi Achmad membawa tumpukan uang itu ke kediamannya. Malam harinya, Kepala Bagian Umum Biro Kepegawaian MA, Malam Pagi, serta staf Bagian Perdata MA, Triyadi, mengambil uang tersebut. Sudi memberi mereka Rp 1,25 miliar. Sampai di sini, kisah paket pertama berhenti.
Mari kita tengok paket kedua. Sekitar pukul 15.30 WIB—masih 29 September 2005—Pono menelepon Harini Wijoso. Ia meminta Harini menjemputnya di parkiran Korpri MA. Bersama sopirnya, Harini meluncur ke situ. Sembari mengusung kardus uang sebesar US$ 300 ribu (setara dengan Rp 3 miliar), Pono minta diantarkan ke rumahnya di Bekasi Timur. Harini mengangguk. Di tengah jalan tol Cikampek, Pono membuka kardus. Ia menyuruh Harini mengambil US$ 50 ribu. Uang itu dibawa Harini ke rumahnya di Puri Mutiara, Cipete.
Malam harinya, Harini ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ikut dicokok, Pono Waluyo, Malam Pagi, Triyadi, dan Sudi Achmad. Semua uang di tangan mereka disita. Kasus ”suap di Mahkamah Agung” pun menggelegar. Probosutedjo diberitakan menyogok sejumlah hakim dan Bagir Manan guna memenangkan perkaranya di MA. Probo berkelit. Kepada media ia mengisahkan kepedihannya diperas habis sejumlah oknum. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi, katanya, dia sudah ”ludes sekitar Rp 11 miliar”. Probo mengaku telah melaporkan kasus pemerasan ini ke KPK pada akhir Juli 2005. Tapi sabar dulu. Dari hasil penelusuran Tempo, kasus ini bertabur sejumlah kejanggalan....
Coba simak dua fakta berikut. Fakta pertama: Probosutedjo mengaku sudah melapor ke KPK pada akhir Juli 2005. Fakta kedua: Probosutedjo menyerahkan uang Rp 5 miliar kepada Pono Waluyo pada 29 September 2005. Artinya, Probosutedjo menyuap setelah ia sendiri melaporkan kasus itu ke KPK (lihat Dari Amar Datangnya Uang).
Sulit membayangkan bahwa Probo beserta segenap kuasa hukumnya tak berhitung bahwa suap ke MA akan tercium oleh penyelidik KPK. Dengan melapor dulu baru menyuap artinya Probo bagai menggali kuburan sendiri: dia bakal gampang dijerat dengan pasal penyuapan.
Kejanggalan lain adalah saat memberi uang Rp 5 miliar kepada Pono Waluyo. Probo mengingatkan Harini agar tidak ikut Pono ke MA. Hal yang sama disampaikan Tri Widodo, orang dekat Probosutedjo. Padahal, mengikutsertakan Harini bisa membuat Probo memastikan sampaitidaknya uang itu ke tangan hakim. Toh, Harinilah yang mengenal betul Pono Waluyo dan pernah pula bertemu dengan Bagir Manan.
Sumber Tempo memberi informasi menarik seputar kejanggalan tersebut. Penyuapan ke MA, kata sumber itu, bukanlah murni inisiatif Probosutedjo, melainkan usaha bersama Probosutedjo dan KPK untuk menjebak tukang jualbeli perkara di Mahkamah Agung. Jebakan itu dirancang setelah Probo bersama SriEdi Swasono melapor ke KPK, Juli 2005.
Skenario penjebakan ini, menurut kisah sumber itu, dirancang bersama oleh Probosutedjo dan petinggi KPK. Sayang, kata sumber ini, para penyidik KPK keburu menggerebek. Begitu mereka ditangkap, uang belum sampai kepada para hakim, apalagi Bagir Manan.
Orang dekat Probosutedjo menuturkan, operasi penjebakan yang gagal ini kemudian amat menyusahkan adik tiri Soeharto itu. Probosutedjo, kata sumber ini, ”Sadar bahwa yang mendapatkan manfaatnya cuma KPK. Probo sendiri tak mendapatkan apaapa.” Malah hukumannya, sumber ini melanjutkan, ditambahkan oleh Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi, Probo divonis empat tahun, padahal Pengadilan Tinggi DKI Jakarta cuma menghukumnya dua tahun penjara.
Ketika ditemui tim investigasi Tempo di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, 10 Januari lalu, Probo enggan menjelaskan soal penjebakan ini. ”Enggak usah komentarlah. Nanti malah tambah dosa,” katanya. Kuasa hukumnya, Otto Cornelis Kaligis, setali tiga uang. ”Pak Probo minta saya mengurusi masalah peninjauan kembali saja,” kata Kaligis.
Ketika dimintai konfirmasi oleh tim investigasi Tempo, Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK sekaligus ketua tim pengusut kasus suap ini, menolak pula berkomentar soal upaya jebakan ini. Kata Erry, ”Itu adalah bagian dari proses penyidikan yang mustahil dipublikasikan sekarang. Anda sudah menyentuh detail yang berpotensi merugikan upaya KPK memberantas korupsi.”
Uang bukti penyuapan kini disimpan oleh KPK. Sejumlah tersangka telah dikerangkeng di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya sebagai titipan KPK. Rencana perjalanan uang bernilai jumbo itu, jika KPK tidak buruburu menggerebek, kemudian terkuak dari pemeriksaan para tersangka. Sejumlah dokumen yang diperoleh tim investigasi Tempo menunjukkan hal tersebut.
Harini, misalnya, menjelaskan, sebelum uang lima miliar itu dicairkan, Probo sudah menyerahkan satu miliar kepada dirinya pada pertengahan September 2005. Mantan hakim itu tak lupa memerinci penggunaannya. Sekitar Rp 900 juta dipakai Harini untuk macammacam keperluan (lihat Kandas di Jalan Tikus). Lalu ke mana sisanya, Rp 100 juta?
Jawaban Harini: uang itu sudah diserahkan kepada Pono Waluyo pada 22 September. Imbalannya, Harini menerima fotokopi amar putusan atas kasus Probo. Menurut Harini, Pono mengatakan uang itu akan diserahkan kepada para hakim.
Dokumen yang diperoleh Tempo juga memetakan perjalanan kedua kardus penuh uang. Paket pertama sejumlah Rp 1,8 miliar diserahkan kepada Sudi Achmad. Sudi menyerahkan Rp 1,25 miliar kepada Malam Pagi dan Triyadi. Uang sebesar ini, menurut Pono, yang akan disalurkan ke Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung sekaligus hakim ketua kasus Probosutedjo.
Paket kedua sejumlah US$ 300 ribu, kata Pono kepada Harini, dipecah dua. Sekitar US$ 100 ribu ditukarkan dengan rupiah, lalu diserahkan kepada Bagir Manan keesokan harinya. Untuk mempercepat penukaran, Pono memberi US$ 50 ribu kepada Harini untuk ditukarkan. Lalu yang US$ 200 ribu? ”Akan diberikan dalam bentuk dolar kepada kakak kandung Bagir Manan di Lampung,” kata Pono kepada Harini.
Bagir Manan membantah keras semua tudingan itu. Kata Bagir: ”Saya dengar uang lima miliar itu sudah terkumpul di KPK. Nomor serinya pun cocok dengan nomor seri yang dicatat oleh Probosutedjo. ”Kalau semua uang itu sudah terkumpul, lalu uang mana yang masuk ke hakim dan Bagir Manan?” ujarnya (lihat Wawancara dengan Bagir Manan).
Sulaiman Saleh, kakak kandung Bagir di Lampung, membantah keras terlibat kasus ini. Tuduhan itu, katanya, ”Fitnah besar yang sengaja dilontarkan para lawan politik Bagir.” Ditemui di rumahnya di Desa Kalibalangan, Lampung Utara, dua pekan lalu, Sulaiman mengaku mengetahui nama Pono Waluyo setelah ramai diberitakan. Jadi, ”Saya tidak kenal siapa itu Pono, yang menyebutnyebut saya terima uang dari dia,” katanya.
Lupakan soal uang. Tapi tidakkah Bagir Manan bisa dijerat karena bertemu dengan Harini Wijoso, kuasa hukum Probosutedjo? Peraturan Mahkamah Agung, kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, ”Melarang setiap hakim bertemu dengan tersangka atau kuasa hukum seorang tersangka secara langsung.” Apalagi, saat bertemu Bagir, Harini menyinggung perihal kasus yang melilit Probo.
Bagir punya alasan: ”Saat bertemu saya tak tahu Harini itu pengacara, apalagi pengacara Probosutedjo.” Bagir menambahkan, hakimhakim yang sudah pensiun serta hakimhakim aktif dari daerah terpencil adalah satu dari tiga kalangan—di luar wartawan dan mahasiswa bimbingan skripsi—yang tak pernah dia tolak untuk bertemu selama waktunya memungkinkan.
Harini juga punya kisah pertemuan dengan hakim Usman Karim. ”Saya pernah bertemu dengan hakim Usman Karim di parkiran Mahkamah Agung saat saya memarkirkan kendaraan,” kata Harini. Usman memperkenalkan istrinya kepada Harini. Usman Karim dan Harini adalah sobat lama. Usman adalah atasan Harini sewaktu berdinas di Yogyakarta.
Dari pertemuan di parkiran itu hubungan berlanjut. Harini dan istri Usman Karim pun saling kontak lewat telepon. Kontak antartelepon seluler terjadi pada 25 Agustus dan 13 September 2005. Tapi Harini cuma mengakui percakapan pada 13 September. Saat itu, kata Harini, yang dibicarakan adalah masalah anak Usman yang gagal masuk sekolah kedokteran di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Setelah dibantu Harini, anak itu sukses masuk jurusan kedokteran. Harini berhasil setelah dibantu seorang sahabat karib Probosutedjo di Yogyakarta.
Namun, ada yang agak aneh dalam percakapan 13 September itu. Kepada istri Usman Karim, Harini sempat berkata, ”Ibu tenang saja, betul sudah sampai di PN kok.” Jika pembicaraan cuma seputar anak Usman masuk jurusan kedokteran, apa hubungannya dengan PN?
Sumber Tempo di KPK menjelaskan, ketika ditanya tentang soal ini, Harini cuma menjawab pendek, ”Saya tidak tahu.” Harini berkukuh tak tahumenahu mengenai percakapan ini. Data yang diperoleh Tempo mencatat komunikasi antara Harini dan Usman Karim ini terhitung intensif. Telepon ke rumah sekitar 30 kali. Komunikasi lewat pesan pendek di telepon seluler sekitar 28 kali. Tapi Usman Karim membantahnya (lihat wawancara dengan Usman Karim).
Kini, pemilik uang (Probosutedjo) serta sejumlah tersangka yang tertangkap tangan dalam urusan uang tersebut telah dibekuk dan meringkuk dalam tahanan. Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku bertekad menuntaskan kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo