Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA ekonomi global lesu, pencanangan tahun 2009 sebagai tahun industri kreatif oleh pemerintah jelas menumbuhkan harapan. Segala rupa ide bernas diharapkan semakin berkembang. Dari kegiatan itu dompet devisa negara bakal bertambah, lapangan kerja juga terbuka.
Industri yang mengandalkan daya cipta manusia ini—antara lain fashion, animasi, buku dan penerbitan, arsitektur, televisi dan radio, juga teknologi informatika—memang menyimpan potensi luar biasa. Pada 2002-2006, industri ini telah menyumbang 6,28 persen produk domestik bruto atau sekitar Rp 104,637 triliun. Jumlah sumbangan ini diprediksi akan terus berkembang. Tak kurang dari lima juta orang sekarang bekerja di industri ini, sumber penyerap tenaga kerja yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Sebetulnya perhatian pemerintah bisa dibilang sedikit terlambat. Selama dua dekade terakhir, banyak negara di dunia menyadari industri berbasis kreativitas intelektual itu merupakan gelombang keempat penggerak sistem ekonomi dunia—setelah industri pertanian, manufaktur, dan teknologi mekanik.
Itu sebabnya sejumlah negara telah mengembangkan industri kreatifnya dengan perhatian (dan modal) besar. India punya Bangalore, tiruan Silicon Valley di Amerika Serikat—pusat industri peranti lunak sejak 1990-an. Jepang menyatukan seluruh gerak industri kreatifnya di Akihabara, tak jauh dari Tokyo, sejak akhir 1990-an. Malaysia juga mengembangkan distrik Putrajaya sebagai pusat industri kreatifnya. Negara Kota Singapura meluncurkan master plan pembangunan industri kreatif berbasis teknologi informatika dan bio-sains sejak 1997 sampai 2018.
Indonesia pun telah mengayunkan langkah di jagat industri kreatif ini. Tak sedikit tokoh lokal yang sanggup menembus pasar global teknologi informatika. Ada pencipta peranti lunak tentang belajar matematika yang digunakan di 23 negara. Ada pula perancang sistem penunjang operasi telepon pintar yang digunakan produsen telepon seluler ternama Nokia. Karya-karya itu membuktikan anak-anak Indonesia mampu berlaga di ajang kreativitas dunia.
Dengan dukungan lebih besar dari pemerintah, akan lebih banyak karya muncul. Peran pemerintah sebagai konduktor orkestra, bila dijalankan dengan baik, pasti membuat produk kreatif Indonesia makin bersaing di pasar dunia. Infrastruktur, institusi pendidikan, riset, serta perlindungan hukum hak cipta masih amat lemah di sini. Para pembajak berleha-leha, aksinya nyaris tanpa perlawanan aparat hukum. Semua itu menyebabkan industri kreatif masih kurang subur di negeri ini.
Pencanangan tahun industri kreatif baru menunjukkan pemerintah ingin mendorong iklim kreativitas. Cetak biru pengembangan industri kreatif 2009-2025 memang telah disiapkan Departemen Perdagangan. Tapi itu belum cukup. Tantangan nyata tidak terletak pada konsep semata, tapi juga pada pelaksanaan di lapangan.
Pengalaman Jepang, India, dan Singapura mengajarkan bahwa industri kreatif membutuhkan tiga pilar utama untuk tumbuh. Pertama, tersedianya sistem pendidikan yang peka terhadap kebutuhan industri. Perlu disiapkan pelatihan berbagai jenis keahlian. Kedua, adanya lembaga yang berdedikasi dan tegas dalam pengurusan hak paten. Ketiga, ada kemitraan pemerintah dan swasta dalam memasarkan hasil industri kreatif.
Tiga pilar itu mesti disediakan pemerintah agar pencanangan tahun industri kreatif ikut menggerakkan ekonomi. Yang terpenting, tak berhenti sebagai slogan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo