DPR akhirnya menyetujui RUUTR (Rancangan Undang-Undang Tata Ruang). Secara garis besar UUTR ini mengatur penataan ruang untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, buatan, dan sosial. Undang-undang ini mengatur pengelolaan ruang berdasar klasifikasi kawasan: budi daya, lindung, pemukiman, dan sebagainya, berdasarkan fungsi masing-masing. Sebagai panduan pembangunan fisik, investasi, dan pelestarian lingkungan, manfaat UUTR tidak perlu diragukan. RUUTR juga menekankan aspek perlindungan pada hak-hak rakyat dalam menikmati pemanfaatan ruang atau ganti rugi akibat perubahan fungsi ruang untuk kegiatan pembangunan (pasal 4). Dua topik dalam paradigma pembangunan kontemporer, yakni pelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia, dirangkum sekaligus dalam undang-undang ini. Tanpa mengesampingkan topik hak asasi, dilihat dari konsep pembangunan berwawasan lingkungan, UUTR membawa semangat UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UUTR barangkali bisa menjadi "obat kuat" bagi pelaksanaan PP 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang selama ini keponthal-ponthal. Menurut PP No. 29 Tahun 1986, Amdal dimaksudkan sebagai pelengkap studi kelayakan atau tolok ukur kelayakan lingkungan untuk melengkapi kelayakan teknis ekonomis suatu proyek. Idenya, Amdal bersifat proaktif, antisipatif, preventif, dan berperanan sebagai early warning system untuk kegiatan kegiatan yang berdampak lingkungan. Kenyataannya, Amdal sekarang lebih banyak dibuat pada waktu proyek berjalan, atau bahkan setelah proyek selesai. Ini karena persepsi sebagian besar usahawan yang menganggap Amdal cuma proforma untuk mendapat akad kredit atau izin investasi. Amdal dicurigai sebagai regulasi yang counter productive di zaman deregulasi. Hanya menambah biaya investasi yang menyebabkan "ekonomi biaya tinggi" pada situasi uang ketat. Tak heran, banyak usahawan berkelit menghindari Amdal atau membikin Amdal asal-salan. Anggapan ini sering tak berdasar. Menurut pengalaman, Amdal hanya merupakan komponen kecil dari biaya investasi. Banyak proyek bernilai milyaran rupiah hanya menggunakan puluhan juta rupiah untuk Amdal. Biaya-biaya ini sering lebih kecil dari biaya promosi. Tapi tidak fair juga mengambinghitamkan kalangan usahawan. Banyak usahawan yang berwawasan lingkungan terganjal beberapa hal untuk mematuhi PP 29 Tahun 1986. Pertama, ketersediaan dan kualitas konsultan. Amdal adalah studi multidisiplin yang relatif perlu banyak ahli dan fasilitas laboratorium. Ini membatasi jumlah konsultan Amdal yang betul-betul kompeten, terutama di daerah.Kedua, kualitas juga ditentukan oleh situasi pasar Amdal dan integritas konsultan. Tergantung situasi "pasar konsultan", lagi over supply atau overdemand, banyak konsultan banting harga, jual mahal, atau kerepotan akibat serakah menangani bermacam proyek sekali jalan. Ini jelas menurunkan kualitas- dokumen Amdal. Ketiga, proses penilaian kualitas dokumen Amdal. Selama ini kontrol kualitas dilakukan Komisi Daerah, Komisi Pusat, dan Bapedal. Variasi kualitas dokumen Amdal sangat besar, mulai dari serius sampai glossy report. Kelambatan dan backlog dalam penilaian dokumen sering terjadi karena keahlian anggota dan anggaran untuk penilaian belum memuaskan. Kelambatan merepotkan konsultan dan merugikan usahawan yang beritikad baik memenuhi kewajiban. Keempat, statutory power dan integritas komisi sangat menentukan objektivitas penilaian. Seperti dimaklumi, untuk menilai Amdal proyek "srategis" atau milik kelompok tertentu, anggota komisi -- apalagi di daerah -- sering ciut nyali. Pelaksanaan UUTR nanti dalam beberap hal diharapkan bisa menjadi komplemen pelaksanaan Amdal. Tata ruang yang berdasarkan pada zone pemanfaatan bisa menyederhanakan dan mempertajam studi Amdal yang sekarang umumnya masih pro- ject by project analysis, berskala mikro, dan partial. Pendekatan tersebut sering mengaburkan aspek daya dukung suatu wilayah. Untuk mudahnya, bayangkan sebuah tourist resort di kawasan pantai yang direncanakan akan dibangun sepuluh hotel. Hotel menyedot air tanah dan membuang limbah. Jika Amdal dilakukan by project secara terpisah, barangkali dampak tiap hotel pada ketersediaan air tanah tidak signifikan. Begitu juga effluent pencemaran tiaptiap hotel mungkin masih di bawah ambang batas. Tetapi jika Amdal dilakukan secara simultan terhadap zone yang akan dihuni sepuluh hotel tersebut pada ketersediaan air tanah dan ambience pantai, ceritanya bakal lain lagi. Pendekatan Amdal berbasis zone sebenarnya sudah digunakan pada beberapa lokasi pembangunan wilayah, misalnya di Eastern Seaboar di Muangthai, Mahawelidi Sri Lanka, dan Segara Anakan di Cilacap. Karena sifat mikro dan partial, dokumen-dokumen Amdal sekarang juga sulit digunakan sebagai alat pembantu dalam perencanaan wilayah yang berwawasan lingkungan. Dalam skala yang lebih luas, Amdal zone atau Amdal regional yang bersifat lebih makro, baik dalam cakupan luas wilayah (kabupaten, misalnya) maupun aspek fungsi (daerah aliran sungai, kawasan pantai) bisa lebih mengintegrasikan prinsip pelestarian lingkungan ke dalam pembangunan wilayah. Dan dengan demikian juga mendukung pelaksanaan UUTR di kemudian hari. Ini selangkah lebih maju dalam menapak jalan panjang menuju pembangunan berkelanjutan. Secara teknis, kendala pelaksanaan UUTR dan Amdal regional barangkali terletak pada kebutuhan informasi dasar, ketersediaan peta, dan pendekatan analitis yang belum lazim digunakan. Kendala semacam ini tampaknya tak sulitdiatasi. Perguruan-perguruan tinggi kita punya cukup banyak ahli lingkungan dan perencanaan. Yang lebih sulit adalah kerumitan birokrasi dan penyelesaian konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Ini membuat pelaksanaan UUTR bakal lumayan berat. Seperti Undang-Undang Lingkungan sebelumnya, keberhasilan UUTR terpulang kepada enforcement. Siapa yang menjamin sebuah kawasan lindung yang sudah ditata menurut RUTRP (Rencana Umum Tata Ruang Provinsi) atau RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) tidak diubah menjadi kawasan wisata, bisnis, atau pemukiman? Kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin, Ujungpandang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini