Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tentang makna kamera yang membekukan realitas dalam fotografi.
Fotografi hanya representasi realitas, tapi seakan-akan menggantikannya.
Makna teknologi kamera bagi hidup kita.
—dari pameran World Press Photo, di Eramus Huis, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA orang berpelukan, di sebuah rumah jompo di luar Kota Sao Paulo, Brasil, ketika Covid-19 yang sangat mudah menular itu berjangkit. Tampaknya sudah terlampau lama mereka dipisahkan; pelukan itu seakan-akan letupan rasa bahagia—tapi sekaligus juga tanda rapuhnya hidup: mereka berpelukan dalam selubung plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mads Nissen, seorang fotografer Denmark yang sedang di ruang itu, mengabadikannya—dan ia mendapatkan penghargaan tertinggi dalam kompetisi World Press Photo 2021.
Tapi apa yang kita peroleh dari sana sebenarnya? Kata Nissen: “Yang penting dalam fotografi, ketika pada secercah momen kita lihat gambar-gambarnya, kita merasakan bagaimana kiranya jadi orang lain itu.”
Ada sebuah cerita yang agak berbeda.
23 Oktober 1895, harian Le Figaro di Prancis memuat sebuah foto yang tak lazim. Tampak sebuah lokomotif membentur dan memecahkan façade kaca bagian depan stasiun Gare Montparnasse di Paris. Loko itu menerobos.
Menurut laporan, kereta api itu berderap kencang ketika tiba di Gare Montparnasse. Ketika masinis tak bisa menggunakan rem, ia melompat keluar. Kereta pun meluncur terus. Memecahkan façade stasiun, loko itu muncul dari lubang yang terbuka dan jatuh ke jalan di bawahnya. Seorang perempuan tewas.
Sejak itu, sebagian besar informasi tentang kejadian hari itu dikembangkan dari foto di halaman depan Le Figaro, bukan dari kejadiannya sendiri.
Dunia mudah mempercayai fotografi. Kamera menyusun realitas menjadi satu keseluruhan yang baru. Ia yang sebenarnya hanya representasi dari realitas seakan-akan telah menggantikannya.
Tentu saja karena realitas itu telah lewat, atau berubah, atau musnah. Tepat sekali dalam bahasa Indonesia kita memakai kata “mengabadikan” dengan kamera.
Tapi tak berarti terjadi apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai “likuidasi semua acuan”, liquidation de tous les référentiels. Baudrillard melebih-lebihkan. Foto yang “mewakili” atau “menghadirkan kembali” (represent) hal-ihwal di dunia tak mungkin merebut posisi hal-ihwal itu. Yang terjadi hanyalah makin meluas dan mendalamnya fotografi ke dalam pengalaman sehari-hari. Kesadaran kita kian padat visual. Bahkan yang visual jadi banal.
Ada dua perkembangan dalam pengalaman ini.
Pertama, kita ingat, beberapa puluh tahun kita merasakan ada aura dalam kamera—dalam kehadiran, kerja dan produknya. Di zaman itu, seorang fotografer adalah seorang yang datang dengan perabot yang rumit untuk mengabadikan wajah, alam benda, tamasya. Ia punya wibawa buat menyuruh kita, yang hendak dipotret, diam, tak bergerak. Lalu ia akan menyusup ke dalam kain hitam di belakang kamera itu—entah ada apa di sana—dan “klik” (dengan semburan kecil asap), wajah kita pun direkam. Kita akan menyimpan rekaman itu dalam sebuah album sebagai barang sangat berharga.
Atau kita datang ke sebuah studio di antara deretan toko di kota. Kita ingat potret ayah dan ibu kita: berdiri atau duduk dengan baju yang tak sembarangan, dengan sikap tubuh yang juga tak sembarangan, di beranda rumah fiktif yang megah. Fotografi adalah saat ketika teknologi menatap dan mengarahkan kita.
Dan kita tahu, antara realitas dan representasinya ada jarak, bahkan manipulasi. Tapi kita tak keberatan; ini keasyikan, bukan kebenaran—kecuali bagi seorang penyidik yang diutus polisi atau pengadilan, yang harus menganggap “kebenaran”—yang sama dengan kepersisan—mutlak berarti.
Kedua, zaman ini. Aura kamera surut. Dalam masa yang bisa disebut (meniru Walter Benjamin) “pasca-auratik” sekarang, ketika ratusan juta kamera melekat pada ratusan juta orang, dan tiap saat dijepretkan, seakan-akan ada impuls universal buat membuat rekaman tiap kejadian dalam hidup. Di masa ini justru keyakinan akan autentisitas fotografi sebagai reproduksi yang cepat dan mudah seakan-akan meningkat, ketika kamera dalam telepon genggam kita makin dibikin canggih—juga untuk memalsukan realitas.
Kamera tak pernah 100% netral. Bahkan pencerapan visual manusia tak pernah “murni”. “Persepsi tak pernah ada,” kata Derrida: yang disebut persepsi atau pencerapan indrawi selalu berkelindan dengan proses yang rumit dalam menerjemahkan data dari mata ke kesadaran yang dihuni, bahkan dibentuk, bahasa.
Jurnalisme fotografi mengharamkan apa yang fiktif, tapi seperti persepsi, banyak hal membaur. Karya jurnalisme itu tak berdiri sendiri. Ia tak hanya produk sang fotografer, tapi juga teknologinya, dan juga mereka yang memandangnya.
Korban epidemi. Perang saudara yang bengis. Imigran yang telantar. Kegembiraan membangun kuil es.... Tiap karya itu dengan intens merasuki kita. Kita tak risau kalau adegan itu kelak tak akan kita kenang sebagai “realitas”. Potret Mads Nissen 2021 dan potret di La Figaro 1895 akhirnya punya makna lain: empati.
Mungkin sebab itu mereka dihargai. Persentuhan global perasaan sedih dan suka dibutuhkan ketika bumi terancam kehancuran bersama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo