Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Terselubung

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri Direktur Riset LPEM FEUI dan Staf Pengajar FEUI

SAYA teringat pada Mark Twain atau mungkin Benjamin Disraeli—sejarah tak teramat persis mencatatnya—yang mengatakan "there are three kinds of lies: lies, damned lies and statistics".

Dalam banyak hal, statistik memang bisa berbohong, dalam arti ia tak mampu mengungkap keadaan sebenarnya. Begitu juga mungkin dengan gambaran ekonomi kita. Kita banyak melihat kontradiksi yang menarik diamati. Misalnya, bagaimana kita menjelaskan konsumsi yang tetap tumbuh dalam periode krisis, atau bagaimana kita menjelaskan trend dari pertumbuhan industri manufaktur yang tetap positif, walau data industri besar dan menengah menunjukkan gejala penurunan.

Saya teringat pada satu diskusi dengan Simon Johnson, ekonom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam satu konferensi National Bureau Economic Research (NBER) tahun lalu. Ia menuturkan soal hidden economy atau aktivitas ekonomi yang tak terlaporkan. Johnson bersama dengan Kaufman dan Lobaton (1998) memang pernah menulis sebuah risalah pendek dalam jurnal bergengsi The American Economic Review tentang hidden economy. Studinya menunjukkan: politisasi aktivitas ekonomi akan mendorong dunia usaha untuk masuk dalam hidden economy, seperti di Rusia dan Eropa Timur. Menarik kalau kita mencoba melihat ini pada kasus Indonesia.

Saya menduga hidden economy mungkin eksis di Indonesia. Seperti yang saya sebut, data menunjukkan industri besar mengalami pertumbuhan negatif, akan tetapi pertumbuhan total industri justru positif. Artinya, ada kemungkinan pertumbuhan industri kecil dan menengah (UKM) melaju pesat dan dapat mengkompensasi pertumbuhan industri besar yang melorot.

Gejala UKM yang tumbuh dan berkembang ini tampaknya konsisten dengan perkembangan kredit untuk UKM (pagu di bawah Rp 5 miliar). Data Bank Indonesia menunjukkan, dari total kredit baru yang disalurkan selama 2002, sebesar 42 persen merupakan kredit untuk UKM. Untuk tahun 2003 ini, sampai dengan kuartal pertama, porsi kredit untuk UKM telah mencapai sekitar 38 persen. Yang juga menarik dicatat, dalam periode krisis, studi LPEM menunjukkan hanya sekitar 15 persen industri kecil dan rumah tangga yang tak mampu mengatasi krisis ekonomi, sedang sekitar 27 persen tak terpengaruh, dan bahkan 3 persen mengalami peningkatan. Survei yang dilakukan LPEM juga menunjukkan resistensi industri kecil dan kerajinan rumah tangga.

Dengan kata lain, kita mulai melihat gejala deformalisasi industri atau munculnya fenomena hidden economy. UKM saya kira erat kaitannya dengan hidden economy atau aktivitas ekonomi yang tak terlaporkan. Maria Lacko (1999), misalnya, menganggap hidden economy erat kaitannya dengan aktivitas produksi di rumah tangga dan aktivitas lainnya yang tak terdaftar. Salah satu karakteristik UKM memang tidak memiliki badan hukum. Ini mirip dengan karakteristik yang diajukan Lacko.

Yang juga perlu dicatat, hidden economy akan meningkat sejalan dengan memburuknya penyediaan jasa publik, berkaitan dengan meningkatnya korupsi dan lemahnya penegakan hukum. Gejala ini terjadi di negeri ini. Johnson, Kaufman, dan Lobaton dalam studi lintas negaranya memperkirakan kenaikan indeks korupsi 1 poin akan meningkatkan porsi hidden economy 1,7 persen. Studi mereka juga menunjukkan, negara dengan law and order cenderung memiliki tingkat hidden economy yang rendah. Kegagalan institusi dengan birokrasi yang korup akan mendorong dunia usaha untuk menghindari keterkaitan dengan aturan negara. Alasannya sederhana: aturan yang dibuat dalam negara yang korup akan menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Semakin korup dan lemahnya institusi, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan jika berhubungan dengan negara. Itu sebabnya saya tak akan terlalu terkejut bila hidden economy eksis di Indonesia.

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengukur hidden economy ini. Schneider dan Enste (2000), misalnya, memperkirakan besarnya hidden economy di Asia berkisar dari 13 persen dari PDB, untuk negara seperti Singapura, sampai 50 persen untuk Filipina. Bagaimana Indonesia?

Saya pernah mencoba melakukan perhitungan—yang amat kasar—dengan menggunakan indikator konsumsi listrik. Konsumsi listrik adalah indikator yang penting untuk menunjukkan aktivitas ekonomi. Ada yang menarik di sini: konsumsi listrik relatif tinggi sampai tahun 2001, walau pertumbuhan ekonomi menurun secara signifikan. Karena itu pada mulanya saya menduga adanya kemungkinan hidden economy. Dengan menggunakan dasar angka sampai tahun 2001, perhitungan kasar saya menunjukkan kemungkinan hidden economy sekitar 40-50 persen dari PDB setelah krisis.

Namun laporan Bank Dunia (2003) menunjukkan pada tahun 2002 pertumbuhan produksi listrik telah melambat—walau data ini agak berbeda dengan data PLN yang menunjukkan tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi. Bank Dunia berargumen, ekspansi produksi listrik yang tinggi selama ini terjadi karena meningkatnya jumlah pemakai listrik dan murahnya harga riil tarif listrik. Selain itu kenaikan harga diesel telah mendorong orang beralih dari pembangkit pribadi ke PLN. Artinya, indikator konsumsi listrik saja belum cukup untuk membawa kita pada konklusi besarnya aktivitas ekonomi yang tak terlaporkan ini. Itu sebabnya, saya tak berani menyimpulkan angka final.

Namun, walau tak ada angka pasti, secara intuitif sulit disangkal fenomena hidden economy ada di negeri ini. Berbagai indikator dapat mendukung dugaan ini. Studi LPEM FEUI, laporan Bank Dunia dan juga beberapa LSM menunjukkan bahwa penyelundupan meluas. Mengutip studi beberapa LSM, laporan Bank Dunia tahun ini menyebut kemungkinan besarnya penyelundupan adalah US$ 5,5-8 miliar atau sekitar 11-16 persen dari nilai impor.

Seperti yang ditunjukkan Johnson, Kaufman, dan Lobaton, hidden economy akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pungutan, baik yang legal—dalam bentuk berbagai retribusi—maupun yang ilegal. Studi LPEM menunjukkan pungutan bisa mencapai 10 persen dari biaya produksi.

Selain itu, terdapat korelasi searah antara penyuapan dan waktu yang dihabiskan dalam berhubungan dengan birokrasi. Artinya, walau dengan tingkat penyuapan yang besar, waktu yang dibutuhkan untuk berurusan dengan birokrasi justru meningkat. Ada gejala pejabat pemerintah cenderung memungut biaya tambahan berdasarkan "kemampuan membayar" dari perusahaan. Semakin tinggi kemampuannya, semakin besar pula waktu yang dibutuhkan dalam berhubungan dengan birokrasi.

Studi LPEM juga menemukan hubungan searah antara ketidakpastian dan waktu yang dihabiskan ketika berurusan dengan birokrasi. Semakin tinggi ketidakpastian, semakin tinggi pula waktu yang dihabiskan untuk berhubungan dengan birokrasi.

Tak mengherankan bila dalam kondisi seperti ini dunia usaha akan sebisa mungkin menghindari "urusan dengan pemerintah". Sikap ogah pemerintah ini menjadi amat masuk akal dalam situasi seperti sekarang. Sebaliknya, manfaat untuk menjadi hidden economy akan menurun seandainya kerangka hukumnya baik, penegakan hukum berjalan, dan tingkat korupsi di pengadilan relatif kecil. Dalam kondisi institusi seperti ini, tak ada alasan yang signifikan bagi dunia usaha untuk menghindari pemerintah. Sedangkan dalam sistem yang korup, negara hanya akan menjadi pengganggu aktivitas ekonomi. Mirip dengan yang dikatakan Nietzsche: negara adalah monster yang paling dingin.

Hidden economy sebenarnya merupakan cerminan dari defisit legitimasi aturan sosial yang ada saat ini. Dengan alasan itu saya melihat liberalisasi ekonomi serta perbaikan institusi perlu dilakukan. Liberalisasi ekonomi, misalnya, akan menurunkan biaya yang timbul dari berbagai pungutan, dan korupsi yang lahir sebagai akibat campur tangan pemerintah. Implikasinya, liberalisasi akan mendorong dunia usaha untuk masuk ke dalam official economy. Dengan kata lain, ada insentif untuk beroperasi secara formal.

Bila kita menilik perkembangan ekonomi Indonesia, ada kemungkinan hidden economy memberi kontribusi kepada tingkat konsumsi selama krisis ekonomi. Namun tentunya kita tak bisa mengandalkan aktivitas ekonomi yang tak terlaporkan ini. Hidden economy jelas akan mengurangi penerimaan pajak yang bisa diperoleh pemerintah—sesuatu yang amat dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan fiskal.

Kita mungkin tak bisa mengukur secara akurat besarnya hidden economy dan kondisi riil ekonomi kita. Namun kita tahu ada potensi besar yang bisa dimanfaatkan di sana, jika ia bisa diubah menjadi aktivitas formal. Jika ini terjadi, mungkin kita bisa mengatakan pada Mark Twain atau Benjamin Disraeli: statistik tak sepenuhnya berbohong, ia hanya kurang akurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus