Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

24 Tahun Reformasi: Menolak Kekerasan, Merawat Kebebasan Berekspresi

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penindasan berlanjut. Tanda-tanda kemajuan HAM yang sempat dijanjikan di awal reformasi kini seolah ambruk.

21 Mei 2022 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mahasiswa Universitas Trisakti menyalakan lampion dan menabur bunga saat aksi malam gelora di Tugu 12 Mei Reformasi, Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 11 Mei 2022. Aksi tersebut untuk memperingati 24 Tahun tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menelan korban empat orang mahasiswa Trisakti saat memperjuangkan reformasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami sudah lelah dengan kekerasan.”

Pernyataan mendiang Munir Said Thalib tersebut mewakili kegelisahan banyak orang yang menyaksikan kekejian rezim Orde Baru. Demi melanggengkan kekuasaan, pemerintahan Soeharto fasih menggunakan cara-cara bengis, salah satunya melalui pembungkaman pendapat. Seseorang atau kelompok yang dinilai memiliki pandangan dan ekspresi anti-Orde Baru dilarang bersuara, diculik, bahkan dibunuh.

Dengan demikian, pernyataan Munir di atas tidak hanya mencerminkan kenyataan yang getir, namun juga harapan terlahirnya Indonesia yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), termasuk kemerdekaan mengutarakan gagasan. Kebebasan dan penghentian kekerasan lantas menjadi dambaan gerakan rakyat pada 1998: reformasi.

Namun, 24 tahun pasca-kelahiran gerakan reformasi, apakah Indonesia sudah benar-benar menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, terutama hak kebebasan berpendapat tanpa ancaman?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan awali dengan menyoroti beberapa capaian sebelum menunjukkan sejumlah catatan dan saran perbaikan kepada Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya.

Asa untuk Kebebasan Berekspresi

Setelah Soeharto lengser, pemerintah mengesahkan beberapa peraturan ramah HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga sepakat mengadopsi standar-standar HAM internasional, seperti ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada 2005. Kedua peraturan ini secara gamblang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pemikiran.

Berbagai peraturan yang digunakan Orde Baru untuk membatasi ekspresi pun dicabut. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi pada 1999.

Di lembaga penegak hukum, beberapa peraturan baru yang kental nilai-nilai HAM diperkenalkan. Contohnya, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa yang mewajibkan kepolisian melindungi, mengayomi, dan melayani penyampaian pendapat di muka umum.

Cita-Cita Reformasi yang Ambruk

Upaya-upaya di atas memberi sinyal positif kepada masyarakat yang sudah lelah dengan kekejaman. Sayangnya, kemajuan yang diharapkan belum menyeluruh.

Beberapa peraturan usang, bermasalah, dan memberangus ide masih dipertahankan, seperti pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Ada pula peraturan-peraturan baru yang tidak sejalan dengan HAM. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, kerap digunakan untuk membatasi ekspresi-ekspresi damai, bahkan penelitian ilmiah. Menurut SAFEnet, pada 2020 saja terdapat 64 kasus pemidanaan warganet yang menggunakan UU ITE. Bayangkan berapa besar jumlah kasus penyalahgunaaan UU ITE jika ditambah dengan tahun-tahun lainnya.

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penindasan berlanjut. Catatan Hari HAM 2021 (CahaHAM 2021) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, menemukan setidaknya 150 dugaan kasus kekerasan yang berkaitan dengan situasi kebebasan berekspresi. Kepolisian menjadi terduga pelaku kekerasan terbanyak dengan jumlah 100 kasus yang meliputi pelarangan dan pembubaran paksa unjuk rasa damai, penangkapan sewenang-wenang peserta demonstrasi, penganiayaan, dan lain-lain.

Cara-cara pembungkaman baru juga muncul. CahaHAM 2021 KontraS menemukan setidaknya 42 kasus serangan digital yang ditujukan kepada masyarakat dalam bentuk peretasan, penyebarluasan informasi pribadi tanpa persetujuan, intimidasi, dan bentuk serangan siber lainnya.

Walhasil, tanda-tanda kemajuan yang sempat dijanjikan di awal reformasi kini seolah ambruk. Sehingga, jawaban atas kegelisahan di atas adalah: Indonesia belum benar-benar menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, dan kita belum menikmati kebebasan berekspresi yang hakiki.

Langkah-langkah Merawat Kebebasan

Saya percaya bahwa merawat kebebasan dan menolak kekerasan patut selalu diupayakan. Lagi pula, menjunjung tinggi demokrasi dan HAM akan memberi lebih banyak keuntungan daripada kerugian bagi para pemimpin negara ini.

Pemerintah dapat memulai dengan menghentikan segala bentuk ancaman pidana terhadap orang-orang yang menyatakan pendapat secara damai. Gagasan ini dapat diikuti dengan membebaskan orang-orang yang dipenjara hanya karena berekspresi secara damai. Jika saran-saran ini diterima, pemerintah setidaknya dapat mencegah bertambahnya masalah yang terkait dengan penjara yang sudah sumpek.

Lebih jauh lagi, pemerintah dapat mencabut atau merevisi peraturan yang menimbulkan ketakutan untuk berpendapat, seperti UU ITE. Jika masyarakat mampu berekspresi tanpa rasa takut, keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan dapat meningkat. Peningkatan partisipasi tersebut, walhasil, dapat mengurangi beban kerja pemerintah dan menghindari risiko-risiko ketidakpuasan yang dapat berujung pada ketidakstabilan.

Bila pemerintah melakukan saran-saran di atas segera dan tanpa syarat, saya percaya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah akan meningkat.

Kita Lelah dengan Kekerasan

Dapat disimpulkan bahwa meski 24 tahun setelah reformasi terdapat beberapa kemajuan demokrasi dan HAM, pekerjaan rumah kita juga masih banyak. Di arena kebebasan berpendapat saja, masih ada peraturan lama dan baru yang menindas ekspresi damai dengan cara-cara lawas dan anyar. Aparat penegak hukum pun laksana belum siap membenahi diri.

Namun, upaya-upaya merawat kebebasan dan menolak kekerasan tidak boleh berhenti. Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah konkret, seperti menghentikan kriminalisasi, membebaskan tahanan nurani (prisoner of conscience), dan merevisi UU ITE, demi mewujudkan Indonesia yang lebih manusiawi.

Karena—sedikit memodifikasi pernyataan Munir di awal tulisan—sejatinya kita semua sudah lelah dengan kekerasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Fatia Maulidiyanti

Fatia Maulidiyanti

Pegiat Hak Asasi Manusia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus