Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA tersangka kasus bom Bali mulai diadili. Tapi dalam media "Barat" mereka telah divonis bersalah dan disebut "teroris". Kekuasaan imperium kapitalisme global abad ke-21 yang berpuncak di Washington, berporos ke London dan sejumlah kota lain—termasuk Canberra—sangat berkepentingan akan hasil pengadilan ini. Di situ akan ikut divonis: apakah propaganda mereka tentang "jaringan terorisme" di Asia Tenggara ada isinya atau cuma isapan jempol.
Soalnya, Amerika Serikat (AS) telah menangkap dan menginterogasi ribuan orang untuk memburu bukti dan tersangka kasus 11 September 2001—tanpa hasil berarti. Mereka juga gagal menemukan senjata pemusnah massal Irak, alasan utama penghancuran negeri itu.
Serbuan AS ke Irak telah diramalkan Perry Anderson sebelum penyerbuan dimulai (New Left Review, 17/2002: 5-30). Penting disimak uraian Anderson usai penyerbuan. Kekerasan ke Irak, menurut dia, merupakan strategi sementara untuk menciptakan kondisi penaklukan berjangka panjang lewat propaganda, diplomasi, dan ideologi. Penghancuran Irak akan disusul "pembangunan" Irak dan seluruh kawasan Teluk, sesuai dengan kepentingan AS.
Selama Irak diserbu, media massa utama di AS, Inggris, dan Australia menjadi corong propaganda pemerintah. "Penyerbuan" digambarkan sebagai "perang". "Pendudukan" disebut "pembebasan" rakyat Irak. Dengan menjuluki musuh "tirani setan", media massa negeri ini memalaikatkan pemerintah sendiri.
Menghadapi protes rakyatnya, para penyerbu melakukan sensor, bredel, dan pencekalan. Media massa bermodal besar menyajikan kepada publik berbagai kehebatan teknologi perang penyerbu. Apa bukti kehebatan teknologi itu? Berkali-kali senjata AS membunuh pasukan seperjuangan! Dalam penyerbuan Teluk 1991, seperempat serdadu AS yang mati adalah korban senjata rekan seperjuangan. Lebih banyak serdadu Inggris yang terbunuh pasukan AS ketimbang dibunuh Irak!
Indonesia tak kekurangan protes menentang serbuan ke Irak. Sayangnya, sebagian protes itu didorong emosi, dibatasi informasi sepihak negeri penyerbu, atau reaksi sesaat terhadap kekerasan fisik. Dalam Tempo (30 Maret 2003), Ahmad Sahal mengkritik buku Robert Kagan, Of Paradise and Power, yang dinilainya "memikat" tetapi "mencemaskan" karena "terlalu membela Amerika". Padahal Sahal sendiri terlalu manis terhadap AS.
Dalam "perang melawan terorisme", menurut Sahal, seharusnya Bush "membangun dan memperluas jaringan… untuk mengucilkan teror…. Sayangnya, itu tidak dilakukan Bush..., ia malah mengisolasi Amerika dengan laku unilateralismenya." Walau maksudnya mungkin lain, uraian Sahal mereproduksi dikotomi yang dipropagandakan AS bahwa Irak = teror, AS = antiteror. Sahal hanya mempersoalkan "cara terbaik" bagi kekuatan antiteror untuk menaklukkan terorisme.
Dalam Kompas (12 April 2003), Trias Kuncahyono membahas biografi Saddam Hussein yang, sayang, diawali dengan propaganda AS tentang robohnya patung raksasa Saddam Hussein: "Tentara Amerika Serikat (AS) tersenyum puas. Rakyat Irak yang ada di tempat itu bersorak kegirangan." Kita tahu, tentara Amerika tak cuma menonton dan "tersenyum". Mereka merobohkan patung itu setelah menutup bagian wajah dengan bendera AS yang tersisa dari reruntuhan gedung WTC.
Belakangan sejumlah jurnalis independen AS menuduh laporan umum peristiwa itu sebagai manipulasi. Yang hadir di sekitar perobohan patung itu bukan rakyat Irak, melainkan 200-an orang atau kurang. Sebagian tampaknya didatangkan pasukan AS dari tempat lain sebagai penggembira. Itu sebabnya potret yang banyak beredar diambil berjarak dekat atau menengah. Dalam foto alternatif yang dijepret long-shot kelihatan betapa kosong lokasi itu.
Tulisan yang sama di Kompas membahas Saddam sebagai sosok "misterius". Informasi penting dari penelitian Information Clearing House menyebutkan, Saddam mengawali kariernya sebagai preman binaan CIA sejak 1959 dalam rangka Perang Dingin. Mirip kisah bangkitnya Orde Baru dua tahun kemudian, pada 1963 CIA membantu pembasmian massal terhadap kaum "komunis" Irak, di bawah komando Saddam Hussein. Premanisme merupakan bagian terpenting dalam sejarah politik internasional, seperti halnya CIA dan terorisme.
Dalam kolom "Kekerasan, Media, dan Pemilu" (Koran Tempo, 06 Mei 2003), Bimo Nugroho mengawali uraiannya: "Ledakan perang di Irak hingga penyerbuan preman ke kantor redaksi Majalah Tempo menyuguhkan sebuah sisi betapa dekatnya hubungan media dan kekerasan." Apakah yang terjadi di Irak lebih tepat disebut "ledakan perang" ketimbang "penyerbuan preman"?
Pada 1983-1984 rezim Orde Baru membantai sekitar 5.000 warga negara sendiri. Sesuai dengan petunjuk pemerintah, pers Indonesia menggambarkannya sebagai "penembakan misterius" (petrus). Pejabat negara menyebutnya bentrok antarpreman. Peristiwa 1983-1984 mungkin memang sebentuk konflik "antarpreman" kakap yang terdiri dari elite politik negara, walau korbannya kaki tangan mereka: preman kroco di daerah.
Berbagai kekerasan di dunia—juga di Irak—tak jauh berbeda dari yang terjadi di Jawa dan Sumatera pada 1983-1984. Apakah bom Bali juga bagian dari sejarah yang sama? Moga-moga jurnalisme kita masa ini jauh lebih profesional ketimbang Pers Pancasila versi Orde Baru 1983-1984, atau propaganda pers AS, Inggris, dan Australia selama penyerbuan Irak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo