Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Faksi-faksi di NasDem memperebutkan sejumlah posisi pengurus pusat.
Ada tiga faksi kuat di NasDem, yaitu kelompok Indonesia timur, mantan aktivis HMI, dan kubu Media Group.
Tiap faksi juga disebut-sebut berlomba mengejar proyek.
DUA pesan yang sama berulang kali disampaikan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh ke pengurus partainya. Yakni, menjaga soliditas partai dan melarang anggota partainya bermain politik di lingkungan internal partai. Ketua Dewan Pimpinan Pusat NasDem Charles Meikyansah mengatakan terakhir kali pesan itu disampaikan pemilik Media Group itu dalam rapat pleno partai di kampus Akademi Bela Negara NasDem pada Juli lalu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu bercerita, Paloh menyampaikan pesan tersebut secara daring. Menurut dia, sejak virus corona mewabah pada Maret lalu, bosnya tak lagi beraktivitas di Jakarta, melainkan di pulau pribadinya, Pulau Kaliage, Kepulauan Seribu. “Beliau berpesan agar partai tetap kuat dan banyak kader NasDem menang di pilkada 2020,” kata Charles kepada Tempo, Kamis, 29 Oktober lalu.
Menurut tiga pengurus Partai NasDem yang ditemui terpisah, pesan tersebut dilontarkan Paloh karena terjadi gesekan antarpengurus partai. Gesekan tersebut disebabkan adanya tiga faksi di NasDem. Ketiganya sama-sama menyebutkan faksi itu adalah kubu Indonesia timur, kelompok aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan blok Media Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Viktor Bungtilu Laiskodat. Dok TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Sekretaris Jenderal NasDem, Patrice Rio Capella, juga membenarkan informasi tersebut. Rio mengatakan, salah satu pentolan kelompok Indonesia timur adalah Viktor Bungtilu Laiskodat, kini Gubernur Nusa Tenggara Timur. Patrice mengatakan, kelompok ini juga didukung oleh Sekretaris Jenderal NasDem yang juga Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Gerard Plate.
Adapun kubu bekas aktivis HMI—kadang juga dikenal sebagai kelompok Islam, kata Patrice, digagas oleh Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali. Masuk NasDem pada 2013, Ahmad Ali terpilih sebagai anggota DPR dua periode. Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Rusdi Masse Mappasesu serta Ketua Pemenangan Pemilu Jawa Barat Saan Mustopa juga masuk di dalamnya.
Adapun kelompok Media Group merujuk kepada sejumlah pengurus perusahaan media milik Paloh yang bergabung ke NasDem. Yang tergabung dalam kubu ini adalah mantan Chief Executive Officer Media Group, Lestari Moerdijat, dan mantan Editor Eksekutif Metro TV, Sugeng Suparwoto. Lestari kini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Sugeng menjadi Ketua Komisi Energi DPR.
Tiga pengurus NasDem yang ditemui Tempo mengatakan, perseteruan di antara faksi terlihat dalam penentuan kursi bendahara umum dalam kongres partai pada November 2019. Ketika itu, Ahmad Ali yang menjadi Bendahara Umum NasDem 2017-2019 mengajukan nama Rusdi Masse sebagai penggantinya. Namun, menurut tiga sumber ini, Viktor mengajukan anggota DPR, Ahmad Sahroni, untuk mengisi posisi itu. Belakangan Surya Paloh memilih Sahroni sebagai bendahara umum.
Sahroni membantah diajukan sebagai bendahara oleh Viktor. “Saya dipilih oleh Ketua Umum,” ujarnya. Namun Sahroni mengatakan hubungannya dengan Viktor cukup baik. “Dia dulu kan ketua fraksi, senior saya,” tuturnya.
Ketua NasDem Charles Meikyansah menyangkal kabar soal adanya faksi di partainya. “Hanya ada satu faksi, Ketua Umum Surya Paloh,” katanya. Tapi, ujar Charles, Paloh membuka pintu bagi para pengurus untuk berdiskusi dan berdebat. Dia mengatakan, diskusi itu kerap dilakukan di tiga lokasi berbeda, yaitu di Senayan bagi anggota DPR; di kantor NasDem di Gondangdia, Jakarta Pusat, untuk para pengurus partai; dan terakhir di kantor Media Group untuk kader yang berasal dari perusahaan media itu. Charles pun membantah kabar soal perebutan kursi bendahara umum antara Viktor dan Ahmad Ali. “Sahroni terpilih karena dia sebelumnya jadi bendahara fraksi.”
Tiga pengurus di NasDem bercerita, sejumlah faksi di NasDem juga berlomba mencari berbagai proyek yang bisa digarap. Viktor, misalnya, pada pertengahan September 2019, datang bersama bos Grup Artha Graha Tomy Winata dalam pertemuan dengan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soejitpo di kantor Inpex Masela Ltd, perusahaan minyak dan gas kontraktor Blok Masela.
Pertemuan itu menjajaki kemungkinan pelabuhan perikanan PT Samudera Indo Sejahtera—milik Tomy—menjadi lokasi basis logistik proyek gas Blok Masela. Viktor pernah menjabat komisaris saat perusahaan itu bernama PT Maritim Timur Jaya. Putra Tomy, Adithya Prakarsa Winata, membenarkan kabar bahwa ayahnya hadir dalam pertemuan itu. Menurut Adithya, Viktor juga mempresentasikan fasilitas yang tersedia milik Samudera Indo yang tersedia di Tual, sekitar 500 kilometer dari Blok Masela.
Dimintai tanggapan melalui aplikasi pesan WhatsApp soal faksi dan keterlibatannya dalam proyek Masela, Viktor hanya memberikan emoticon senyum. Pada pertengahan November 2019, Viktor juga tak mau memberikan keterangan. “No comment,” ucapnya. Tomy Winata pun tak menjawab permintaan wawancara yang dikirimkan Tempo.
Lestari Moerdijat. dpr.go.id
Adapun Ahmad Ali, menurut tiga sumber Tempo, pernah mengucurkan bantuan anggaran lebih dari Rp 500 miliar untuk pembangunan sektor pertanian saat masa reses DPR awal tahun ini. “Saat itu saya membawa sepuluh direktur di Kementerian Pertanian dan anggaran lebih dari Rp 500 miliar untuk diserahkan kepada Bupati Parigi Moutong,” tuturnya saat itu. Kementerian Pertanian dipimpin oleh Syahrul Yasin Limpo yang juga politikus NasDem. Bantuan tersebut hampir sepertiga dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Parigi Moutong—daerah pemilihan Ali—pada 2020, yakni Rp 1,6 triliun.
Dua penegak hukum dan dua politikus NasDem mengatakan Ahmad Ali juga diduga terlibat dalam kasus suap yang dilakukan oleh terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Kasus ini menyeret mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu NasDem Sulawesi Selatan, Andi Irfan Jaya. Andi diduga membuat proposal pembebasan Joko melalui pemberian fatwa senilai US$ 10 juta bersama bekas Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari serta pengacara Joko, Anita Kolopaking. Menurut penegak hukum dan politikus NasDem tersebut, Andi disebut dekat dengan Ahmad Ali.
Ali belum bisa dimintai tanggapan. Pesan dan panggilan telepon dari Tempo tak direspons. Akhir Agustus lalu, Ali menampik dugaan terlibat dalam perkara Joko. Ia justru mengancam memecat Andi. “Kami mendorong Kejaksaan Agung mengungkap kasus seterang-terangnya,” ujarnya. Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak curiga Andi hanya dipasang oleh orang berpengaruh di partainya karena tiba-tiba saja bisa terlibat dalam pusaran kasus Joko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo