Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdamaian di Timur Tengah merupakan kemustahilan bila menilik sejarah pertikaian dua jiran seketurunan serta serumpun selama enam dekade terakhir: Israel dan Palestina. Kendati demikian, wajiblah kita sebagai warga dunia berseru lantang agar proses perdamaian kedua bangsa segera diupayakan kembali.
Lebih dari 400 nyawa manusia yang tercabut oleh bombardir Israel di Jalur Gaza sepekan terakhir tentu bukan soal kecil. Begitu pula 2.000 lebih manusia yang terluka parah serta ribuan lain yang kehilangan tempat tinggal. Seruan damai bisa dimulai dengan langkah pragmatis, yaitu gencatan senjata.
Ini bukan sekadar respons terhadap korban perang yang telah pecah berulang kali, melainkan kepedulian kita ketika harkat kemanusiaan dilorotkan ke titik paling nadir di Jalur Gaza. Indonesia—negara dengan warga muslim terbesar di dunia dan punya identitas moderat—bisa memainkan peran besar, terutama dalam mendekati otoritas Hamas di Gaza, untuk suatu gencatan senjata.
Betul ini tidak mudah mengingat pertikaian Israel dan Hamas sudah memuai ke titik didih. Israel selalu menyatakan sekadar membela diri terhadap serangan Hamas. Dan Hamas—penguasa Jalur Gaza—akan menutup kuping pada seruan damai dan terus memilih berperang karena ”kami hanya meminta kembali hak kami yang dirampas Israel”.
Tapi hari-hari ini, tak perlulah kita berdebat tentang sejarah ketika nyawa manusia yang tercabut bertambah setiap saat. Perserikatan Bangsa-Bangsa—betapapun tidak direkennya oleh Israel—harus mendesak dengan keras agar Israel meletakkan senjata. Pemerintah Tel Aviv perlu dibujuk agar mau membuka pintu perbatasan lebih lebar supaya para pekerja kemanusiaan internasional dapat membantu para korban.
Kita tahu bantuan para ”kawan dekat” Palestina macam Iran dan Suriah tentu akan ditolak mentah-mentah oleh Israel, yang memegang kunci pintu perbatasan. Di sini, lagi-lagi, Indonesia bisa menyodorkan peran lebih besar untuk bantuan kemanusiaan.
Fakta perang yang pincang di Gaza membuat rakyat Indonesia—yang punya kedekatan emosional dengan Palestina—seperti mendapat dorongan kuat membantu. Enam warga Israel serta sejumlah kambing dan domba di selatan Israel terbunuh oleh roket Hamas. Pembalasannya berlipat ganda, 400 lebih nyawa mati dalam sepekan.
Tapi kondisi di sana tak perlu diperkeruh dengan mengirim ”relawan bersenjata” atau ”relawan berani mati” dari Indonesia. Selain hanya menggarami lautan, tindakan ini sama sekali tak membantu meredakan derita warga sipil di kawasan panas itu. Yang diperlukan di Gaza sekarang adalah bantuan kemanusiaan: tenaga medis, obat-obatan, makanan, dan relawan yang membantu korban di wilayah konflik.
Sikap realistis dan jernih dari negara-negara yang membantu amat diperlukan sekarang ini. Sebab, perang di Gaza juga menjadi komoditas politik domestik kedua pihak. Israel akan menggelar pemilu pada Februari 2009. Pemerintah yang berkuasa perlu citra kuat di depan pemilih konservatif, yang merupakan kelompok pemilih terbesar di Israel. Parlemen Israel, Knesset, pun memberikan restu menghajar Hamas sampai ke akar-akarnya.
Pihak Hamas tak sudi menoleh pada arahan Presiden Palestina Mahmud Abbas dari Tepi Barat yang mereka pandang lemah dan doyong pada kemauan Israel dan Amerika. Sehingga gencatan senjata yang kita usulkan ini bukan solusi mudah—dan tentu saja bukan solusi baru. Tapi, sekali lagi, ini jalan paling masuk akal untuk mengurangi jumlah korban di Gaza pada hari-hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo