Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun politik, semua rezim memang kerap meninggalkan logika ekonomi atas nama elektabilitas, kata Eamon Butler, dalam bukunya, Public Choice. Kritik Eamon terbukti di Indonesia. Saat harga minyak mentah dunia naik di atas US$ 70 per barel, pemerintah malah berjanji hingga 2019 harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif listrik tidak naik. Langkah ini seakan-akan menjadikan pemerintah pahlawan. Padahal, selama 2015-2017, ketika daya beli sudah terindikasi turun, pemerintah terus memangkas subsidi energi, baik BBM maupun listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya memangkas subsidi pada era Jokowi-JK menuai banyak pujian. Indonesia, yang telah lama menanti peringkat investasi Standard and Poor's, akhirnya mendapatkannya pada 2017. Tidak ketinggalan, lembaga pemeringkat kredit sejenis Moody's dan Fitch buru-buru menaikkan peringkat utang pemerintah. Fiskal disebut prudent, aman, dan reformasi anggaran terus berlangsung alias on the track.
Memang, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah terkesan berhasil mengalihkan subsidi energi untuk membangun infra-struktur, yang selalu diklaim sebagai belanja produktif. Padahal pemerintah melempar tanggung jawab pengalihan subsidi energi dari APBN ke badan usaha milik negara (BUMN). Subsidi tetap berjalan atas nama BBM Penugasan dan BBM satu harga dengan selisih harga jual yang ditanggung oleh Pertamina. Rapor dalam APBN terlihat bagus, tapi rapor keuangan Pertamina berbanding terbalik.
Sebagai negara net importir minyak, seharusnya Indonesia tak boleh main-main dengan subsidi. Ketika harga minyak dunia naik, impor minyak dan gas terus membengkak. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan impor migas periode Januari-April 2018 mencapai US$ 9 miliar atau naik US$ 780 juta dibanding periode yang sama tahun 2017. Setiap tahun, defisit neraca migas mencapai US$ 8,5 miliar. Pemerintah justru mengklaim, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel, APBN akan diuntungkan Rp 300 miliar.
Masalahnya, pemerintah memberikan potret yang buram karena hanya bicara dari sisi APBN. Bagaimana dengan efek defisit migas terhadap keuangan BUMN? Sejak 2017, akibat BBM Penugasan, Pertamina mengalami potensi kerugian Rp 18,9 triliun. Saat rapat dengar pendapat di parlemen, direksi Pertamina dengan gamblang bicara soal potensi kerugian pada 2018 akan jauh membengkak, bahkan diestimasi mencapai Rp 23 triliun.
Akibat ugal-ugalan dalam mendesain subsidi BBM, efeknya pun berantai. Investasi Pertamina untuk eksplorasi berpengaruh terhadap eksplorasi migas secara total. Data SKK Migas pada 2014-2017 membuktikan, jumlah total wilayah kerja (WK) eksplorasi menurun tajam, dari 183 ke 119 WK. Dalam kondisi pencarian sumur baru berkurang signifikan, diprediksi 10-15 tahun lagi Indonesia akan mengalami kekurangan minyak dalam negeri. Ini belum bicara soal kilang minyak.
Jalan keluar yang paling ideal adalah menghentikan seluruh akrobat politik subsidi ini. Tapi solusi tersebut tampaknya tidak mungkin diambil. Janji harga BBM tidak naik sampai 2019 telanjur ditelan oleh publik. Opsi lainnya adalah menambah subsidi energi ke Pertamina melalui APBN Perubahan 2018.
Opsi ketiga adalah menyuntik Penyertaan Modal Negara (PMN) setara dengan besaran kerugian potensial yang diderita oleh Pertamina. Uangnya diambil melalui Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) atau anggaran yang tidak terserap. Per April 2018, anggaran SILPA justru naik, dari Rp 123,2 triliun menjadi Rp 133,6 triliun. Kemungkinan kuat opsi SILPA bisa diambil dengan mengorbankan serapan belanja modal alias infrastruktur. Belanja infrastruktur secara spesifik sebesar Rp 410 triliun. Jika mengambil Rp 23 triliun untuk menambal Pertamina sangat dimungkinkan.
Sudahlah. Sebaiknya, pada tahun politik ini, akrobat subsidi yang mengorbankan BUMN dikurangi. Logika ekonomi yang berpihak pada kepentingan masyarakat jangka panjang seharusnya selalu berada di urutan terdepan. Jangan sampai perbaikan kondisi ekonomi tergadaikan oleh akal-akalan subsidi BBM.