Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH tinggal sekaligus kedai foto di Desa Samalo kilometer 13 Jalan Parangtritis itu sudah rata tanah. Pecahan batu bata, genting, dan dinding rumah terserak di mana-mana. Gempa pada akhir Mei lalu itu cuma menyi-sakan sebuah papan nama kecil, menggantung muram di tiang besi pinggir jalan. Tertulis: "Krisna Foto". Di sanalah almarhum Fuad Mohammad Syaf-ruddin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, pernah tinggal.
Di rumah itu, pada 13 Agustus 1996 malam, pria yang akrab disapa Udin itu diserang orang tak dikenal. Peristiwanya berlangsung cepat. Mula-mula ada orang datang mencari Udin, katanya ingin menitipkan motor. Istri Udin, Marsiyem, yang membukakan pintu. Belum lama ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya menyetrika, Marsiyem mendengar bunyi "buk-buk-buk".
Marsiyem pun segera berlari ke teras. Terlambat. Si tamu sudah menghilang dan Udin tergeletak tak sadarkan diri. Darah mengalir deras dari pelipis kiri dan telinga. Udin meninggal tiga hari kemudian di RS Bethesda Yogyakarta. Dia dikebumikan keesokan harinya di pemakaman umum Trirenggo, Bantul, tepat pada saat Republik ini merayakan ulang tahunnya yang ke-51.
Berita penyerangan Udin pertama kali muncul di Bernas edisi Kamis, 15 Agustus 1996. Sejak itu, kasus Udin menggelinding menjadi isu nasional. Bahkan, pada 1997, bekas presiden Soeharto pernah menanyai Mulyono Sulaiman, Kapolda Yogyakarta saat itu, mengapa kasus ini belum kelar. "Ya, dicepatkan saja," ujar Soeharto. Mulyono menceritakannya kepada Tempo pada akhir Juni lalu.
Pers mengaitkan penyerangan Udin dengan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Udin memang banyak menulis berita yang memojokkan penguasa Bantul itu, antara lain soal penyelewengan dana Inpres Desa Tertinggal dan rencana pembangunan megaproyek Parangtritis.
Namun, yang diduga paling menjengkelkan Sri Ro-so adalah berita tentang janjinya menyumbang satu mi-liar rupiah kepada Yayasan Dharmais milik Soe-har-to, kalau terpilih lagi sebagai bupati. Tapi semua ke-curigaan itu tak cukup membawa Sri Roso ke peng-adilan. Polisi malah menelusuri kasus ini ke arah la-in.
SIAPA pembunuh Udin? Sepuluh tahun lalu teka-teki ini menghantui seorang reserse muda di Kepolisian Resor Bantul, Edy Wuryanto, yang ditunjuk memimpin tim penyelidik. Awalnya Edy selalu meng-isyaratkan bahwa polisi mencurigai Sri Roso. Pe-nguasa Bantul dan beberapa orang dekatnya pun sempat diperiksa, tapi tak pernah ada kelanjutan.
Hingga pada 21 Oktober 1996, Edy membuat kejut-an dengan menangkap Dwi Sumaji alias Iwik, sopir yang bekerja di perusahaan pembuat papan reklame, CV Dymas Advertising. Iwik dituduh membunuh karena cemburu. Istrinya, Sunarti, dikabarkan "ada main" dengan Udin. Ketika sekolah di MAN Sabdodadi, Bantul, pada 1979-1982, Udin menjadi Ketua OSIS, sedangkan Sunarti sekretarisnya.
Tak jelas kapan polisi mulai melirik soal "wanita lain" dalam kehidupan Udin. Marsiyem menceritakan, pada suatu hari di bulan Agustus 1996, Edy datang membawa foto repro yang buram. Kata-nya, itu foto seorang pembunuh berbahaya. Namun, menurut Marsiyem, foto tersebut tidak mirip orang yang dia lihat pada malam nahas itu. Baru belakangan dia tahu, itu foto Iwik.
Hingga lima kali Edy datang dan minta Marsi-yem mengakui Udin suka berselingkuh, lima kali pula perempuan yang kini berusia 39 itu membantah-nya. Dia sulit membayangkan suaminya "main gila", karena Udin lebih banyak di rumah dan kantor. Udin juga diketahui mengidap asma dan gula. Berat bagi lelaki yang ke mana-mana harus membawa obat itu untuk menjadi "nakal".
Skenario asmara ini pun menjadi polemik. Polisi- berkukuh. Kepada Tempo Mulyono Sulaiman me-ne-gaskan bahwa polisi tak mengarang cerita. "Udin memang nakal," katanya. Pemeriksaan Iwik pun di-teruskan. Bahkan Mulyono sendiri yang langsung mendengar pengakuan Iwik, termasuk cara dia membunuh. "Disodok dulu (di perut) lalu dipukul (di belakang kepala)," kata Mulyono
Iwik, yang ditemui Tempo di rumahnya di Dusun Panasan, Kelurahan Triharjo, Sleman, belum lama ini tak menyangkal cerita Mulyono. Hanya, pengakuan itu adalah rekayasa Edy. Sebelum bertemu Mulyono, Edy yang saat itu mengaku bernama Franky lebih dahulu membawanya bertemu dua orang bos. "Kata-nya mereka mau pasang billboard," ujar Iwik.
Dia bertemu bos pertama di Hotel Queen, Parangtritis. Bukan membicarakan billboard, Edy malah memaksa Iwik mengaku sebagai pembunuh Udin kepada bos yang mengenalkan diri sebagai pengusaha tambang itu. Iwik tak kenal bos itu. Cuma, menurut dia, orang itu mirip Diharjo Purboko, peternak ayam yang kini menjadi Lurah Patalan.
Diharjo mengakui hal itu saat memberikan kete-rangan di pengadilan. Dia diminta Edy membantu-nya. "Sebagai warga negara, saya selalu siap jika diminta bantuan oleh polisi," katanya seperti dikutip Jose Manuel Tesoro dalam bukunya The Invisible Pa-lace, the true story of a journalist's murder in Java.
Menurut Iwik, dia merasa terancam dan terpaksa mengikuti skenario Edy. Lagipula bos itu menjanjikan uang, rumah, dan pekerjaan di pengeboran lepas pantai. Edy juga memaksa Iwik mengulang cerita rekaan itu kepada bos kedua yang tak lain Ade Su-bardan, ketika itu Kapolres Bantul. Sayang, Tempo tak berhasil mengkonfirmasinya ke Ade.
Pemeriksaan kasus ini sempat berhenti sejenak. De-ngan alasan polisi Yogyakarta sudah terpengaruh- o-pini media bahwa pembunuhan Udin didalangi oleh Sri Roso, Mulyono meminta bantuan Markas Besar -Ke-polisian Indonesia. Tim Mabes Polri di bawah Sa-muel Ismoko pun diturunkan untuk menyidik Iwik.
Empat kali berita acara pemeriksaan Iwik ditolak oleh jaksa, sebelum akhirnya Iwik diserahkan ke Kejak-saan Tinggi Yogyakarta sebagai tersangka pada 17 April 1997.
Tapi skenario ini bubrah di Pengadilan Negeri Bantul. Sebagian fakta yang diklaim jaksa ternyata fiksi. Iwik dikatakan menyerang Udin sekitar pukul se-belas malam, tapi semua saksi mengatakan saat itu Iwik justru tengah tidur di rumahnya.
Jaksa menuduh Iwik menyerang Udin dengan alat yang dia ambil dari tempat kerjanya-sebuah pipa berkarat yang berisi cor-coran semen. Tapi, me-nurut Marsiyem, pipa yang dibawa tamu misterius le-bih mengkilat. Sekretaris Dymas Advertising, Ratna Ismariana, pun ragu-ragu. Katanya, di perusahaannya tidak ada pipa yang diisi semen.
Bukti lain, kaus lengan panjang merah yang me-nurut jaksa dikenakan Iwik saat menyerang Udin pun mentah. Lagi-lagi Marsiyem membantah. "Lelaki itu mengenakan kemeja warna oranye, lengan panjang. Rambutnya ditutup ikat kepala, warnanya senada de-ngan baju," ujarnya kepada Tempo.
Jaksa juga mengatakan, di jaket serta alat pembunuh ditemukan darah kering yang setelah dites DNA, terbukti milik Udin. Tapi jaket sebagai barang bukti pun ditolak di pengadilan. Bukti lain seperti celana jins, jam tangan, ikat pinggang, dan sepatu Bata hitam juga berguguran.
Barang bukti berupa Vespa bernomor polisi AD-6739-KE, milik Udin, pun ikut gugur. Tetangga Udin, Ayik Fatonah-yang melihat dari jauh saat Udin me-nemui tamu misterius itu-mengatakan dari sua-ra-nya dia yakin motor yang digunakan penyerang Udin bermerek Yamaha.
Barangkali itu sebabnya pada 3 November 1997, se-telah tujuh jam bersidang, jaksa berbalik arah: minta Iwik dibebaskan. Tim jaksa yang beranggota-kan -Amrin Naim, Ahmad Yuwono, Hartako, dan Yur-sin Ni-coriawan mengatakan, mereka cuma bisa mem--buktikan bahwa Udin dibunuh, tapi gagal mem-buktikan bahwa pembunuhnya adalah Iwik.
Akhirnya, pada 27 November 1997 tim hakim P-engadilan Negeri Bantul yang dipimpin Endah Sri Murwati membebaskan Iwik. "Mulanya Endang ragu. Saya katakan jangan ragu, Anda tak selama-nya di Bantul," ujar Sahlan mengenang saat-saat se-belum vonis bebas itu. Sahlan bukan anggota tim, tapi sering menjadi tempat berkonsultasi.
SETELAH Iwik bebas, kecurigaan kepada Sri Roso me-nguat. Skenario asmara diduga sengaja dibuat un-tuk- meloloskan Sri Roso. Iwik melontarkan kecuri-ga-an tersebut di pengadilan. "Edy memang tak menye-but- nama Sri Roso. Tapi katanya kalau mau mengaku saya akan mendapat hadiah dari Bupati," kata Iwik.
Polisi sebenarnya tidak diam, paling tidak menurut Mulyono. Berbulan-bulan mereka mengarahkan penyelidikan ke Sri Roso. Mulyono menceritakan, polisi juga mengawasi orang-orang dekat Sri Roso. Polisi, misalnya, pernah mengikuti seorang camat. Semua orang yang berhubungan dengan camat itu diikuti. Hasilnya nihil.
Harus diakui, sejauh ini tak ada bukti material yang memberatkan Sri Roso. Cuma, keputusan polisi mencoret Sri Roso dari daftar "target" dinilai terlalu terburu-buru. Ada banyak cerita yang bisa membuat orang curiga: Sri Roso "ada main".
Hakim di pengadilan Bantul, Sahlan Said, m-isal-nya, menceritakan rapat muspida Bantul yang di--ge-lar Sri Roso beberapa waktu sebelum Udin di-se-rang. Menurut Sahlan, dalam forum itu Sri Roso me--ne-gaskan bahwa Udin harus sudah mereka tuntut pa-da Agustus 1996 itu. "Waktu itu wakil dari kejak-saan tidak hadir. Tapi lalu dijemput," ujarnya.
Kehadiran keponakan Sri Roso, Rahayu Sri Kuncoro alias Kuncung, di tempat kejadian yang begitu cepat juga mencurigakan. Kuncung bersama teman-temannyalah yang membawa Udin ke RS Bethesda menggunakan jip. Kepada polisi dia mengaku baru selesai nonton pertandingan voli.
Yang aneh, dia meluncur dari lapangan voli ke rumah Udin tak sampai semenit. Padahal jaraknya cukup jauh. Kuncung juga mengaku tak bertemu siapa pun di dekat rumah Udin malam itu, tapi suami-istri Bambang mengaku berpapasan dengan Kuncung sekitar 200 meter dari tempat kejadian. Ketika itu, menurut mereka, belum terjadi apa-apa.
Belum lagi soal notes Udin yang "hilang". Beberapa saat setelah pemakaman, ditemani kakak Udin, anak buah Edy datang ke Krisna Foto mencari barang bukti. Mereka membawa catatan dan sebuah notes milik Udin. Seorang teman Udin yang mengaku pernah membacanya, kepada Tempo mengatakan, notes itu antara lain berisi catatan mengenai proposal Sri Roso ke Yayasan Dharmais dan megaproyek Parangtiritis.
Belakangan Edy mengatakan notes itu hilang. Namun, yang mengejutkan, saat ditemui Tempo, Mulyono malah mengatakan dia yang menyimpan notes itu. Tapi dia membantah bahwa isinya menyangkut Sri Roso. "Itu catatan wartawan, tidak ada gunanya untuk penyelidikan," ujarnya.
Menurut dia, ketika notes itu mulai dipermasalahkan, dia memintanya dari Edy. "Waktu serah terima saya serahkan kepada Kapolda berikutnya (alm. Bani Siswono). 'Ini yang jadi geger, nih,' saya bilang begitu." Tapi Logan Siagian, yang sekitar enam bulan menjabat Kapolda Yogyakarta pada 2000, mengaku tak mewarisi notes itu dari pendahulunya.
Edylah yang ketiban pulung. Dia diadili di peng-adilan militer karena menghilangkan notes tadi. "Terakhir saya dengar dia divonis bersalah dan di-kurung beberapa bulan," ujar Logan. Mana yang benar? Sa-yang, Tempo tak berhasil menjumpai Edy. Keluarganya di Bantul mengatakan Edy pindah ke Jakarta dan sudah empat bulan tak pulang ke rumah.
Di luar itu, cerita tentang Sri Roso menyewa pembunuh bayaran untuk "menghabisi" Udin beredar di Yogyakarta. Marsiyem pada November 1996, misalnya, menerima surat kaleng dari seseorang berinisial GM yang mengaku sebagai pembunuh Udin. Dalam surat yang ditulis tangan dan dikirim via pos itu, GM mengatakan dia dibayar oleh sebuah instansi resmi untuk menghabisi Udin. Surat kaleng ini mengarah kepada keterlibatan Sri Roso.
Sebelumnya, ada preman yang mengaku hendak direkrut Sri Roso untuk pekerjaan kotor itu. Namun, karena tak cocok harga, preman itu menolak. Logan yang ditanyai Tempo mengenai hal ini mengaku sempat mendengar cerita seperti itu. Cuma, katanya, sulit bagi polisi untuk menelusuri cerita tanpa bukti. "Kacau hukum kita kalau semua cerita burung dianggap benar," ujarnya.
Kini mantan Bupati Bantul itu hidup tenang di rumahnya yang lega di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Pada awal Juli lalu Tempo berhasil menghubungi-nya lewat telepon, tapi ia menolak berkomentar. "Sudahlah. Sudah sepuluh tahun saya selalu ditanya soal itu," ujarnya. "Kalau memang preman itu tahu cerita pembunuhan Udin, laporkan saja ke polisi."
SEPULUH tahun sudah berlalu, rahasia pembun-uh Udin belum juga terkuak. Dan akan kian sulit ka-re-na polisi kukuh pada pendapat semula. Pe-nyelidikan ulang yang dilakukan oleh para pengganti Mul-yono, dari Bani Siswono, Logan Siagian, hingga Saleh Saaf, selalu berakhir pada kesimpulan yang sama. "Bagi polisi, kasus Udin sudah final. Kesimpul-an kami, pelakunya Iwik," ujar Logan.
Namun, bukankah Iwik dibebaskan peng-adilan? "Tanyakan kepada jaksa kenapa mereka malah me-nuntut bebas," ujar Mulyono.
Sebenarnya, setelah semua bukti yang memberatkan Iwik mentah di pengadilan, tuntutan bebas oleh jaksa sangat masuk akal. Tapi, saat mencoba mene-lusuri pertanyaan Mulyono, Tempo menemukan hal lain. Rupanya, ada "pertarungan" yang melibatkan pejabat tinggi di baliknya: tuntutan bebas itu pesanan dari Jakarta! (baca Dua Gajah Udin di Tengah).
Terkuaknya permainan politik di balik kasus Udin ini memang tidak serta-merta membuka jalan bagi upaya menemukan si pembunuh. Namun ini membuka lembaran hitam lainnya. Ternyata Udin bukan cuma dituduh "nakal", tapi kasusnya menjadi obyek politik orang gedean.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 339, mengatur bahwa kasus pembunuhan berencana akan kedaluwarsa 12 tahun. Bisa sampai 18 tahun jika tergolong "makar mati"-pembunuhan yang nyaris sempurna sehingga tersangka sulit dituntut di peng-adilan. Ini berarti, paling lama delapan tahun lagi, tragedi Fuad Mohammad Syafruddin akan tinggal menjadi catatan hitam dalam sejarah pers nasional, juga kepolisian.
Kejanggalan yang Lain
Ada beberapa fakta bercampur fiksi yang tercecer sepanjang penyelidikan kasus Udin. Berikut beberapa kejanggalan tersebut:
- Sekitar dua jam sebelum diserang di rumahnya, Udin ditemui Hatta Sunanto dan Suwandi di kantor harian Bernas. Hatta adalah anggota DPRD II Bantul, tetapi kepada petugas resepsionis dia mengaku bernama Sukrisno-ini nama kakaknya yang menjadi Kepala Urusan Pemerintahan Wirokerten, Bantul. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, tetapi seperti ditulis Jose Manuel Tesoro dalam bukunya, The Invisible Place-the true story of a journalist's murder in Java, setelah itu Udin tampak tidak tenang.
- Edy Wuryanto, intel Polres Bantul, meminjam darah Udin yang ditampung di plastik dari ayah Udin, Wagiman Jenggot. Darah itu tak pernah dikembalikan. Belakangan Edy mengaku melarung darah itu ke laut untuk mendapatkan "petunjuk". Tapi bagi Tim Kijang Putih, tim investigasi yang dibentuk Heru Prasetya, redaktur Bernas, dan beberapa wartawan Yogyakarta, perilaku Edy itu aneh. Menurut mereka, sebelumnya Edy tak pernah mempraktekkan hal semacam itu. Muncul dugaan darah itu digunakan untuk memerciki jaket dan baju milik Iwik. Ini dibantah Mulyono Sulaiman, mantan Kapolda Yogyakarta. Katanya, darah Udin yang dipinjam Edy itu tak mungkin digunakan lagi karena sudah terkontaminasi. Tapi, menurut ahli forensik yang dihubungi Tempo, selama belum terdekomposisi-bisa oleh panas atau mikrobiologi-semua darah basah atau kering bisa digunakan untuk uji forensik.
- Edy mengaku menemukan foto Sunarti dalam dompet Udin. Belakangan terbukti foto itu dia reproduksi dari foto pernikahan Sunarti-Iwik yang dipinjam dari Kantor Urusan Agama Bantul.
- Rahayu Sri Kuncoro alias Kuncung, keponakan Sri Roso, bukan polisi, tapi ikut aktif membantu Edy membujuk Tri Sumarni, tetangga sekaligus teman "ngebrik" Udin, agar mengaku sebagai pasangan selingkuh Udin. Dua kali dia membujuk gadis itu dan menjanjikan uang. Sumarni menolak lalu minta perlindungan LBH Yogyakarta.
- Keluarga Sri Roso meniupkan gosip bahwa Udin suka berselingkuh. Isu itu antara lain muncul di majalah berbahasa Jawa, Jayabaya. Majalah itu menulis bahwa Udin doyan perempuan, demikian juga ayahnya Wagiman Jengggot. Marsiyem juga dituduh berselingkuh dengan Sujarah, tetangganya. Tim Kijang Putih menemui Thojib Djumadi, si penulis berita, untuk minta keterangan. Menurut Thojib, cerita-cerita itu dia dapat dari Kuncung dan ayahnya, R. Gunawan, anggota DPRD Bantul, kakak Sri Roso.
- Menurut polisi, juru parkir PN Bantul, Supriyadi, mengaku melihat Udin memboncengkan seorang wanita berambut pendek, siang 12 Agustus 1996. Perempuan itu dicurigai sebagai Sunarti. Ternyata, yang dibonceng Udin adalah Sumadiyono, wartawan harian Yogya Post. Adapun Sunarti tengah merias pengantin di tempat lain. Belakangan Supriyadi menolak menjadi saksi.
- Jaksa Penuntut Umum Kasus Udin, Amrin Naim, mengatakan, polisi pernah menunjukkan beberapa laki-laki berhelm "cakil" di balik kaca transparan kepada Marsiyem di Polda Yogyakarta. Ketika itu Marsiyem menunjuk Iwik sebagai orang yang mirip pelaku. Padahal, menurut Tim Kijang Putih, ketika Marsiyem diminta polisi untuk mengenali beberapa lelaki pada 25 November 1996, mereka memakai ikat kepala. Pada saat itu dia menyatakan tak ada yang mirip.
Sumber: Buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah (Heru Prasetya dkk), kliping majalah D&R, fakta-fakta di persidangan, dan wawancara Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo