Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Air Mata Haji Baruna

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eka Budianta Alumni LEAD International dan pemenang Hadiah Ashoka sebagai inovator publik

TIDAK ada bangsa yang menjadi maju dengan cara menjual air semurah-murahnya. Begitu kata Wak Haji Baruna, yang disegani karena hidupnya sederhana.

"Di negeri maju mana pun, air mendapat penghargaan tinggi. Agama apa pun memperlakukan air sebagai barang suci. Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada kita, Allah menurunkan rahmat-Nya kepada manusia melalui air," katanya mantap.

Orang mengenalnya sebagai ulama yang tak mau ketinggalan zaman. Umurnya baru 50 tahun. Badannya tegap. Sebagian orang memanggilnya Bahrun. Tapi ia tidak suka. "Saya ini lahir di tepi Kali Brantas. Ayah saya memberi saya nama Baruna. Maksudnya Varuna, dewa air," begitu penjelasannya.

Semua agama dan bangsa yang tinggi kebudayaannya tidak lupa kepada air. Orang-orang Indian kulit merah di Benua Amerika punya Mississippi, yang berarti ayahanda air, setara dengan ibu pertiwi bagi manusia kepulauan Indonesia.

Indonesia sendiri berarti negeri air, atau tanah air, indos nesos. Dan Pak Haji Baruna, tetangga saya di Pulomas itu, ternyata pemerhati bisnis air minum dalam kemasan. Dari dia kita bisa belajar membedakan commercial marketing dan social marketing.

"Menjual segelas air dengan semahal-mahalnya adalah usaha komersialisasi," ujarnya. Caranya bisa dengan memperindah kemasan. Bisa juga dengan mengistimewakan pelayanan: di gelas piala, dengan bunga anggrek, dibawa dengan nampan perak sembari berlenggak-lenggok, misalnya.

Makanya, jangan heran kalau ada segelas air minum berharga US$ 7 di kolam renang hotel bintang lima. "Itu namanya commercial marketing," kata Wak Haji, tertawa.

Nah, social marketing justru sebaliknya. Kita tidak memberikan harga sama sekali. Cuma, kita menyarankan, kalau mau sehat, jangan lupa minum minimal delapan gelas sehari. Delapan gelas? Betul, kecuali kalau mau terkena dehidrasi. Supaya tidak terdengar sedang jualan, segera ia tambahkan bahwa manusia bisa minum beras kencur, kopi, air kelapa, jeruk nipis, susu sapi, cendol. Bahkan bisa juga dalam bentuk kuah, termasuk rawon, sup konro, soto betawi, dan soto madura.

Yang penting dicatat, konsumsi air hanya dua persen dari kebutuhan hidup manusia. Sebagian besar air diperlukan justru bukan untuk diminum, melainkan untuk mandi, buang air besar dan kecil, siram-siram, cuci tangan, cuci mobil, dan cuci pakaian. Jadi, kalau untuk minum sekitar dua liter sehari, total kebutuhan bisa 100 liter seorang. Kalau ditekan, dihemat-hemat, tidak perlu mandi tapi cukup dengan air wudu atau cuci muka, mungkin bisa turun hingga 65 liter. Karena itu, di banyak negeri maju, ada kebiasaan mandi cukup sekali, pakai shower di kamar mandi yang bersih dan kering.

Wak Haji Baruna bilang, di negeri kaya seperti Jepang, memakai air bersih dan membuang air kotor sama-sama kena biaya. Jadi, ada dua meteran di rumah. Satu di muka, untuk air masuk. Satu lagi di belakang, untuk air keluar. Yang keluar itu perlu biaya mahal untuk pemulihan dan daur ulangnya.

Di negeri air yang dikelilingi lautan, air tawar adalah komoditas yang mahal sejak zaman purba. Krisis air bersih seperti yang menimpa Palembang, Pontianak, bahkan Bekasi pada musim kemarau adalah berita klasik yang berulang hampir setiap tahun. Ada keluhan bahwa pelayanan pemerintah buruk, ada juga tudingan kepada El Nino, yang bikin sumur-sumur kering dan hujan menghilang.

Akar dari semua itu cinta kepada sumber alam masih jauh dari yang diharapkan. Air, udara, dan tanah yang subur kurang mendapat penghargaan semestinya. Kalau pasokan air ledeng tersendat, lebih gampang menjelekkan kinerja produsen daripada memperbaiki dukungan konsumen. Padahal semuanya memerlukan biaya, termasuk untuk menjaga kualitas bahan baku dan pelestarian lingkungannya.

Terjadinya eutrofikasi air adalah salah satu masalah global yang semakin terasa. Proses penuaan air permukaan, terutama di danau, telaga, dan embungan, kini dirasakan menggejala di seluruh dunia. Hal itu kita lihat, kita cium, dan kita rasakan bila melihat genangan air yang mestinya jernih menjadi keruh, berlumut, dan berbau busuk. Eutrofikasi, menurut Wak Haji Baruna, bisa jadi merupakan problem terbesar pada ekosistem perairan kita di abad ke-21 ini. Manusia terancam hidup bersama sumber-sumber air yang telah tua.

Ada tiga sumber utama air segar yang harus diperhatikan: air permukaan, air dalam, dan angkasa. Air permukaan sudah mengalami penuaan dan pembusukan, di berbagai danau, sungai, dan rawa-rawa. Sementara itu, untuk air dalam tanah, diperlukan teknologi tinggi untuk menurap, memproses, dan mendistribusikannya. Daerah-daerah imbuhannya perlu dipelihara, dengan penghutanan kembali. Sumber ketiga, angkasa, memberikan air segar melalui hujan dan turun salju. Cara panen, pelumbungan, pengolahan, dan distribusinya belum dimasyarakatkan. "Makanya jangan pikir air itu gampang didapat dan gratis," kata Wak Haji.

Untuk menjaga pasokan air di seputar rumah, minimal setiap orang menanam pohon, sebagai tangki-tangki alamiah, yang menyimpan dan menahan air bersih. Sedangkan untuk menahan eutrofikasi, perlu advokasi dan program-program terpadu yang serius. "Kita harus belajar dari Australia, yang punya Program Penanganan Eutrofikasi Nasional. Kita harus mengembangkan ilmu-ilmu keairan, aquatic sciences," kata Wak Haji.

Untuk membiayai itu semua, kita perlu siap membayar biaya pengadaan air untuk pribadi ataupun untuk publik (pertanian, industri, listrik, transportasi) dengan harga setinggi-tingginya. "Kalau kita pandang rendah, dan kita paksa alam ini mengikuti kemiskinan manusia, mana mungkin masa depan jadi lebih baik?" begitu kata Haji Baruna dengan mata berkaca-kaca. Air segar semakin langka, masalah hidup-mati bagi dua miliar manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus