RUMAH masa depan bisa menjadi produsen, bukan sekadar konsumen setrum listrik. Rumah-rumah itu akan mampu menjual setrum yang dihasilkan kepada perusahaan listrik setempat untuk kemudian dialirkan ke konsumen lain, seperti industri, perkantoran, atau rumah tangga sendiri. Rancangan rumah penghasil listrik ini dikembangkan oleh Misawa Homes Co. Ltd., perusahaan Jepang yang kesohor sebagai pencipta rumah-rumah modern. Dengan 60 m2 lembaran solar sel di atapnya, rumah-rumah itu mampu menghasilkan listrik 20 KwH (kilowatt per jam). Kemajuan teknologi panel surya itu kini menjadi peluang bisnis bagi Misawa Homes Co. Rumah contoh beratap solar sel dibangun oleh Misawa di kota Sagahihara, sebelah barat- Tokyo. Atap itu terdiri atas 66 panel surya yang masing-masing berukuran 91x91 cm2. Rumah kayu ini diberi nama ecoenergy house. Selain bisa menghasilkan listrik, rumah-rumah itu dirancang khusus. Dinding kayunya menjadi isolasi panas yang andal. Menurut pembuatnya, Misawa, kemampuan eco energy house mengisolasi panas adalah tujuh kali lebih baik dibanding dengan rumah-rumah kayu pada umumnya. Ikhwal isolasi panas ini menjadi hal yang penting karena menyangkut efisiensi pemakaian listrik untuk mesin pendingin (AC) atau pemanas (heater). Pada saat matahari terik, panel-panel surya itu mampu memproduksi 20 Kwh. Tapi di musim dingin produksinya turun. Paling tidak, tiap hari rata-rata atap panel surya itu menghasilkan 3 Kwh atau sekitar 1.000 Kwh per tahun. Angka itu sudah mencukupi 85% dari kebutuhan rata-rata rumah tangga di Jepang. Kelebihan produksi itulah yang kemudian dijual keperusahaan listrik setempat untuk menambah suplainya. Sebagaimana lazimnya sel surya, listrik produksi eco energy house ini berupa arus searah yang harus diubah dengan konverter menjadi arus bolak-balik agar sesuai dengan kebutuhan perkakas di dalam rumah. Tiap rumah memang dilengkapi dengan satu set baterai yang siap menyimpan setrum yang ditangkap dari matahari. Namun Misawa Homes Co. sendiri tak menyarankan pemakaian baterai untuk kebutuhan listrik rumah tangga. Listrik yang dihasilkan rumah tangga itu seluruhnya harus dijual ke perusahaan listrik setempat. Untuk konsumsi sehari- hari, rumah-rumah itu tinggal memanfaatkan setrum listrik yang dipasok oleh perusahaan listrik tadi, dalam bentuk arus bolak-balik. Sebab, dengan adanya satu sumber listrik, jaringan listrik dalam rumah akan lebih sederhana, lebih aman, dan lebih murah. Alasan lain, rumah tangga membantu penyediaan setrum bagi perusahaan listrik setempat yang sering kewalahan melayani permintaan. Harga listrik produksi rumah tangga itu pun jatuh lebih murah ketimbang listrik hasil pembangkit konvensional. Sekarang hanya dibutuhkan investasi Rp 10 ribu (635 yen) untuk mendapatkan satu watt listrik dari matahari. Sedangkan biaya listrik dari pembangkit konvensional sekitar 20.000 yen (Rp 320 ribu) tiap wattnya. Para pemilik eco energy house tentu tak rugi. Pada siang hari, sebagaimana keluarga Jepang umumnya, mereka tak banyak menyedot listrik. Dengan mengasongkan setrumnya ke perusahaan listrik, mereka bisa memperoleh uang lebih untuk konsumsi listrik malam hari karena kelebihan produksinya tadi. Apalagi tarif listrik siang hari di Jepang lebih mahal daripada malam. Memang rumah penghasil listrik ini harganya lebih tinggi. Di Jepang, untuk rumah ukuran sama, katakanlah 60 meter persegi, bisa jatuh 6 juta yen (Rp 72 juta) lebih mahal. Namun, menurut peneliti dari perusahan Misawa, kelebihan biaya itu, termasuk pembangunan rumah-rumah kayu berjejal bak kandang kelinci yang di Jepang disebut shoji, tak lebih dari sepuluh tahun akan tertutup oleh hasil penjualan setrum. Teknologi energi matahari dikembangkan sejak 40 tahun lalu. Pada awalnya sel surya cuma dipakai untuk menggerakkan satelit karena perkakasnya memang mahal. Belakangan sel surya dicoba pula untuk menggerakkan mobil dan pesawat terbang. Di Indonesia solar sel dipakai untuk perkakas pemanas air atau pembangkit listrik di kampung terpencil. Pemakaian sel surya, lembaran kaca silikon yang mampu mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik itu, tampak berkembang di Jepang. Tahun 1983, misalnya, produksi listrik dari sel surya itu baru mencapai 5 MW (megawatt). Tahun 1991 produksinya melonjak jadi sekitar 20 MW, jumlah setrum yang mampu mencukupi sekitar 20 ribu rumah tangga di Indonesia. Menjamurnya pemakaian energi surya itu tak lepas dari kemajuan industri Jepang merancang sel-sel penangkap energi matahari. Sel-sel surya buatan Sanyo Electric Co. misalnya, kini memiliki efisiensi 18%. Artinya, dari intensitas cahaya matahari yang 100 watt pada panel surya seluas 1 meter persegi bisa dihasilkan 18 watt. Ini angka tertinggi dalam sejarah menangkap listrik matahari. Cahaya matahari dianggap salah satu jalan keluar bagi umat manusia dalam menghadapi krisis energi. Potensinya luar biasa. Kalau saja 4% dari luas gurun yang ada ditutup selsel surya, itu akan menghasilkan listrik yang mampu mencukupi kebutuhan dunia. Kendalanya, perkakas untuk menangkap listrik matahari saat ini masih lebih mahal daripada mesin pembangkit konvensional. Putut Trihusodo (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini