Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Aku

Kata aku punya konotasi keangkuhan atau egosentris. chairil anwar menggunakannya secara istimewa dalam puisinya. ia tak sadar, bahwa ia benar-benar sendirian, heroik, tapi juga tragis.

19 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kata yang unik dalam bahasa kita adalah aku. Berbeda dengan kata saya, kata ini tampaknya selalu punya konotasi yang dekat artinya dengan "keangkuhan", bahkan egosentrisme. Orang kini berbicara secara negatif misalnya tentang "keakuan", tentang sikap "mengaku aku" dan bukan tentang "kesayaan" atau "mensaya saya". Kita ingat Chairil Anwar di tahun 1940-an menggunakannya secara istimewa dalam puisinya. Setiap anak sekolah Indonesia pasti hafal akan baris-baris sajak penyair terkemuka itu, yang juga berjudul Aku -- sebuah judul yang tak ada bandingannya dalam sejarah puisi Indonesia modern: "Aku ini binatang jalang,dari kumpulannya terbuang...." Antara lain dari penggunaan seperti itu, kata aku terkadang bersifat tidak formal, terkadang juga bersifat mendamik dada: keduanya menunjukkan adanya hubungan yang tidak predik tabel, dan bisa berkembang ke segala arah pertalian, antara si pembicara dan orang yang diajak berbicara. Dibandingkan dengan itu, kata saya ibarat sebuah jalan lurus yang aman. Dari mana semua itu terjadi? Ada seorang ahli sejarah yang mengatakan, bahwa begitu seorang Asia Tenggara membuka mulutnya, ia meletakkan dirinya dalam hubungan yang vertikal. Seorang pengguna bahasa Melayu -- asal mula bahasa Indonesia -- akan harus memilih kata aku atau saya atau patik dan hamba ketika ia menyebut dirinya, dan kau, tuan, anda atau bahkan bapak/ibu untuk menyebut orang yang diajak bicara. Ada juga kata ia dan ada kata beliau. Tetapi zaman berubah, atau sedang dibayangkan berubah. Di waktu orang lazimnya menggunakan kata "saya" atau "hamba" -- atau abdi, atau kawula (disingkat kulo) atau dalem -- seorang Chairil Anwar menggunakan kata aku. Sebab itu ia seperti menyentak. Ada di dalamnya sikap menyama ratakan ketika ia menggunakan kata itu. Ada semacam penjungkir balikan, bahkan mungkin juga sebuah penghancuran, terhadap hubungan vertikal yang umumnya diakui. Yang menarik ialah ternyata kemudian -- setelah suasana tahun 1940-an yang penuh harapan kemerdekaan dan demokratisasi itu berlalu -- aku ala Chairil An war secara berangsur-angsur dilihat bukan sebagai penghancuran sebuah hubungan yang tidak enak. Aku itu bahkan dianggap justru ekspresi suatu sikap yang tidak enak. Aku itu kemudian dianggap ego yang membubung, individualisme yang menyengat ke kiri ke kanan. Aku menimbulkan kerisauan. Aku adalah sesuatu yang terkutuk. Yang aman bukan cuma saya, melainkan kami, dan akhirnya bukan cuma kami, melainkan kita. Di dalam banyak hal, di sana tercermin kecemasan kita terhadap individu. Apa makna individu bagi masyarakat kita sebenarnya? Dalam bahasa kita ia sering diterjemahkan sebagai orang seorang, dan dalam kesadaran kita ia tampak sebagai sebuah kelainan dari suatu kebersamaan. Kadang-kadang, karena bingung apakah si individu itu dari kelompok atau seorang aktor tersendiri, kita malah menyebutnya sebagai oknum -- terutama bila ia dianggap memalukan kelompok. Misalnya, oknum ABRI. Maka bukan kebetulan jika Chairil Anwar, dalam sajak Aku yang terkenal itu, menyebut kata "jalang" senapas dengan kalimat " dari kumpulannya terbuang". Kata "jalang" toh biasa dikenakan juga oleh masyarakat kita dalam mengutuk para pelacur sebagai "perempuan jalang". Chairil Anwar tahu bahwa pembangkangannya terhadap hubungan dengan kelompok, dan juga terhadap kaitan-kaitan vertikal di dalam kelompok itu, mengandung risiko besar. Yang barangkali tidak ia sadari ialah bahwa ia benar-benar sendirian, heroik, tetapi juga tragis. Sebab kemudian terbukti, sampai sekarang, hampir 50 tahun setelah ia menuliskan sajak itu, tetap sulit saja orang menirukan dia untuk berkata aku dengan hentakannya. Individu tetap dianggap sebagai pengganggu. Ketika di tahun 1945 Bung Karno menolak gagasan untuk mencantumkan hakhak asasi manusia di dalam konstitusi, itu juga karena anggapannya bahwa individu, sang aku, adalah pangkal dari kekacauan dan disharmoni sosial. Dan kini pun, di masa ketika kita sering melihat orang seorang digebuki massa, disiksa penguasa dan difitnah khalayak, kita juga masih takut dengan aku. Kita lebih aman dengan kita. Kita belum melihat si individu sebagai sesuatu yang berani, punya kebutuhan dan hak untuk mencuat, tetapi pada saat yang sama juga sunyi dan senantiasa terancam. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus