Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ahmad Ali memulai karier politik sebagai anggota DPRD.
Perusahaan tambang gamping miliknya bermasalah.
Pernah dipidana dalam kasus psikotropika.
BANGUNAN dua lantai bercat putih di Jalan Chairil Anwar, Kelurahan Besusu Tengah, Palu Timur, terlihat mencolok karena jembar sendiri di tengah permukiman rumah 45 meter persegi. Kantor Partai NasDem di ibu kota Sulawesi Tengah itu merupakan peninggalan Ahmad M. Ali sewaktu memimpin partai tersebut pada 2013.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali, 51 tahun, kini Wakil Ketua Umum Partai NasDem, yang dipimpin taipan media Surya Paloh. Ia masuk NasDem ketika posisi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah NasDem Sulawesi Tengah kosong ditinggalkan Yusuf Lakaseng, yang memilih bergabung dengan Partai Perindo—pecahan NasDem yang dipimpin pengusaha media lain, Hari Tanoesoedibjo. Mat Ali—panggilan Ahmad Ali—menggantikannya di partai yang mengusung semboyan “restorasi nasional” itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia terkenal berani jorjoran. Sebagai pengusaha, Ali langsung membangun kantor NasDem Sulawesi Tengah dengan megah begitu menjabat. Dia dibantu Rusdi Masse Mappasessu, pengusaha ekspedisi 47 tahun, yang lebih dulu masuk dunia politik sebagai Bupati Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, dari Partai Bintang Reformasi periode 2008-2018.
Rusdi adalah pengusaha kapal angkutan PT Bayumas Jasa Mandiri. Sebagai sesama pengusaha ekspedisi, mereka kenal sejak 2005, ketika Ali menjadi pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sulawesi Tengah. Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Morowali.
Di Sulawesi, Ali dikenal sebagai pengusaha yang memimpin PT Graha Mining Utama, PT Graha Agro Utama, PT Graha Istika Utama, dan PT Tadulako Dirgantara Travel. Graha Istika Utama, yang beroperasi di Desa Tudua, Morowali, merupakan perusahaan tambang pengolahan batu gamping yang hingga kini masih berpolemik karena merusak sumber air dan cagar budaya di daerah tersebut.
Dua sumber Tempo mengatakan Ali agresif menunjukkan diri mampu memimpin NasDem Sulawesi Tengah. Hanya beberapa bulan setelah dilantik menjadi ketua, ia membeli satu kompleks rumah toko dua lantai, yang dipugar menjadi markas NasDem. Prestasinya sebagai Ketua DPW NasDem Sulawesi Tengah pun moncer karena bisa menyumbang kursi partai hingga Senayan.
Ali pun naik menjadi Bendahara Umum NasDem di Jakarta. Namun prestasi gemilang itu tercoreng oleh kasus kepemilikan psikotropika jenis sabu-sabu. Pada pemilihan legislatif 2018, kasusnya menghangat di Sulawesi Tengah. Saat itu, banyak orang mempertanyakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh Direktorat Intelijen dan Keamanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Dalam SKCK bertanggal 25 Juni 2018 itu tak dicantumkan riwayat vonis penjara kepemilikan barang haram tersebut.
Menurut Yusuf Lakaseng, hilangnya keterangan itu melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Pada pasal 240 ayat 1-g disebutkan bahwa syarat menjadi calon anggota Dewan salah satunya, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Selain itu, dalam undang-undang yang sama disebutkan syarat lain, yakni sehat jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkotik.
Hilangnya rekam jejak kriminal Mat Ali dikukuhkan keterangan Pengadilan Negeri Palu 29 Juni 2018. Saat itu, juru bicara pengadilan, Lilik Sugihartono, mengatakan putusan pidana narkotik Mat Ali tak terdata dalam register perkara di pengadilan Sulawesi Tengah. Dalam surat pernyataan yang dibuat oleh Mat Ali tak ada keterangan pernah dipidana.
Dari situ karier politik Ali mulus hingga menjabat Wakil Ketua Umum NasDem hingga sekarang. Jabatan publiknya adalah anggota Komisi Pertanian DPR. Ia tak bersedia menanggapi konfirmasi Tempo. Jawaban tertulis yang ia janjikan tak kunjung datang. “Saya sedang di daerah, di dapil untuk reses, waktu saya sempit sekali untuk menjawab pertanyaan,” ucapnya.
Sama dengan Rusdi Masse. Alasan reses membuatnya sulit dihubungi. Surat wawancara hanya dibalas istrinya, Fatmawati Rusdi. “Jika saya sudah bisa menghubungi, akan saya sampaikan,” kata Fatmawati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sejoli dari Sulawesi"