Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULYONO Sulaeman tak pernah melupakan- pem-bicaraannya dengan Subagyo H.S. 10 ta-hun silam. Saat itu ia adalah Kepala Ke-po-lisian Daerah Yogyakarta dan tengah me-na-ngani kasus tewasnya Udin, sementara Su-bagyo H.S. adalah Panglima Kodam Diponegoro. ”Pak Mulyono, kamu jangan takut. Saya ada di bela-kangmu,” kata Subagyo seperti ditirukan Mulyono.
Janji Subagyo itu tidak main-main. Dia ingin polisi tidak gentar seandainya penyelidikan polisi meng-arah kepada Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul yang masih aktif sebagai kolonel TNI. Karena menyandang jabatan lebih tinggi dari Sri Roso, back-up Subagyo itu memberi dukungan bagi polisi agar tak gentar. ”Telusuri. Kalau betul dia (di belakang pembunuhan Udin—Red.), jangan ragu,” kata Mulyono menirukan janji Subagyo.
Menurut Subagyo, kejadiannya tak persis seperti itu. Ia mengaku tak pernah secara khusus membicarakan kasus Udin dengan Mulyono. Sebagai teman satu angkatan di Seskoad, mereka memang ak-rab berkomunikasi apa saja. ”Dan, dalam kasus Udin, waktu itu saya mendukung Pak Mulyono untuk me-laksanakan tugas penyelidikan sesuai pro-sedur yang ada,” kata Subagyo pekan lalu.
Pangdam Diponegoro ikut campur? Mulyono meng-ungkapkan ceritanya berawal pada 1996. Saat itu adalah tahun terakhir Sri Roso menjadi Bupati Bantul. Sebagai Panglima Kodam, Subagyo menanyai Sri Roso apakah masih berminat menjadi bupati periode berikutnya. Kepada Subagyo, Sri Roso mengaku tak berminat lagi.
Tata krama politik Orde Baru memang mensyaratkan restu ”pusat” kepada seseorang yang ingin menjadi kepada daerah. Subagyo sebagai ”penguasa” militer daerah punya wewenang untuk mengkoordinasi ”politisi” tentara di daerahnya. Untuk itu, ia mencari tokoh yang pas untuk menggantikan Sri Roso.
Di Bantul, belakangan yang terjadi adalah sesuatu yang tak diduga Subagyo. Sri Roso, yang semula menolak jadi bupati lagi, malah mendekati Noto Suwito untuk menjaga kelanggengan kursi kekuasaannya. Kepada adik Presiden Soeharto itu, Sri Roso menjanjikan dana Rp 1 miliar untuk Yayasan Dharmais jika ia dapat dipertahankan menjadi bupati. Yaya-san Dharmais adalah salah satu lembaga yang dibina Soeharto.
”Pak Bagyo merasa dikhianati. Apalagi Bantul kan kampungnya beliau,” kata Mulyono Sulaeman. Dia berang karena Sri Roso terkesan meremehkan posisinya sebagai Panglima Kodam.
Kepada Tempo, Subagyo menyatakan tak pernah menghubungi Sri Roso berkaitan dengan jabatan bupati periode berikutnya. Tetapi dia mengakui saat itu Kodam IV Diponegoro mempunyai calon lain untuk menggantikan Sri Roso. ”Prestasi Sri Roso dinilai biasa-biasa saja, jadi Kodam mengusulkan kepada Mabes ABRI agar diganti saja,” kata dia.
Subagyo juga mengakui Noto Suwito pernah menghadap padanya dan menyarankan untuk mendukung Sri Roso. ”Tetapi Kodam tetap pada pertimbangan semula, yakni mencalonkan orang lain,” kata dia.
Ternyata laju Sri Roso ke jabatan periode keduanya tak tertahankan. Tetapi masa jabatan ini tak sampai tuntas ia jalankan. Kelak, Sri Roso diseret ke meja hijau karena tuduhan menyuap Yayasan Dharmais. Sayang, Sri Roso Sudarmo menolak memberikan komentar. Katanya, wawancara dengan media tak ba-nyak lagi gunanya. ”Tak ada manfaatnya. Kalau Anda kira itu bermanfaat buat Anda atau siapa saja, silakan. Tapi buat saya pribadi tak ada manfaatnya. Jadi, saya tak mau berkomentar apa pun,” ujarnya.
DUKUNGAN Subagyo membikin Mulyono men-jaga jarak dengan Sri Roso. Mulyono mengaku, sejak menjadi Kapolda Yogyakarta September 1996, se-bulan setelah kematian Udin, ia membuka segala- kemung-kin-an perkembangan kasus Udin, termasuk- jika meng-arah pada Sri Roso. ”Dia senior saya di Se-kolah Komando Angkatan Darat. Dia pernah coba meng-hubungi, tak pernah saya ladeni,” kata Mulyono.-
Meski ia mendapat ruang menelisik Roso, entah mengapa penyelidikan polisi lalu mengarah ke Dwi Sumaji alias Iwik sebagai terdakwa utama. Mulyono sangat yakin Iwik adalah pelaku utama karena cemburu istrinya dipacari Udin. Berbagai barang bukti plus pengakuan Marsiyem, katanya, mengarah ke sopir di sebuah kantor periklanan di Yogyakarta itu. Mulyono menampik jika dikatakan ada rekayasa po-lisi untuk mengaburkan pelaku sesungguhnya. ”Kalau ada rekayasa, buat apa saya meminta reserse dari Jakarta untuk melakukan penyelidikan tanpa melibatkan polisi Yogyakarta,” ujarnya kepada Tempo.
Reserse Jakarta yang ia maksud adalah tim dari Mabes Polri. Tim ini, antara lain, anggotanya adalah Samuel Ismoko, tokoh penting yang kini ditahan dalam kasus pembobolan Bank BNI. Menurut Mulyono, tim ini melakukan pelacakan dari nol tanpa menggunakan petunjuk dari polisi lokal. ”Hasilnya sama saja,” ujar dia.
Berkas pemeriksaan itu kelak berkali-kali di-tolak kejaksaan. Dan ketika kemudian diterima, jaksa me-lakukan langkah mengejutkan. Dalam persidangan, jaksa menuntut bebas Iwik karena bukti dan kesaksian yang diajukan gugur. Di Pengadilan Negeri Bantul itu juga terungkap, sebagian fakta yang diklaim penuntut ternyata tak benar. Pada 3 November 1997, Iwik dinyatakan bebas murni. Mulyono Sulaeman menyatakan nuansa politik kasus ini terlalu kental.
Sebuah sumber menyebutkan sikap jaksa itu tak bisa dilepaskan dari reaksi Jaksa Agung yang kala itu dijabat Singgih (kini almarhum) terhadap langkah Kapolri Jenderal Polisi Dibyo Widodo. Ceritanya, pada suatu kesempatan, Presiden Soeharto meminta Kapolri memaparkan kasus Udin di Bina Graha. Dibyo menguraikan persis apa yang dihasilkan polisi Yogya dengan Iwik sebagai tersangka. Ia juga menyampaikan fakta-fakta yang diajukan ditolak pengadilan.
Mendengar laporan itu, Soeharto langsung menginstruksikan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti. ”Jaksa Agung tidak berkenan,” kata sumber tersebut. Akibatnya tuntut-an hukuman seumur hi-dup yang sudah direncanakan jaksa penuntut umum Bantul langsung ditarik oleh Kejaksaan Agung. ”Jaksa Agung bikin tuntutan baru, yakni dituntut bebas,” kata si sumber.
Cerita ini dibenarkan Sahlan Said, bekas hakim di Pengadilan Negeri Bantul. Sahlan bukan hakim yang mengadili kasus Udin, namun berkali-kali dimintai pendapat oleh ketua majelis hakim Endang Sri Murwati. Sahlan mengaku pernah didatangi jaksa penuntut umum Amrin Naim setelah beberapa tahun kasus Udin diputuskan. Kepada Sahlan, Amrin mengaku ada dua putusan yang saat itu telah ia siapkan. Pertama, yang menghukum. Kedua, yang membebaskan. ”Yang menghukum adalah berkas yang disiapkan Amrin sendiri. Yang membebaskan adalah pesanan dari Jakarta,” ujarnya. Singkatnya, kata Sahlan, dari Yogya berniat untuk menghukum, dari Jakarta membebaskan.
Amrin, yang dihubungi Tempo, berkisah dua tuntutan itu disiapkan setelah ada pertemuan antara Asisten Jaksa Muda Bidang Pidana Umum Kejaksa-an Agung, Kejaksaan Tinggi Yogya, dan dia sebagai jaksa penuntut umum, di kantor Kajati Yogya. Amrin yang kini sudah pensiun itu lupa tanggal pertemuan tersebut. ”Dalam pertemuan, saya utarakan proses persidangan mengarah Iwik tidak terbukti sebagai pelaku pembunuh Udin,” katanya kepada Tempo (lihat wawancara dengan Amrin).
Tetapi, katanya lagi, jaksa tidak boleh mengajukan tuntutan bebas, sehingga di akhir pertemuan dia diminta menyiapkan dua versi tuntutan. ”Mana yang akan dibacakan di persidangan tergantung perintah dari Kejaksaan Agung,” kata dia. Akhirnya, instruksi turun dan Iwik tetap dituntut bebas. Menurut Amrin, ketika saksi-saksi penting mencabut keterangannya di persidangan, dia tak punya ”senjata” untuk me-nuntut bersalah.
Sahlan pun yakin Iwik tak bersalah. Dia juga menilai kasus Udin sarat rekayasa. Dia sudah membaca semua berkas pemeriksaan dan pernah mengikuti ekspose perkaranya. Menurut dia, tak ada bukti kuat yang bisa menjebloskan Iwik ke penjara. ”Alibi Iwik sangat kuat. Banyak saksi yang mendukung dia. Jadi, sulit menghukum Iwik,” katanya.
Menurut dia, polisi seharusnya me-nelusuri motif politik di balik pembunuhan Udin. Hal itu bisa dilakukan dengan berangkat dari tulisan-tulisan Udin yang kritis tentang Sri Roso. ”Tapi, polisi sungkan. Saya kira karena ada forum Muspida yang terdiri dari bupati, polisi, jaksa, dan pengadil-an,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo