Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fuad Muhammad Syafruddin 18 Februari 1964 - 16 Agustus 1996
TEPAT pada saat rakyat di seluruh negeri berpesta memperingati hari kemerdekaan ke-51 sepuluh tahun silam, di pemakaman umum Trirenggo, Bantul, berlangsung sebuah prosesi pemakaman. Pada nisannya tertulis Fuad Muhammad Syafruddin.
Empat hari sebelumnya, pada 13 Agustus malam, seorang tamu tak dikenal memukuli wartawan harian Bernas Yogyakarta itu. Setelah koma selama tiga hari di rumah sakit Bethesda, Udin, sapaan akrab pria berbadan tinggi besar ini, meninggal. Sepuluh tahun berlalu, kematiannya tetap menyisakan tanya.
Benarkah dia meninggal karena cemburu yang membakar Iwik—yang didakwa membunuhnya—atau Udin te-was karena berita-beritanya tentang prak-tek korupsi Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo? Nisan di Trirenggo itu seper-ti membisikkan pertanyaan yang lain: -adakah kita sudah benar-benar merdeka, Saudara?
Marsiyem
Perempuan dengan sekujur luka di hati itu mencoba tersenyum. Selama satu dekade lebih, Marsiyem, 39 tahun, bertarung melawan trauma kematian suaminya, Fuad Mohammad Syaf-ruddin. Hantaman demi hantaman benda tumpul yang membuat nyawa wartawan harian Bernas, Yo-g-yakarta, yang biasa disapa Udin ini melayang, terus terngiang. Setiap malam. Setiap subuh. Lalu malam datang lagi. Hanya ada satu melodi yang meneror: bak-buk-bak-buk!
Sepeninggal Udin, Marsiyem dipaksa harus menghidupi dua buah hatinya seorang diri. Hidupnya baru mulai berubah setelah enam tahun lalu dia menikah dengan Khairul, bekas pegawai Udin. Pasangan yang sekarang sudah menghasilkan dua anak laki-laki ini kemudian membuka sebuah usaha cuci cetak foto di Bantul, tak jauh dari toko serupa milik Udin, yang kini dikelola adiknya.
Tapi, apakah dia sudah benar-benar bahagia? ”Saya ingin melupakannya. Saya juga tidak ingin kasus itu diungkit lagi,” kata Marsiyem dengan mata berkaca-kaca.
Iwik alias Dwi Sumaji
Lelaki yang kini 44 tahun itu tak akan pernah lupa ketika didakwa membunuh Udin. Saat itu polisi yakin ia menghabisi korban karena dibakar api cemburu—istrinya, Su-narti, disebut-sebut berselingkuh dengan Udin. Di pengadilan, semua tudingan itu rontok. Saksi dan barang bukti tak mendukung. Iwik pun bebas setelah ditahan 58 hari.
Sepuluh tahun kemudian, tak ada yang ber-ubah pada Iwik. Badannya tegap, rambutnya berge-lombang. Hidupnya masih miskin: kini ia menjadi sopir angkot ju-rusan -Pa-kem--Cang-kri-ngan, Yog-yakarta. Istrinya mem-bantu dengan membuka salon dan menerima jahit-an.
Pada Pemilu 1999, Iwik sempat diajak menjadi calon anggota legislatif dari Partai Rakyat Indonesia. Tapi ia tak terpilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo