Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETINA Pemain: Kinaryosih, Tutie Kirana, Agastya Kandou, Subur Sukirman Skenario: B.E. Raisuli Sutradara dan Produser: Lola Amaria Produksi: 9 Palm Pictures
SESOSOK tubuh dengan pan-dangan kosong berjalan gontai. Pe-rempuan bernama Betina itu sedang menyediakan sa-rapan sang ibu. Tak ada dialog di antara me-reka. Satu-satunya suara muncul dari Mak Endang, penyiar radio yang setiap hari mengumandangkan berita duka cita.
Betina (Kinaryosih) dan ibunya -(Tutie Kirana) berkomunikasi da-lam bahasa batin sejak ayahnya—seorang tentara mbalelo—raib diculik militer setelah menerbitkan buku NKRI Bukan Tuhan. Sang ibu lebih ba-nyak larut dalam pikiran masa lalunya. Adapun Betina memilih mencurahkan perhatiannya kepada sapi. Ia sehari-hari menjadi pemerah susu di sebuah peternakan.
Kepada sapinya, Betina mele-takkan rasa percaya dan fantasi seksualnya. Betina pun telanjang dada di depan sang sapi. Ia tak sadar di luar sana ba-nyak ”serigala” mengintai: Luta penjaga sapi, Choky mandor koperasi susu, dan Mamang Otig juragan ternak sapi.
Ia mulai jatuh hati pada lelaki ke-tika melihat seorang penghulu makam bu-kit segi tiga (Agastya Kandou). Ta-pi -lelaki itu hanya muncul jika ada upacara kematian. Betina pun selalu -berharap setiap saat ada orang yang ma-ti, agar ia dapat berjumpa de-ngan ”sang pa-ngeran kematian”. Ia tak peduli- -siapa pun yang mati, tak ter-kecuali sang ibu.
Kesunyian, penantian, juga kemati-an, adalah dunia yang dihadapi Betina. Ini tema yang sangat me-narik se-kaligus tak ringan bagi sebuah karya film. Dan sutradara Lola Amaria memilih mengambil risiko menyelam ke dalam tema itu pada karya perdana-nya ini. Apakah ia berhasil?
Film berformat video digital ini di-awali dengan narasi tentang ja-mur k-otoran kandang sebagai sa-ji-an me-nuju alam roh. Sajian ini masih muncul dalam ritual masyarakat tradi-sional di kawasan penganut kepercayaan magis. Dari narasi tersebut gambar kemudian bergerak ke adegan Betina menyediakan sarapan ibu, dan seterusnya dan seterusnya. Sekalipun di tengah film ada adegan Betina, ibu Betina, dan ”pangeran kematian” mengalami efek halusinasi setelah memakan jamur, apa sih perlunya na-rasi itu jika kemudian film lebih banyak menyuguhkan pergulatan batin Be-tina? Dan bukankah tanpa ”petunjuk” narasi itu penonton sudah cukup pintar mengikuti logika film?
Dunia sepi yang melekat pada ka-rakter Betina sebenarnya menjadi pa-danan yang pas dengan gaya bertutur minim dialog yang telah dipilih Lola. Dialog akhirnya hanya meng-isi se-kitar seperempat film. Ini meng-ingatkan pada film Bulan Tertusuk Ilalang milik Garin Nugroho atau beberapa film Akira Kurosawa yang memang secara sadar meminimalkan porsi dialog. Namun pilihan ini bisa membawa akibat pada terpelesetnya sutradara ke dalam penyuguhan simbol-simbol yang surea-lis yang mengaburkan cerita.
Simbol nisan putih seragam berbentuk segi tiga, prosesi pengantar-an je-nazah oleh pengiring yang memakai topi dari jalinan bambu dan berjubah sama dari karung goni (jadi ingat film Kurosawa) menunjukkan pergeseran latar cerita ke arah yang lebih absurd. Ending film pun bernasib sama, bahkan cenderung merontokkan bangun-an cerita yang sudah susah payah ditata sejak awal. Pada adegan ini, Be-tina yang tak jua didatangi ”pa-ngeran -kematian” menemukan gerbang ma-kam yang bertuliskan kata ”full”.
Ada pula soal teknis yang mengganggu, seperti pemilihan lagu dang-dut Bang Toyip yang menggelegar di antara lengkingan suara jazzy Syaharani. Atau detail gambar yang menyorot jenazah yang masih bernapas. Kok terlewat sih?
Dengan sejumlah kelemahan itu, film yang memakan waktu pembuat-an selama dua tahun ini—dan diputar ke-liling ke kampus-kampus—menawarkan gaya penuturan yang berbeda dari film komersial biasa. Ini kebe-ranian dari aktris yang tak memiliki latar pendidikan sinematografi itu. Lola dan tim kreatif di film ini belajar membuat film lewat workshop dari kelompok film independen dan bim-bingan dari Aria Kusumadewa, sutradara Beth dan Novel tanpa Huruf ’R’. Ke-betulan Lola Amaria memang menjadi produser kedua film Aria. Kini Lola melengkapi predikat sutradara pada diri-nya. Sebuah langkah yang semoga lebih baik.
Evieta Fadjar, Yos Rizal S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo